Jumat, Mei 30, 2008

Untukmu Ayah Bundaku...

Tak pernah mengeluh dengan tangisanku yang membuat mereka terjaga tengah malam...

Tak pedulikan pindahnya posisi kepala menjadi kaki dan kaki menjadi kepala, hanya untuk memenuhi kebutuhan diriku...

Tak rasakan terik matahari yang mereka lawan saat mereka berusaha membuatku menjadi bintang kejora kebanggaan...

Tak ada satu sen pun harus aku kembalikan pada mereka atas jerih payah membesarkanku...

Tak ada amarah saat sinar mereka meredup untuk dapat membuatku lebih bersinar, bahkan lebih terang dari pada mereka...

Tak jarang ia banting tulang untuk memberikan yang terbaik untukku, walau tak jarang bukan yang terbaik menurutku...

Mereka tak lagi muda...

Tulang mereka melemah...

Indera mereka tak lagi sempurna...

Memori indah itu, kadang pergi dari ingatan...

Sakit, nyeri, silih berganti mendatangi mereka, bagai tamu tak diundang...

Ketakutanku pun mulai datang perlahan...

Ketakutan saat aku tak bisa terus menerus ada untuk mereka, seperti saat mereka ada untukku...

Ketakutan saat aku tak bisa penuhi permintaan mereka, yang tak banyak itu...

Ketakutan kembali melihat mereka terbaring lemah tanpa daya, dan berjuang kembali hidup hanya dengan berbekal senyuman dariku untuk mereka saat itu...

Ketakutan akan senyum yang harus terganti dengan kerelaan hati saat melihat mereka pergi, yang membuatku benar-benar berjalan sendiri kelak...

Ketakutan bahwa waktuku tak akan pernah cukup, untuk membuat mereka dapat bersinar kembali...

Walau sedikit...

Terima kasih untukmu ayah bundaku...

Jumat, Mei 16, 2008

Jalan Bebas Hambatan (MOTOR)

Hah...setelah lima belas tahun aku bisa mengendarai mobil dan sepuluh tahun memiliki Surat Izin Mengemudi, 14 Mei 2008, adalah kecelakaan terparah yang pernah aku alami. Sebelumnya, kerusakan mobil yang diakibatkan kelalaian aku dan/atau orang lain, paling hanya sebatas pecahnya kaca spion, lecet-lecet ringan, dan bumper yang tergores atau penyok. Namun kecelakaan 14 Mei ini mengakibatkan kerusakan mobil paling parah yang pernah aku alami. Bagian belakang, setelah pintu kedua kiri penyok sukses. Belum lagi terkelupasnya cat dari bagian belakang ke arah depan, karena gesekan motornya dengan si biru Stream itu. Bahkan antara kaca atas dan lampu belakang mobil pun juga penyok terkena pelindung kepala pengemudi.

Kali ini perhitunganku amat sekali tidak tepat. Sangat salah. Motor dari arah berlawanan itu tak mengerem dengan baik. Hal itu pun diakui si pengendara yang tak sengaja mengatakan bahwa remnya tidak berfungsi dengan baik. Saat aku belokkan stir ke arah kanan, yang tentu disertai dengan nyala lampu tanda berbelok, yang saat kejadian itu sudah mati kembali, karena 3/4 bagian mobil sudah berbelok sempurna, masuk ke jalan yang aku tuju. Tinggal si bagian belakang yang masih berada di jalan raya. Bunyi dentuman keras pun kemudian aku dengar hanya dalam hitungan detik.

Jalanan itu juga merupakan pangkalan angkot, yang sedang dipenuhi oleh para pengemudinya. Langsung aku pun panik. Ketakutan akan massa yang aku asumsikan tentu akan membela si pengendara motor itu pun telah mewarnai benakku. Aku pun langsung berpikir keras apa yang harus aku lakukan. Tak disangka, saat aku melihat sekelilingku, aku kenal salah satu supir angkot di situ. Ia adalah tetanggaku, Mas Hanung. Dan bagusnya lagi ia langsung mengenaliku saat jendela mobil aku buka "Rosa ya. Rosa, minggirin mobil. Jangan-jangan turun aja 'Sa, biar aku pinggirin, kamu kejar tuch temuin tuh supir motornya, dia yang salah kok."

Bagusnya si supir motor tidak langsung kabur seperti biasanya. Namun mungkin karena ia pun merasa kesakitan, karena tangannya terbentur badan mobil, terkilir, sehingga tak mungkin melanjutkan perjalanan.

Ia pun kemudian turun dari motornya, menuju warung kecil di sana, dan minum. Aku tunggu ia hingga selesai minum, baru aku mulai bicara dengannya. Melihat kira-kira siapa orang itu atau kira-kira pekerjaannya, parahnya kerusakan mobil, ditambah aku pun tenang, karena mobil diasuransikan, sebenarnya aku tak berharap banyak. Aku malah ingin memastikan bahwa ia baik-baik saja.

Namun kondisi demikian bukanlah yang ingin ia ciptakan. Selama perbincangan ia terus menyalahkanku, dan menuntut ganti rugi padaku. Aku malas berhadapan dengan orang-orang bermental seperti itu. Lagi-lagi untung ada Mas Hanung dan satu bapak yang menurutku ia adalah supir pribadi sebuah keluarga, yang mengatakan "Ya, udah, mobilnya diasuransi khan, jadi mas ini bayar biaya proses klaimnya aja, paling cuma 100 ribu."

Omongan si bapak tadi ditanggapi sengit oleh si pengendara motor "Ya, motor saya juga rusak, dan ngga ada asuransinya, saya rugi, mbaknya ganti saya juga dounks."

Dalam hatiku, ya bukannya sama aja ya, kalau aku memberikannya uang dan ia berikan aku uang juga.

Malas berlama-lama di tempat kejadian, akhirnya Mas Hanung bilang "Ya udah mas-nya kasih KTP aslinya ke mbak ini, nanti malem mas dateng ke rumah mbak ini dan diomongin lagi, enaknya gimana."

"Kalo saya kasih KTP asli, mbak ini kasih juga dounks."

Mas Hanung pun menanggapi "Loh, khan kamu yang salah, ngapain kamu minta KTP aslinya."

Aku pun malah menjadi emosi mendengar omongan orang itu "Saya ngga mau, pergi-pergi tanpa KTP, enak aja! Lagi pula ini bukan salah saya khan."

Sebenernya aku enggan saling menyalahkan seperti itu, karena bagiku yang tahu persis siapa yang salah, hanya Tuhan.

Akhirnya ia setuju KTP aslinya ditahan olehku, dan ini akan kami selesaikan di rumah.

Setelah orang itu pergi, aku mengucapkan terima kasih pada semua yang telah membantuku, aku pun kembali masuk mobil. Derai air mata tak lagi kuat aku bendung. Tak peduli mereka di luar melihatku, aku hanya bisa tertunduk dan tidak menatap ke arah mereka.

Setelah kejadian itu aku pun menjadi enggan untuk kerja. Lalu memutuskan kembali ke rumah kakakku yang pertama, karena aku tahu mama sedang berada di sana, mengurus cucunya yang akan berangkat pergi sekolah.

Sebenarnya aku gengsi untuk mengadu ke siapa pun, apalagi ke mama. Namun kalau aku pulang ke rumah, akan bertambah parah, karena papa sedang di rumah. Aku khawatir kejadian ini akan membuatnya panik, naik pitam, marah, dan berpengaruh pada penyakit jantung yang ia derita. Jadi, aku memutuskan untuk pulang ke rumah kakakku. Sesampainya di sana, aku pun langsung membunyikan klakson. Mama langsung keluar mendengar suara itu, karena ia sudah hafal benar bunyinya. Ini kali pertama, kali pertama, sekali lagi kali pertama, aku menangis, penuh derai air mata di depan mama, setelah aku dewasa. Hal ini bahkan gengsi aku lakukan saat dulu papa sakit. Aku lebih memilih menangis dipelukkan tanteku, saat aku di rumah bersamanya, dan mama sedang di rumah sakit.

Biasanya dalam keadaan seperti ini, ada satu orang yang bisa menenangkan aku. Namun aku tahu persis, jam-jam segitu pasti dia sibuk sekali di kantor, bahkan telepon dariku tak diangkat olehnya, walau tak lama kemudian ia kembali meneleponku dan hasilnya cuma mengatakan "Halagh, biasanya kamu juga kuat, hal sepele kayak gitu kok. Udah lah kamu khan masih banyak kerjaan, mendingan fokus ke kerjaan dulu. Tinggal urus asuransinya aja kok ya. Terus orangnya yang nabrak gimana?"

"Nanti malem mau dateng ke rumah."

"Ya udah minta tolong bokap nemenin ngomong nanti ya. Kita juga ngga bisa berharap banyak dari dia khan, jadi nanti minta dia bikin berita acara kejadiannya buat ngurus klaimnya."

Sedikit merasa tenang setelah mendengar suaranya. Namun tidak dengan kepalaku. Serangan migran yang sudah lama tak aku rasakan, kembali aku rasakan, tak tertahankan sakitnya.

Malam hari, sekitar jam 19.30, orang itu datang ke rumahku. Mama dan aku yang keluar, dan mempersilakannya duduk di teras. Lalu dia bilang "Kita selesaikan secara kekeluargaan aja mbak."

"Oh, iya. Saya cuma mau minta Mas buat ngasih pernyataan kronologis kejadian tadi kok."

"Tapi tangan saya ngga bisa buat nulis mbak."

"Ya, sudah, saya ketikin di atas, nanti Mas tinggal tanda tangan. Masih bisa khan?"

"Masih kok, pelan-pelan."

Aku pun masuk menuju ke kamarku, untuk mengetik berita acara kronologis kejadian tadi berikut menduplikasi KTPnya, dengan pemindai dan pencetak yang aku punya.

Tak berapa lama, dokumen itu sudah siap. Aku pun kembali menemuinya di teras.

"Ini Mas, tinggal Mas tanda tangani aja."

Ia pun menandatanganinya dengan sangat pelan-pelan. Setelah surat tadi aku pegang kembali dan aku mengembalikan KTP aslinya, aku sudah mencoba mengeluarkan indikasi bahwa ini semua sudah selesai.

Namun lagi-lagi, belum selesai menurutnya.

"Setelah ini apalagi Mbak?"

"Apalagi apa ya Mas, maksudnya Mas gimana?"

"Ngga ada apa-apa lagi?"

"Ngga. Udah selese kok. Cuma ini aja, saya cuma minta tanda tangan Mas."

"Ya, saya meminta kebijaksanaan dari Mbak aja."

"Kebijaksanaan apa ya?"

"Ya, khan mbak ada asuransinya, motor saya khan ngga punya asuransi."

Oooowwwhhh, ternyata arahnya masih ke sana, menuntut ganti rugi.

"Loh, Mas, punya asuransi bukan berarti gratis lo. Saya juga ngeluarin duit buat claim. Buat urus asuransinya."

"Saya khan rugi Mbak."

"Sama Mas, saya rugi juga."

"Saya juga ngga bisa kerja Mbak, tangan saya sakit."

"Sama. Saya juga susah kerja, ditambah harus mondar-mandir ke asuransi dan bengkel."

"Ya, mbak khan biayanya paling 100 ribu."

"Hmm, ya memang biaya claim biasanya segitu, tapi kalo saya harus pergi-pergi pake kendaraan umum biaya plus waktu tersita juga Mas."

"Saya betulin motor sama urut tangan saya yang sakit bisa lebih dari 100 ribu."

"Kok bisa tahu dari mana? Kalo saya memang ada ketentuan asuransi bilang segitu. Tapi kalo ongkos urut, biasanya siy kurang dari 100 ribu ya."

"Mbak khan tadi liat motor saya rusak."

"Gak, saya khan ngga menuju sampai kamu parkir motor. Kamu parkir motornya juga jauh dari mobil."

"Lebih lah Mbak dari 100."

"Tau dari mana? Gini aja deh. Kita berdua sama-sama ngga mau kecelakaan khan?"

"Bener Mbak, sapa juga yang mau."

"Kamu rugi, saya juga rugi. Biarpun tadi kamu akui rem kamu ngga berfungsi, udah jelas kamu yang salah, motor ngga punya rem. Berarti kamu dah berani tanggung resikonya, plus saya yakin kamu tadi ngebut, kalo dilihat dari parahnya penyok mobil."

"Khan di jalan raya Mbak, wajar khan kalo ngebut. Lagi pula tadi saya kaget liat mobil Mbak, jadi bingung mau ngapain."

"Kamu rugi, saya rugi. Kamu nanggung resiko, saya juga nanggung resiko. Berarti kalo kamu minta kebijaksanaan dari saya, saya juga minta kebijaksanaan dari kamu."

"Ya, kebijaksanaan dari mbak apa?"

"Kalo kamu minta saya tanggung jawab dengan sejumlah uang terhadap kamu, saya juga minta kayak gitu juga dari kamu."

"Ya, Mbak, dimana-mana kalo ada kejadian mobil ama motor tabrakkan, yang salah pasti mobil Mbak."

Semakin aku naik pitam.

"Aduh kok bisa dipastiin gitu ya. Kamu emang sering nyetir pake mata, liat kiri kanan kalo mau keluar ke jalan raya. Pake sen kalo mau belok. Bagus kamu tadi pake helem."

Tahu apa jawabannya dia?

"Abis Mbak, kalo motor sama sepeda, yang disalahin motornya. Karena motor lebih gede. Jadi kalo mobil ama motor yang disalahin mobilnya, karena mobil lebih gede."

Pembelajaran dari mentorku, guruku, mendingan menjawab dengan nada datar, tapi menusuk perasaan, dan kita hanya perlu menunggu apa yang ia katakan, dan manfaatkan itu.

Aku pun mencoba seperti itu.

"Ya udah kalo kamu nuntut saya bertanggung jawab ke kamu, ya saya juga menuntut yang sama. Lagi pula kalo kamu minta duit ke saya sekarang, ya paling saya tinggal ngerampok tetangga, karena saya ngga ada duit, tadi abis ngurus-ngurus semuanya. Kamu mau saya ngerampok tetangga?"

"Ya, jangan Mbak, nanti saya yang dimarahin."

"Makannya gimana, lagi pula sama aja kok, kamu minta sesuatu dari saya, saya juga minta sesuatu dari kamu. Setidaknya biaya claim, atau mau bayarin preminya tahun ini?"

Ia terdiam seribu kata, seribu bahasa. Malas berlama-lama berhadapan dengan manusia seperti itu, aku pun langsung menutup percakapan kami dengan

"Ya, udah, tinggalin aja ya nomor teleponnya Mas, nanti KALO saya berubah pikiran, saya akan telepon Mas. Kalo saya berubah pikiran lo Mas."

Perbincangan itu pun kemudian berakhir, dan aku berhasil juga mengatasi rasa kasian dan rasa tak tegaku terhadapnya, dengan tetap tidak memberikannya uang. Lagi pula uangku di dompet tinggal 5 ribu kalau tak salah.

Setelah kejadian ini, ada sedikit post traumatic yang aku alami. Begitu memasuki kabin mobil, dentuman itu seakan masih bisa dengan jelas teringat dan terdengar di telingaku.

Jalanan penuh motor memang tak aku sukai dari dulu. Itu juga sebabnya aku tak mengizinkan papa membeli motor, kecuali dulu, saat ia memutuskan membeli Harley Davidson, aku mengizinkannya.

Motor sama dengan bajaj. Hanya Tuhan yang tahu mereka mau melakukan apa, berbelok ke arah mana. Bahkan si pengemudi tak tahu hal itu.

Jalan tol, yang katanya jalan bebas hambatan, termasuk bebas macet, yang ternyata itu hanya isapan jempol belaka, tetap menjadi pilihanku. Kemacetan yang menjadi hiasan utama jalan tol-jalan tol di ibukota tak lagi aku hiraukan. Bagiku, setidaknya jalan tol bebas dari motor yang ugal-ugalan,...

Dan aku rasa, karena di jalan tol motor dilarang masuk, dan menurut definisi jalan tol adalah jalan bebas hambatan, berarti MOTOR itu juga merupakan HAMBATAN? Kalau memang begitu adanya, AKU PUN SETUJU!!!!

Sabtu, Mei 10, 2008

Aku...

Apa arti kata "aku"? Bisa kata ganti orang pertama, yang tidak terlalu formal, biasanya digunakan dalam percakapan dengan orang yang ingin kita ajak untuk lebih dekat, dan bisa sedikit mengurangi kekakuan dalam percakapan. Kata itu bisa juga menunjukkan sebuah egosentrisme diri, atau narsistik, atau malah arogansi seseorang.

Namun "aku" ini bisa menjadi sebuah cermin diri yang sangat besar dan mengelilingi dengan sempurna diri seseorang. Coba saja kamu ucapkan dalam hati, "Siapakah aku ini?"

Aku yakin pikiranmu langsung melanglang buana tanpa batas, mengkhayal seluas langit lepas. Dan inilah aku........

Bukan congkak, bukannya sombong. Syukurku pada Sang Pencipta untuk pemberian-Nya atas kondisi fisikku yang tak ada cacat saat aku dilahirkan, walau terlahir prematur. Ditambah dengan penampilan fisik yang kata banyak orang di atas rata-rata. Pujian seperti cantik, awet muda, badannya bagus, suaranya bagus, fashionable (a.k.a akan pantas-pantas saja memakai baju dengan model apapun), berotak encer, tak jarang dilontarkan orang kepadaku, bahkan orang yang belum aku pernah aku kenal sebelumnya. Pujian itu hanya bisa aku tanggapi dengan ucapan terima kasih, dan pernyataan tidak percaya, yang hanya aku ucapkan dalam hati "Masakh siy."

Namun asal kamu tahu, sempat ada masanya, di mana aku benar-benar merasa kebalikannya dari semuanya itu. Cantik? Wah, aku pikir orang yang mengatakan aku cantik, ia telah salah lihat. Belanja banyak baju, sepatu, tas dan barang-barang fesyen lainnya, apalagi dengan merek terkenal, baru bisa aku lakukan, setelah aku bisa menghasilkan uang sendiri. Mungkin selera pemilihan baju yang bagus, memang sudah ada sejak kira-kira aku SMP. Namun selera cara berpakaian dan berdandan aku, benar-benar berubah, sejak 2002, karena aku punya fashion advisor sendiri. Kami berdua pun sering belanja bersama. Untuk urusan otak encer, alias pintar, punya kisah sendiri. Coba kamu tanya kedua orang tua dan kedua kakakku yang selalu khawatir aku tidak naik kelas, setelah aku menginjak kelas 5 SD, sampai kelas 3 SMA. Aku pun hanya menargetkan, bahwa aku bisa naik kelas, tak peduli dengan angka berapa. Aku ingat betul, semester 3, kelas 2 SMP (kalau sekarang kelas 8), aku pernah berada di peringkat posisi 40 dari jumlah siswa 45 dalam satu kelas, dan prestasiku paling baik selama SMP adalah semester 5, dengan rata-rata 7.00 dan peringkat kelas 19, dan semester 6, dengan rata-rata 7.16 dan peringkat kelas 15. Itu pun bisa demikian, karena aku berusaha saingan dengan gebetanku waktu itu.

Aku, jika dilihat dari peranku sebagai seorang anak. Jelas aku bukan anak yang baik. Tak terhitung berapa kali aku berbohong dan tak berkata jujur pada orang tuaku. Omongan mereka sering tak aku anggap, dan bagai angin lalu. Kekesalan demi kekesalan muncul di benakku, bahkan terlontar dari mulutku, saat harapan dan permintaanku tak terpenuhi. Namun, bayangan kematian mereka yang menghantuiku dan membuatku takut, saat mereka sakit, terkulai lemah di rumah sakit, bahkan di ruang ICCU, barulah membuatku bangun dan tersadar. Bagai tamparan keras di pipi. Tak sanggup rasanya hidup tanpa mereka. Tak tahu bagaimana harus menjadi anak yatim atau piatu, saat diri ini TERNYATA masih sangat membutuhkan mereka. Syukur langsung aku haturkan pada sang pemilik jiwa dan raga ini, terima kasih karena mereka masih Ia izinkan hadir untukku. Terima kasih karena aku masih boleh merasakan cinta mereka hingga sekarang, yang tak mungkin dialami oleh teman-temanku yang sudah ditinggal mati oleh salah satu atau kedua orang tua mereka, di usia yang lebih muda daripada aku saat ini.
Terlahir sebagai seorang Katholik, dibaptis dan dipercayakan kepada perlindungan St. Anastasia, bukan merupakan jaminan bahwa hidupku akan menjadi seorang Katholik sejati. Lihat saja Injil yang masih rapi, yang aku simpan di rak buku di kamarku. Tanda bahwa Injil ini tak pernah tersentuh oleh tangan pemiliknya. Pembenaran-pembenaran dari malasnya diri ini, menyempatkan sedikit waktu untuk berbincang denganNya, juga sering muncul di otak licik manusia ini, pun di saat diri ini sadar bahwa aku hanya debu yang tak berdaya sama sekali.

Topeng perempuan mandiri, bisa aku kenakan dengan sangat sempurna. Sempurna menutupi lemahnya aku sebagai perempuan. Kadang tak tahu harus berlari ke mana, aku hanya bisa terduduk lunglai di kasur kamar tidurku, bahkan dulu sempat sesekali ditemani oleh si mungil ramping, langsing, panjang, bewarna putih, bernama Capri. Namun kembali "baju kebesaran" itu pun berhasil kembali aku kenakan. Mereka tak akan melihat derai air mata ini. Mereka tak akan pernah tahu bagaimana aku tergopoh-gopoh mencoba bangun, bangkit, berdiri, berjalan bahkan berlari kembali. Kesempatan itu hanya aku berikan kepada orang-orang terpilih, yang aku izinkan, untuk melihatku tanpa topeng.

Sebagai seorang teman ataupun sahabat, aku tak seperti yang diharapkan. Kata-kata sinis, jutek, tanpa basa-basi dan dipikir lebih lanjut, sering terlontar dari mulutku. Aku tak ingin menjadi sumber pembenaran mereka yang mencari hal itu. Tak akan kutampik, debat argumentasi, dan derai air mata yang membasahi pipi temanku, pernah terjadi karena hasil mulutku berkata-kata.

Aku sebagai aku, yang tak akan mungkin sama dengan orang lain.

Aku sebagai aku, yang tak ada duanya di belahan dunia manapun.

Aku adalah aku, yang mungkin akan mendengar langkah kaki yang berbeda dengan apa yang kamu dengar, yang mungkin akan mengikuti langkah itu, walau kamu katakan jangan.

Aku adalah hanya onggokkan tulang yang awalnya kokoh.

Aku adalah tubuh yang kencang walau tanpa operasi plastik dan sedot lemak.

Aku adalah balutan kulit halus, elastis dengan warna yang menarik dan tanpa keriput.

Aku, yang kemudian akan renta dan mati, akhirnya...

Kamis, Mei 08, 2008

Hilangnya Si Bintang Kecil...

Mempunyai keponakan yang berusia 6 tahun sering membuatku takjub. Takjub dengan segala tingkah laku yang dihasilkan oleh gadis cilik, yang rasanya baru kemarin aku timang-timang, agar membuatnya tertidur nyenyak.

Tak dipungkiri, ia anak yang pandai. Mulai dari pandai menyerap apa yang diajarkan oleh guru-gurunya, teman-teman sebaya, orang tua, dan anggota keluarga lainnya, hingga pandai berkelit.

Guru pianonya tak perlu waktu lama mengajarinya satu lagu, untuk bisa ia mainkan di atas tuts-tuts piano, dengan jemarinya yang kecil. Tak perlu banyak bicara, untuk membuatnya tidak merengek minta dimandikan. Teriakan lantang "Jalan ke rumah Nouhan bukan yang ini tante, tapi belok di sana", saat aku ingin mengantarkan ia ke rumah temannya, yang aku ingat saat itu adalah kali kedua kami bertandang ke rumah temannya itu. Tak butuh usaha keras untuk dapat membuatnya hafal sebuah lagu, yang kali ini bisa ia nyanyikan.

Kau begitu sempurna. Segalanya kau begitu indah..

Itu adalah cuplikan lagu berjudul Sempurna, yang pertama kali dipopulerkan oleh Andra and The Back Bone. Kemudian juga dinyanyikan dengan versi yang berbeda oleh Gita Gautawa.

Sedikit terkejut saat aku mendengar keponakanku satu-satunya, menyanyikan lagu itu. Bahkan ia menyanyikan dengan sempurna pada bagian refrennya. Kontan aku bertanya padanya "Siapa yang ngajarin, dek?"

"Denger di tivi."

Aku pun langsung berpikir "Memang tivi media yang sangat ampuh untuk mempengaruhi orang, bahkan anak kecil."

Saat aku seumurnya, lagu-lagu yang aku ingat adalah lagu anak-anak, yang biasanya diciptakan oleh (Alm) Pak dan (Alm) Bu Kasur, atau Pak AT. Mahmud. Seperti Bintang Kecil, Balonku, Kulihat Awan, Lihat Kebunku, dan sebagainya. Lagu-lagu itu, dulu, lagu paling trendi dan bergengsi di kalangan anak-anak. Ditambah saat itu kelompok-kelompok musik belum sebanyak saat ini, yang tumbuh bagaikan jamur di musim hujan.

Kecintaanku akan dunia musik, terutama tarik suara, semakin tertanam semenjak aku mengikuti kursus olah vokal di Bina Vokalia, yang dilatih sendiri oleh Sang Maestro Pranadjaja. Aku ingat betul, lagu-lagu yang diajarkan beliau kepada anak didiknya sangat disesuaikan dengan usia perkembangan kami. Otomatis, karena usiaku baru 7 tahun, saat aku terdaftar sebagai salah satu anak didik beliau, maka lagu-lagu yang diajarkan adalah lagu anak-anak. Jangan salah, aransemen lagu anak-anak itu pun bisa menjadi sangat indah. Sampai saat ini, aku masih ingat nada-nada hasil aransemen lagu Pada Hari Minggu, menurut kelompok suaraku, yaitu sopran. Kesan ceria, gelak tawa dan canda seorang anak yang diajak berkeliling kota menaiki delman, serasa benar-benar sedang aku alami, saat menyanyikan lagu itu.

Kembali ke keponakanku. Jelas lagu yang ia nyanyikan adalah lagu untuk orang dewasa, atau setidaknya lagu remaja. Tak sesuai jika dinyanyikan oleh anak seusianya.

Televisi pun seolah menyetujui hal itu, bahwa tak masalah jika anak-anak menyanyikan lagu orang dewasa. Terbukti dengan ajang kontes tarik suara khusus anak-anak yang memperbolehkan para pesertanya menyanyikan lagu bertemakan kehidupan orang dewasa. Tak lagi mengingat usia. Tak lagi mengindahkan apa yang pantas dan apa yang tidak pantas dilakukan oleh seseorang, oleh anak-anak.

Satu pertanyaanku tentang hal ini semua, yaitu: Apakah ini bisa disebut dengan kemajuan zaman, atau malah sebuah dekadensi?

Akankah Dunia Berhenti Mengeluh?

Televisi yang menyala dari pagi hari di rumahku tiada henti memberitakan hal-hal yang menyulut kontroversi. Siaran-siaran berita yang mereka sajikan, masih seputar naiknya harga BBM, macetnya kota Jakarta yang kian hari kian tak tentu ujungnya, rencana naiknya retribusi parkir yang menjadi Rp.5.000, arogansi dan keserakahan DPR yang salah satunya tercermin dari kasus-kasus alih fungsi hutan lindung, belum lagi seputar bencana alam yang tidak mungkin dibendung oleh kekuatan manusia, bahkan tak bisa lagi untuk diprediksi.

Tak kalah seru, berita-berita yang merupakan respon dari hal-hal tersebut di atas. Kumpulan keluhan. Keluhan rakyat jelata, termasuk aku dan keluargaku.

Jarak tempuh di kota yang penuh keangkuhan ini rasanya tak sanggup untuk dijalani dengan menggunakan kendaraan umum, yang kondisinya seperti angkutan semen, batubara ataupun barang tambang lainnya. Tak tega aku menyebutnya seperti alat transportasi untuk binatang, karena sepertinya angkutan mereka masih lebih bagus daripada transportasi umum yang katanya untuk manusia, yang ada di Jakarta. Tak ketinggalan polusi yang diakibatkan oleh knalpot-knalpot tak terurus yang mau tak mau terhisap, karena masuk melalui jendela-jendela, atau bahkan masuk di dalam kabin, melalui "pintu" untuk melihat kondisi mesin bus-bus kota, yang pada umumnya berada di bawah tempat duduk pak supir.

Alih-alih kenyamanan, maka terpaksalah aku menyetir mobil saat aku hendak bepergian ke mana pun. "Musuh" pertama para pengendara mobil (terutama) adalah kemacetan. Mengapa aku bilang pengendara mobil, karena bagi mereka pengendara motor sepertinya tak mengenal macet. Tentu karena mereka tak peduli keselamatan diri sendiri, tak peduli keselamatan orang lain, dengan menyerobot, menyalib kiri-kanan, tanpa pernah melihat, bahkan melirik ke kaca spion mereka. Belum lagi ditambah, dengan asumsi mereka bahwa pengendara motor adalah rakyat kecil, dibandingkan para pengendara mobil, yang berarti boleh semena-mena, terus-menerus minta dibenarkan, bahkan kadang oleh polisi yang jelas melihat bahwa pihak motorlah yang salah. Sudah lama aku ingin mengutip omongan seorang temanku saat ia diserempet oleh pengendara motor yang kemudian malah memarahinya. Ya kira-kira beginilah hasil percakapan mereka:
"Mentang-mentang kaya bawa mobil, ngga mau ngalah"
"Eh, emangnya kalo miskin bebas dari aturan apa? Sapa suruh elo miskin."
Aduh sepertinya salah ya kalau aku bilang "musuh" utama pengendara mobil adalah kemacetan, atau ternyata pengendara motorlah yang menjadi musuh (bukan "musuh") utama pengendara mobil? Namun, jangan geram dulu, pengendara motor yang ugal-ugalan (mudah-mudahan tidak banyak ya, yang ugal-ugalan).

Orang Jakarta mungkin perlu memikirkan bagaimana membuat distribusi bensin bisa seperti distribusi air PAM. Tak bisa dipungkiri, bagi pengendara bermotor di Jakarta, minuman mereka tak lagi hanya air, namun juga bensin. Coba hitung-hitung lagi, kira-kira dengan Rp.50.000, yang hanya dapat 11.11 liter premium atau bensin bersubsidi (saat ini), bisa bertahan berapa hari ya di Jakarta, jika mobil kita pakai setiap hari? Keluhan berikutnya, "Buset dah, duit gue abis di POM bensin."

Rencana menaikkan harga BBM, karena harga minyak mentah yang sudah lebih dari USD100 per barelnya, bisa dipastikan diikuti dengan kenaikkan harga-harga lainnya. Termasuk sayur-mayur, SEMBAKO, yang biasanya merupakan urusan ibu-ibu rumah tangga dalam belanja. Deretan keluhan seperti
"Saya khan ngga bisa naikkin harga barang jualan saya, nanti ngga ada yang beli."
atau "Duh, duit dah gak ada rupanya. Cuma beli cabe, bawang merah secimit ama roti tawar aja, dah abis segitu."

Duhhh, duhhhh, aku benar-benar tak kebayang, apa rasanya jadi Pak SBY. Menampung ratusan keluhan setiap hari, dari berbagai tempat. Mungkin beliau tak bisa berbuat banyak karena terbentur dengan sistem yang terkunci, bagai lingkaran setan, yang memang dibuat oleh setan yang berwujud manusia. Menurutku, siapa pun yang akan terpilih tahun depan aku ucapkan "Selamat" yang berarti bukan ucapan selamat sesungguhnya. Namun aku acungi jempol karena kenekatannya untuk bersedia mencoba menjadi ujung tombak manajemen negara yang sudah buruk ini.

Kembali ke masalah keluhan, sebagai manusia memang tak lepas dari mengeluh, karena kita bukan sapi yang tak mungkin lepas dari melenguh. Namun kadang kita lebih buruk dari sapi. Semelenguhnya seekor sapi, namun ia tetap rela dibawa kepenjagalan, walau dengan derai air mata (ini adalah kejadian sesungguhnya, sapi memang menangis saat melihat temannya mati dipenjagalan, dan mereka mengerti nasib yang sama akan menimpa mereka), agar dagingnya bisa dikonsumsi oleh manusia, atau lenguhan yang mereka keluarkan saat mereka di perah, yang mungkin tanda ucapan "Selamat menikmati segarnya susuku yang akan membuatmu sehat."

Mengeluh adalah hal yang sangat manusiawi, namun bagaimana jika hal itu sering kita lakukan? Pernahkah terpikirkan oleh kita bahwa dengan terus menerus mengeluh, orang malah akan melihat kita sebagai tukang tadah?

"Loh, kok tukang tadah, Cha?"

Tukang tadah penerimaan bantuan dari orang lain, tukang tadah bagai pengemis yang malas bekerja, tukang tadah seperti orang yang tanpa mimpi dan hanya menunggu nasib.

Mungkin jika ada pengendara motor yang menyerobot kiri kanan, kasihanilah mereka, karena mungkin cita-citanya sebagai pembalap F1 atau Moto GP tak tercapai, yang dikarenakan tak ada biaya.

Jika mereka menyerempet mobil yang kamu kendarai, setidaknya premi asuransi yang dibayarkan tiap tahun, tidak terbuang percuma.

Jika harga bensin naik, anggaplah kemampuan kita membayar sudah dianggap sama dengan negara lain yang lebih maju.

Jika melihat para koruptor bisa berpesta pora dan belum tertangkap atau belum terbukti bersalah, berdoalah agar semua indah pada waktunya.

Jika ternyata kita mengalami kemacetan, berpikirlah untuk bangun, berangkat dan sampai tempat tujuan lebih pagi, agar bisa melanjutkan tidur di mobil setelah sampai tempat.

Jika mendapat banyak kerjaan, berarti kamu masih dipercaya untuk mampu menyelesaikannya semua.

Selamat memulai hari barumu, esok, esok, esok dan seterusnya, dengan senyuman, dan bukan dengan keluhan. Satu perubahan di pagi hari, akan bersinar siangmu, dan menjadikan damai malammu. AMIN.