Rabu, Juli 16, 2008

Sepatu Bersih, Sepatu Cantik...

Musim diskon sudah hampir berakhir, seperti SOGO yang sempat aku datangi hari Minggu, 13 Juli 2008 lalu, menurut pramuniaganya bahwa hari itu adalah hari terakhir mereka memberikan potongan harga. Namun jangan takut, hingga saat ini masih ada toko yang memberikan potongan harga. Tengok saja Mango dan Zara yang masih menggelar diskon, walaupun keduanya juga mulai memasang new arrival untuk musim mendatang, di gerai-gerai mereka. 


Pertanyaan pertama yang ada di pikiranku adalah, coba dilihat lagi ada beberapa barang belanjaan yang berhasil dibeli? Ada penyesalan membeli barang-barang itu, atau bahagia karena mendapatkan barang yang selama ini diincar? Ada yang mulai khawatir menanti datangnya tagihan kartu kredit bulan ini? Semoga semuanya sudah diperhitungkan sebelumnya ya.


Kalau berdasarkan pengalaman aku sendiri, belanjaan yang paling sering diincar saat musim potongan harga adalah sepatu. Pasti ada 'kan yang baru saja belanja sepatu baru? Apalagi model yang diberikan potongan harga itu adalah model yang sudah lama diincar, pasti tanpa pikir panjang lebar langsung minta ke pramuniaga untuk dicarikan ukuran yang sesuai, dan langsung bayar ke kasir. "Lah Cha, kadang ga ada diskon pun, ga pake acara mikir panjang. Kalo suka, pas, keren di kaki, langsung dech bayar."


Lalu, kira-kira para pembeli sepatu ini, sudah tahu belum ya cara merawat sepatu kesayangan? Sayang 'kan sepatu yang dibeli dengan mahal, dengan penantian panjang itu hanya bertahan sebentar, karena tidak tahu cara merawatnya. Kali ini aku akan merangkum beberapa tips merawat sepatu. Ada yang aku ambil dari artikel di internet, maupun berdasarkan pengalamanku sendiri. 


Sepatu Berbahan Suede


Sepatu berbahan suede ini, memang termasuk sulit dalam hal perawatannya. Sikat khusus sepatu untuk berbahan suede ini tersedia di toko-toko sepatu, walaupun sedikit sekali yang menjualnya.


Untuk membersihkan kotoran di sepatu berbahan suede ini, kamu bisa menyikatnya secara lembut dengan menggunakan sikat khusus itu. Namun pastikan sepatu kamu dalam keadaan kering. Sikatlah sepatu ke satu arah, jangan menyikat kedua arah yang berlawanan, untuk mengangkat kotoran yang menempel.


Untuk menghilangkan lecet yang terlihat jelas pada sepatu, sikatlah sepatu dengan sikat khusus itu ke dua arah yang berlawanan. Untuk lecet yang membandal, coba gosokkan area yang lecet dengan penghapus pensil.


Semprotkan dengan semprotan pelindung sepatu berbahan suede sejak pertama kali sepatu itu kamu beli, dan setiap kali setelah sepatu itu dibersihkan. Untuk sepatu yang tidak digunakan dalam jangka waktu yang lama, simpanlah sepatu di dalam kotak sepatu, dan dibungkus dengan kertas pembungkus (yang biasanya juga sudah ada di dalam kotak, saat kita membeli sepatu). Pastikan tempat penyimpanannya jauh dari udara lembab, dan akses sinar matahari.


Informasi ini diambil dari artikel yang ditulis oleh Joy di http://www.answers.yahoo.com, dengan kata kunci cleaning suede shoes. Begitu pula dengan informasi selengkapnya mengenai penanganan secara tepat sepatu berbahan suede ini, bisa dilihat di halaman situs tersebut. 


Sepatu Berbahan Patent Leather


Membersihkan sepatu berbahan ini cukup mudah, tapi tidak dengan mencegahnya dari goresan. Sepatu berbahan ini mudah tergores, apalagi jika si pemakai tidak berjalan dengan hati-hati. 


Pembersih sepatu berbahan ini sudah banyak di jual di toko sepatu. Namun lebih mudahnya, kamu bisa juga menggunakan petroleum jelly yang banyak dijual di toko kecantikan atau apotek. Caranya adalah gosokkan petroleum jelly itu ke bagian yang kotor atau lecet hingga hilang. Lalu lanjutkan dengan menggosokkan ke seluruh bagian sepatu hingga mengkilat. Untuk lecet membandal pada sepatu patent leather warna hitammu, tutulkan marker berwarna hitam di atas kain setengah basah, lalu gosokkan pada bagian sepatu yang lecet, hingga lecetnya hilang.


Informasi ini diambil dari http://www.goodhousekeeping.com dengan kata kunci cleaning patent leather shoes


Sepatu Berbahan Kulit


Membersihkan sepatu berbahan ini sepertinya sudah sering kita lakukan. Semir-semir dan pembersih sepatu berbahan kulit, sangat mudah ditemukan di toko, bahkan tidak perlu datang ke toko khusus sepatu. Namun pastikan bahwa sebelum menyemirnya, kamu sudah menghilangkan kotoran dan debu yang menempel pada sepatu. 


Sepatu Berbahan Satin


Sepatu berbahan ini memang tampak indah dan elegan, tapi cukup sulit dalam perawatannya, apalagi untuk sepatu yang berwarna terang. Cara terbaik untuk membersihkan sepatu berbahan ini adalah dengan membawanya ke binatu khusus. Mungkin binatu yang bisa aku sarankan adalah binatu seperti Jeeves, yang memang spesialis pencucian baju-baju mewah dan yang berbahan sulit, juga sepatu dan tas, walaupun harga yang dipatok tidak seperti binatu lainnya. Pastinya jauh lebih mahal. 


Namun apa pun akan dilakukan bukan untuk barang kesayangan, termasuk sepatu satinmu? Daripada sepatu itu dicuci sendiri dan meninggalkan bekas air juga detergen yang masih menempel, lebih baik membawanya ke yang ahli, atau jika merasa tak sanggup merawatnya, lebih baik dipikirkan dua kali sebelum membeli sepatu satin ini, walaupun indah terlihat. 


Pemilihan, Pemakaian dan Perawatan Sepatu Secara Umum


Yang pasti bersihkan sepatu setelah dipakai. Untuk sepatu yang sering dipakai, simpanlah di tempat yang mudah diraih, sehingga jika kita terburu-buru, kita mudah mencarinya.


Sepatu harian, misalnya seperti sepatu sekolah, kuliah ataupun sepatu kantor, jangan hanya mempunyai satu pasang saja. Sediakan beberapa pasang sepatu, untuk dipakai berganti-ganti. Hal ini bukan hanya untuk fesyen, tapi juga untuk kesehatan. Dengan demikian sepatu tidak menjadi lembab, dan terhindar dari jamur yang dapat menyebabkan kaki berbau atau bahkan terkena penyakit kulit. 


Untuk para perempuan, tak perlu takut menggunakan sepatu hak tinggi andalan, sempatkanlah untuk  mengistirahatkan atau olahragakan kaki sejenak di tengah kesibukan kantor. Misalnya buka sepatu saat kamu duduk, dan putar-putar pergelangan kaki sebentar. Setibanya di rumah, kamu bisa rendam kakimu dengan air hangat dan juga garam mandi yang banyak dijual di toko perlengkapan aromaterapi atau spa. Jangan lupa saat di tempat tidur, dengan posisi badan terlentang, naikkan kedua kakimu sedemikian rupa sehingga posisi kaki lebih tinggi dari posisi badanmu. Hal ini agar aliran darah dapat kembali lancar. Namun ada baiknya juga tidak menggunakan sepatu tinggi setiap hari, atau setidaknya tinggi haknya tidak selalu sama.


Jika ingin membeli sepatu pesta, atau sepatu yang akan jarang dipakai, sebaiknya cari harga yang tidak terlalu mahal, atau cari sepatu mahal yang sudah mendapat potongan harga (ini akan jauh lebih baik). Pertama karena sepatu itu jarang dipakai, orang lain juga akan jarang melihat kita memakai sepatu itu. Kedua, sepatu yang harganya mahal biasanya juga didukung dengan kualitas sepatu yang kuat dan tahan banting. Sepatu kantor harian rasanya harus cukup kuat untuk mendukung aktivitas dan mobilitas kita selama di kantor. Bayangkan jika satu hari ada dua atau tiga klien yang harus didatangi, jika sepatu yang kita pakai tidak nyaman, tentu malah akan mengganggu kerja bukan?


Untuk sepatu yang depannya tertutup, jika sedang tidak dipakai usahakan selalu mengganjal bagian depannya itu dengan alat khusus yang terbuat dari plastik, seperti tongkat kecil berbentuk huruf L (beberapa merek sepatu, kadang menyertakannya saat kita membeli sepatu) yang menghubungkan ujung bagian depan dan bagian tumit sepatu itu. Namun jika alat itu tidak ada, ganjal bagian depan dengan kertas bekas yang diremas dan kemudian dimasukkan ke bagian depan sepatu. Hal ini agar menjaga bagian depan sepatu tidak melengkung ke dalam.


Sepatu yang jarang dipakai bisa disimpan di dalam kotak khusus sepatu. Setahuku di toko perkakas seperti Ace Hardware menjual kotak itu, dari kisaran harga Rp.20.000an-Rp.100.000an. Untuk yang harga Rp.20.000, hanya satu ukuran. Dapat menyimpan sepatu high heels andalanmu dengan posisi berdiri atau sepatu olahraga dengan posisi tidur. Kotak ini terdiri dari 2 warna, biru dan putih transparan, yang akan memudahkan kita untuk mengambil sepatu saat ingin digunakan. Untuk harga yang lebih mahal ada berbagai ukuran tergantung sepatu yang ingin disimpan di dalamnya, bahkan kotak sepatu untuk pria dan wanita juga dibedakan. Jangan lupa ya, jika menyimpan sepatu dalam kotak, pastikan sebelum menyimpannya, sepatu dalam keadaan bersih, dan tambahkan silica gel atau kapur barus di dalam kotak itu, untuk menghindari jamur. 


Seperti biasa, pesanku untuk yang membaca tulisan ini, jika kamu tahu informasi tambahan mengenai perawatan sepatu, silakan tuliskan komentar tambahan. Apalagi jika kamu mendapati kesalahan informasi tentang perawatan sepatu yang aku tulis di atas, aku akan senang menerima kritikan atau saran dari kamu, karena beberapa informasi di atas memang hasil terjemahanku sendiri.


Pemilihan artikel asli yang aku terjemahkan, berdasarkan hasil suara dan komentar para pengunjung situs tersebut dan juga hasil mereka yang sudah mencoba cara-cara yang disarankan dalam artikel tersebut. Tak ketinggalan, dari kredibilitas situs penyedia artikel-artikel tersebut.


Oh ya, satu lagi, jika kurang percaya dengan informasiku di sini, silakan berkunjung ke situs aslinya. Dijamin aku tak akan tersinggung.


Semoga berguna. 

Senin, Juli 07, 2008

Siang Seru Bersama Dengan Ayah...

Siang ini, kira-kira sekitar pukul 14.00, aku hendak mengeluarkan dua ekor dachsund milikku, Kino dan O'Neil dari "kamar" mereka (kandangnya, yang aku sebut sebagai kamar mereka). Mereka sejak pagi di situ, karena aku perlu melakukan sesuatu hal, dan jika O'Neil tetap di dalam, di ruang tengah, ia terus-menerus meminta untuk digendong, jadi aku masukkan mereka di kamar.


Sebelum aku hendak mengeluarkan mereka berdua, aku terlebih dahulu mampir ke kamar Goldie, si Golden Retriever-ku yang memiliki berat badan 32 kg, untuk memberinya makan siang. Tiba-tiba di belakangku aku dengar suara gemerusuk, di antara dedaunan kering yang berjatuhan di kebun belakang. 


Tak tahu mengapa aku langsung berpikiran "Jangan-jangan ada ular."


Aku pun langsung melompat ke arah teras, karena aku yakin tak mungkin suara itu berasal dari gerak anjing-anjingku, karena saat itu mereka semua lagi di dalam "kamar" masing-masing. Kerumunan burung gereja yang juga biasa bertandang ke kebun belakang, tidak akan membuat suara segaduh itu. 


Setelah aku yakin posisiku aman berada di teras, dengan lantai yang cukup terang, aku pun mulai jongkok dan melihat dengan seksama ke arah kebun belakang. Rasa penasaran itu pun akhirnya terjawab, begitu aku melihat seekor ular meliak-liuk di tanah, di antara dedaunan yang berjatuhan. Ia berwarna coklat tua, dan bergaris hitam yang membujur dari kepala hingga ke bagian ekor. Diameter ular itu sekitar 2.5-3 cm. Ia meliak-liuk menuju ke arah "kamar" O'Neil dan Kino. Langsung aku berteriak memanggil papa.


"Pa, there is a snake."


Papaku langsung keluar ke kebun belakang, "Mana."


"Di sana, ke arah sana."


"Yang dongak itu."


"Bukan, kalo itu dahan, yang mepet tembok belakang itu."


Maklumlah mata papa sudah tidak setajam mataku. Setelah ular itu mendekat ke arah kami barulah papa melihatnya. Ular itu diusir papa, tapi ia cuma meliukkan badannya, dan kepalanya kembali ke arah kami. Ular itu kemudian sedikit di ajak berbicara oleh papa "Kamu mau ke mana sih?"


Ia kembali meliukkan badannya, dan menjauh dari kami. Kami melihatnya dari jauh, dan ternyata ia pergi ke arah "kamar" Goldie. Aku pun sedikit panik dan pergi ke dapur untuk mencari garam. Setelah mengambil garam dapur, aku kembali ke kebun belakang, untuk menaburi garam itu di sekitar "kamar" Goldie. Ular itu kemudian mengarah ke teras belakang, tempat aku dan papa berdiri saat itu, kepalanya sudah menegak dan seolah-olah melihat ke arah papa. Papa sudah mengambil pacul.


"Gimana dibunuh aja apa?"


Aku terdiam, tak berani menjawab.


"Gimana ya, caranya dia keluar dari rumah ini, tapi ngga dibunuh?"


"Aku ngga tega bunuhnya."


Papa berkata demikian sembari menghentikan ayunan paculnya yang diarahkan kepada ular itu untuk ke sekian kalinya.


Akhirnya papa hanya menghentakkan pacul itu ke lantai di dekat ular itu. Si ular malahan semakin meliuk-liuk ke arah teras. Kali ini ia melipir ke tembok kamar abangku, yang memang berada di luar rumah induk. Di pinggiran tembok kamarnya itu ada sedikit lahan sekitar 30 cm x 150 cm, yang ditanami tanaman yang langsung ditanam di tanah maupun tanaman pot. 


Ular itu bersembunyi di antara pot dan tanaman. Untuk memancingnya keluar, papa terpaksa memotong batang-batang tanaman di sana, yang menghalangi kami. Kebetulan di sana tergeletak pot kosong dari tanah liat. Agar memudahkan kami melihat posisi ular itu berada, pot itu sedikit kami gulingkan, mendekat ke arah kami. Kami masih fokus mencari ular itu di antara tanaman lahan kecil itu. Tak ada lubang sama sekali di lahan itu, tapi kami tak menemukan ular itu.


"Loh, kok ngga ada? Kemana dia?"


"He eh Pa, lari kemana ya dia ya? Kesini juga ngga ada tuch."


Aku sembari kembali melihat ke arah berlawanan. Kami pun bingung mencarinya. Tak lama kemudian papa melihat ke arah pot kosong tadi yang terguling di dekat kami itu.


"Lah di sini nih malah ularnya. Piye yo? Potnya didiriin aja terus di krukup pake karung kali ya?"


"Tapi ntar ularnya keluar, gara-gara gerak-gerak."


Papa akhirnya mengambil seperti skop kecil yang biasanya digunakan mama untuk berkebun, untuk menegakkan pot itu, dengan hati-hati.


"Sekh, pa ta goleki karung sekh."


Yang artinya adalah "Bentar Pa, aku cari karung dulu."


Setelah mendapati karung bekas beras, aku kembali ke belakang.


"Ularnya masih di diem di situ?"


"Masih."


"Eh tapi karungnya diameternya cukup ngga ya?"


"Digunting dikit pinggirnya, biar bisa masuk."


Aku pun kembali ke dalam, dan menggunting bagian-bagian pinggir mulut karung itu. Setelah digunting aku kembali ke kebun. Aku berikan karung itu pada papa.


"Eh pa, jangan dari arah situ, itu di pinggir potnya ada lubang-lubangnya, nanti tau-tau dia keluar dari situ lagi. Dari arah sana ajah yang ketutup semuanya."


"Tapi aku ngga bisa liat, arah pandangku kacau kalau dari sana."


"Gini-gini papa pegang karungnya dari arah sana, aku dari sini."


Akhirnya pot itu berhasil tertutupi dengan karung beras.


"Sebentar, aku ambil tali rafia ya."


"Ho-oh ho-oh."


Kami pun berdua mengikat pot yang sudah tertutup dengan karung itu dengan tali rafia dengan erat. 


Setelah terikat rapi, papa bilang padaku, sembari sedikit memiringkan pot itu "Liat bawah potnya, bolong atau ngga."


"Bolong sih ngga pa, retak-retak iya."


"Lah terus piye yo."


"Aku ambil karung lagi aja, kita iket lagi dari bawah."


Kali ini aku merobek sisi samping dan bawah karung bekas beras sehingga karung itu cukup lebar untuk membungkus pot. Kemudian kami mengangkat pot itu ke atas karung yang sudah dilebarkan, dan kami mengikatnya. 


"Gimana, dibuang ke belakang aja?"


"Lewat tangga belakang? Jangan, nanti malah nyari perkara lagi, tiba-tiba potnya pecah malah ularnya jatuh di atas kamarnya Goldie."


"Terus dibuang kemana?"


"Lewat depan aja."


"Terus lewat tengah rumah gitu?"


"Iya."


"Kalo nanti ucul neng jero omah piye?"


Maksudnya adalah "Kalo nanti lepas di dalem rumah gimana?"


Akhirnya si papa punya akal "Oh, pake gerobak aja, lewat samping. Kamu tungguin ularnya ya, aku keluarin mobil dulu biar bisa dari garasi samping."


Setelah mobil keluar dan garasi samping sudah terbuka, papa mendorong gerobak kecil yang kami punya ke kebun belakang.


"Ini ngga bakal pecah khan kalo diangkat?"


"Semoga."


"Ya udah, kita cepet aja ngangkatnya ya."


"Papa pegang atasnya ya, aku pegang bawah,  one-two-three."


Akhirnya pot itu berhasil kami naikkan di atas gerobk itu, dan kami berdua mendorong ke luar rumah. 


"Pa, kalo dia di sini terus sama aja kita mbunuh dia."


"Nggak kok dia masih bisa napas, karungnya masih ada lubang udara."


"Tapi khan dia ngga bisa cari makan."


"Iya juga ya."


Masalah berikutnya adalah tempat membuang ular itu. Kami kemudian mendorong ular itu ke arah lahan ilalang di daerah area belakang kompleks rumah, dan membuangnya di sana.


Aku lupa membawa gunting untuk membuka ikatan karungnya, karena kami tetap ingin seperti rencana semula, tak ingin membunuh ular itu. Aku pun kembali ke rumah untuk mengambil gunting. Ikatan tali rafia itu kemudian aku buka, dan papa kemudian melepaskan karung penutup itu. Si ular tetap tidak mau keluar dari pot itu. Kemudian papa menggulingkan pot tersebut. Ular itu seolah-olah hanya mengintip situasi di luar pot. 


"Anjrit di mana nih gue, kok ngga kenal ya tempatnya."


Mungkin seperti itu pikiran si ular tersebut.


Kemudian aku sedikit mengajak bicara si ular "Hei, i am not going to kill you, jangan balik ke rumah gue ya."


Tak tahu mengapa si ular malah kembali masuk ke dalam pot. Aku dan papa sempat menunggu sekitar 5 menit di sana, dan si ular tak kunjung keluar dari dalam pot. Aku pun kemudian mengintip ke arah dalam pot. Dia sudah melingkar dengan kepala di sela-sela tubuhnya. 


"Ye, malah tidur lagi lu."


"Dah Pa, tinggal aja. Masih ketakutan kali dia."


"Stress juga kali ya dia. Masih shock sepertinya."


Tambahan:


Tak perlu membunuh ular, jika memang hal itu bisa dihindari. Mereka tetap makhluk hidup yang mempunyai hak hidup. Mereka hanyalah berusaha bertahan hidup dan melindungi diri. Perlakuan yang tepat dapat melindungi keselamatan diri kita sendiri, juga si ular.


Apakah di antara kalian ada yang mengetahui persis bagaimana cara menangkap dan menghadapi ular tanpa harus membunuhnya? Jika ya, bisa diceritakan juga di sini. Terima kasih.


Sabtu, Juli 05, 2008

Arti Di Balik Nama (Episode Cerita Orang Tua)...

Beberapa bulan yang lalu, aku pernah menuliskan nama beberapa orang yang aku anggap penting dalam hidupku. Kali ini aku akan berbagi tentang arti beberapa dari mereka untukku...


Tarcisius Ariono Purnomo

Waduh, jika ditanya arti seorang ayah, papa, atau bapak bagi setiap anak, aku rasa anak itu tak akan kehabisan kata untuk mendefinisikan hal itu. Begitupun denganku, yang tak akan mampu menggambarkan arti pentingnya beliau untukku dengan singkat.


Bahagia tak terperikan, jika aku ingat beliau masih mau mengantarkan aku sekolah, hingga aku SMA, walaupun harus rela berkorban bangun pagi agar aku tak terlambat tiba di sekolah. Bahkan beliau rela pulang kantor lebih cepat, untuk menjemputku di sekolah, saat aku menjalani Ujian Akhir di SMA, katanya agar aku tak lelah, dan bisa ujian dengan baik esok harinya. Undangan pesta-pesta ulang tahun sweet 17th teman-temanku datang silih berganti, saat aku berada di kelas 2 SMA. Sementara teman-temanku yang lain datang diantar supir atau dengan pacar mereka, aku diantar oleh papa. Pacar bertemu di tempat pesta, karena kasihan kalau menjemputku dulu, jarak antara rumahku dan pacar saat itu, cukup jauh, Simprug-Ciledug. 


Namun hubunganku dengan papa sebenarnya dulu tak terlalu dekat. Aku baru bisa bicara panjang lebar, duduk bareng dan mengobrol, saat aku kembali kuliah di Psikologi. Beliau adalah teman ngobrol yang menyenangkan, walaupun kadang aku terpaksa mengobrol seputar dunia politik yang menjadi kesukaannya, tapi hal yang aku benci. 


Tahun 2007, adalah titik balik kedekatanku dengan papa. Saat beliau terbaring lemas di ICCU, karena serangan jantung. 


Satu kejadian paling mengharukan adalah saat beliau diperbolehkan pindah ke kamar biasa dari ICCU, aku menungguinya di rumah sakit, walau badan ini pun sakit tak karuan. Kembali aku tak kuat melihat beliau sulit untuk buang air kecil. Tak kuizinkan beliau turun dari tempat tidur, biar aku layani semua kebutuhannya. Namun karena badanku terlalu lelah, aku pun tertidur dengan posisi duduk di kursi, dan kepalaku di tempat tidur papa. Saat tangannya mengelus kepala dan rambutku, aku terbangun, membuka mata dan sempat menitikkan air mata. Aku tahu beliau ingin mengatakan bahwa beliau sayang padaku, dan ingin menyampaikan rasa terima kasihnya, tapi apa daya, beliau terlalu lemas. Esoknya beliau kembali harus masuk ICCU, karena keadaannya kritis. 


Saat papa kembali dirawat di ICCU, aku semakin dijadikan tameng keluargaku, terutama oleh mama. Tameng sebagai motivasi papa untuk mau melawan penyakitnya itu. Dipaksa untuk kuat menghadapi kejadian itu, oleh setiap anggota keluarga besarku, aku pun mampu bangkit walau tergopoh-gopoh. Remuk dan derai air mata tak kuasa aku bendung di luar ruang ICCU, namun sekembalinya aku bertemu dengan beliau di kamar, senyum lebarku kembali merekah, walau disertai dengan mata yang membengkak. Namun semua itu berhasil aku lalui, berhasil papa lalui. Berhasil kami lalui dengan baik. Dan, semenjak itu kedeketan kami pun semakin berarti. 


Satu catatan khusus dari peristiwa papa sakit itu, baru saat itulah, aku mengatakan "Love you, Dad."


Dan dibalas dengan "Love you too, Nduk."


(Lo, bahasa Inggris yang diakhiri bahasa Jawa)


Emiliana Teta


Mama, ibu, bunda apakah artinya untuk diriku? Singkat, jelas, padat, aku benci, aku cinta, aku bingung. Mungkin anggapan bahwa anak perempuan selalu bermasalah dengan ibunya adalah benar menurutku, berdasarkan pengalamanku. Setidaknya sampai 6 tahun lalu, tak ada satu hari pun kami lalui tanpa adu argumentasi. Enam tahun terakhir ini, protesku tak lagi dengan balasan kata-kata, dan tergantikan dengan perginya aku tiba-tiba ke kamarku saat beliau mengomel tak jelas, atau pergi tanpa tujuan, yang sebenarnya aku malas keluar rumah, atau diam tetap melakukan apa yang aku sedang kerjakan tanpa memperdulikannya, atau sekalian pergi keluar kota. Hal yang terakhir ini, membuatku akhirnya bisa selalu diizinkan pergi ke luar kota tanpa bilang jauh-jauh hari sebelumnya, mungkin karena mama sudah terlalu pasrah dengan anak perempuannya yang satu ini. Contohnya "Besok aku cuti, mau ke Bandung seminggu", atau "Lusa aku ke Manado 4 hari ya" atau yang lebih dahsyat, "Ntar malem aku ke Bali loh."


Kebencianku tak lebih dari seputar mama yang tak mau menerima kritikkan dari anak-anaknya, termasuk aku. Anak adalah tetap anak, yang harus menurut orang tua, katanya seperti cara beliau dididik dulu. Alhasil aku tak pernah bercerita sedikit pun tentang masalah pribadiku sampai sekarang. Lebih baik aku selesaikan sendiri. Lebih baik backstreet, yang ini tentu urusan pacaran yah.


Namun dibalik itu semua, mama tetap mamaku. Tak bisa aku pungkiri, beliau sebenarnya tetap berusaha memberikan yang terbaik untukku, dengan cara yang menurutnya juga yang terbaik, walaupun bukan cara yang baik menurutku. 


But, you know what? Mama adalah talent scout yang handal. Tanpa (lagi-lagi) paksaan dari beliau, aku tak mungkin bisa mencintai musik seperti sekarang. Kepandaianku bernyanyi, karena beliau rela pontang-panting tanpa kenal lelah mengantarku kursus bernyanyi di Bina Vokalia, dari usiaku 8 tahun sampai 5 tahun berikutnya. Belum lagi, beliau memaksa papa untuk membelikanku piano, dari hasil menjual mobil, dan akhirnya Petrof itu pun ada di rumah hingga sekarang.


Acungan jempol yang tak pernah aku nyatakan ke beliau karena tertutup gengsi seribu rasa, aku tujukan untuk rasa banggaku akan jerih payahnya menjemputku ke sekolah, dan mengantarkan aku ke tempat kursus, semuanya dengan angkutan umum. Bahkan saat aku harus menjalani gladi bersih, pentas dan shooting untuk acara di TVRI saat itu, yang kadang tak kenal waktu. Seingatku dulu pernah sampai pukul 01.30 malam saat acara BASF Award, walau saat itu akhirnya papa menjemput kami ke Gedung Kesenian Jakarta. 


Mengapa semua titik balik, sadarnya aku bahwa aku tak ingin kehilangan orang tuaku, adalah di rumah sakit. Perjuanganku mencapai Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Pondok Indah, di tengah malam sudah 2 kali aku lakukan, pada tahun 2005 dan tahun 2007. Mama sudah mengidap penyakit asma lebih dari 10 tahun. Dua peristiwa itu berawal dari firasat tak enakku. Dua malam itu, aku sudah bersiap untuk tidur, tapi tak tahu mengapa, aku tak kunjung bisa tidur, dan sepertinya ada yang menyuruhku datang ke kamar beliau. Beruntunglah, kamar tak terkunci seperti biasanya. Aku melihat beliau duduk di tepi tempat tidur dalam keadaan sulit bernapas. 


Seketika aku berlari ke atas, berganti pakaian dan membangunkan papa yang saat itu sedang tidur di bekas kamar abangku yang letaknya ada di seberang kamarku. Kejadian yang pertama tak terlalu membuatku panik. Kondisi mama dan macetnya jalan walaupun sudah tengah malam, tak separah kondisi pada kejadian yang kedua. Terus terang saat berjuang membawanya ke UGD untuk kedua kalinya, aku sangat takut, jika beliau tak tertolong saat di perjalanan. Ditambah kondisi jalan arteri Pondok Indah, yang kami kira sudah tidak macet pada pukul 01.00 malam, ternyata masih macet karena pembuatan jalur busway. Namun puji Tuhan, aku berhasil mencapai UGD tepat waktu dan mama terselamatkan. Kepanikan tak berhenti di situ. Setelah urusan kamar beres, dan mama sudah masuk ke kamar perawatan, tiba-tiba papa memanggilku "Dah selesai Cha?"

"Bentar lagi paling. Kenapa?"

"Gak, jantungku kok berdebar-debar yah."

Langsung aku tanya pada perawat yang sedang membenahi kamar mama, "Sus, dah selesai kan, mama dah bisa ditinggal?"

"Oh, udah kok, ngga papa ditinggal, dah beres semua."

"Ma, kita pulang ya. Ntar siang ke sini lagi."

Sedikit khawatir, jangan sampai aku berurusan dengan UGD lagi pada hari yang sama. Sampai aku berpikir akan mengambil arah melewati Rumah Sakit Internasional Bintaro, kalau-kalau kemungkinan terburuk itu terjadi. Dengan pertimbangan mencari UGD terdekat dan rumah sakit itu adalah rumah sakit tempat papa dirawat dulu. Namun untunglah, sesaat memasuki mobil aku tanya pada papa "Masih berdebar pa?"

"Udah ngga kok, mungkin tadi di dalem kedinginan kali."

Phewhh, akhirya bisa lega. Nasib jadi anak terakhir.

("Loh, Cha bukannya kamu masih punya abang 1 lagi ya yang masih di rumah?"

"Hmm, excuse me?")

Rabu, Juli 02, 2008

Saat Aku Mendengar Vonis Itu...


Selasa, 24 Juni 2008 aku membawa O'neil anjing dachsundku ke Klinik Dokter Hewan yang biasanya. Hari ini aku hendak memeriksakan darahnya untuk persiapan pembersihan karang giginya yang sudah lama aku rencanakan, namun baru sekarang aku ada waktu longgar. 


Setelah ambil darah, kami pun pulang ke rumah. Namun sesampainya di rumah, aku melihat keanehan dan perubahan tingkah laku anakku yang satu itu. Dia jadi malas bergerak, dan gerak kaki belakangnya tidak seimbang, bahkan doyong. Hal itu aku sebenarnya akur rasakan sejak kami di klinik tadi. Ia enggan menaiki anak tangga yang hanya berjumlah 3 buah saat akan memasuki pintu klinik, sampai akhirnya ia harus aku gendong. Biasanya dia senang sekali berlompatan. Ia juga tidak menaiki sofa kesukaannya di rumah untuk tidur, dan sebagai gantinya ia tidur di atas keset di depan pintu masuk rumah. Mama juga melihat keanehan itu.


Tanpa basa-basi, keesokan harinya, Rabu, 25 Juni 2008, aku kembali membawanya ke klinik. Kali ini ia di X-Ray. Hasilnya, menurut dokter tidak terlalu buruk. Menurut dokter hewannya, drh. Nyoman ada pengapuran sedikit di tulang punggung di ruas ke sepuluh dari belakang, dan hal itu sepertinya tidak akan mempengaruhi gerak kaki-kaki belakangnya. Selain itu, hasil X-Ray itu juga menunjukkan tidak ada tulang-tulang yang berpindah lokasi. Ia pun di beri suntikan dan obat, yang menurutnya seharusnya ada perubahan dalam 3 hari. Sesampainya di rumah O'neil sudah bisa berlari, dan mulai melompat-lompat.


Namun hal itu hanya satu hari itu saja. Esoknya gerakannya tidak selincah hari Rabu. Kamis, 26 Juni 2008, walau keadaannya membaik, tapi belum kembali ke seperti semula. Hal itu terus begitu, hingga hari Selasa, 1 Juli 2008.


Selasa kemarin aku membawanya kembali ke klinik. Semula ia akan mendapat perawatan gigi, yang termasuk operasi, karena harus bius total. Namun syukur, dokternya membatalkan operasi tersebut, mengingat harus melihat perkembangan kondisi kakinya, walaupun hasil pemeriksaan darahnya memungkinkan untuk dilakukan anestesi. Untuk anjing seusianya 9.5 tahun, perlu dilakukan pemeriksaan darah lengkap seperti manusia, sebelum dilakukan operasi. Hasil kreatinin dan ureum yang menunjukkan kadar urin dan fungsi ginjalnya masih bagus. SGOT dan SGPT yang menunjukkan fungsi liver dan ototnya juga masih baik. Hemoglobin, kekentalan darah untuk fungsi pembekuan darah jika terjadi pendarahan juga menunjukkan angka yang baik. 


Dokter yang memeriksanya kali ini berbeda dengan dokter yang memeriksa minggu lalu, yaitu drh. Cucu Kartini. Hasil X-Ray minggu lalu aku tunjukkan kepada dokter tersebut, yang kebetulan dokter kepala, yang biasanya memang menangani O'neil. Hasil diagnosisnya memberikan aku kabar buruk tentang O'Neil. Pengapuran tulang juga ada di ruas tulang bagian belakang, yang mendekati ekor. Hal ini akan mempengaruhi syaraf-syaraf penghubung hingga kaki belakang, dan hal terburuk yang mungkin akan terjadi adalah kelumpuhan kaki belakang. Hal ini merupakan salah satu degenerasi organ-organ tubuh, sama seperti manusia. Usia mempengaruhi elastisitas dan kerja seluruh organ tubuh. 


Rabu, 2 Juli 2008, pukul 8.30 pagi, setelah ia bangun tidur, yang sudah seminggu ini, ia kembali tidur bersamaku di kamar, seperti biasa aku menyuruhnya untuk house breaking. Sekembalinya ia dari ritual paginya, ia meminta masuk ke rumah lagi, dan saat itu aku sangat kaget. Seluruh badannya kejang, perutnya kaku, dan kaki-kaki belakangnya gemetar. Ia menghampiriku dan mengerang kesakitan. Otomatis aku langsung panik. Permintaanya untuk digendong aku, langsung aku turuti seketika. Ia pun masih mengerang kesakitan. 


Aku tanya mama, papaku di mana. Ternyata papa lagi jogging pagi, dan syukur ia sudah tiba ke rumah saat itu. Langsung aku bilang padanya "Pa, anterin aku ke rumah sakit."


Papa sudah tahu, bahwa O'Neil sakit, karena saat aku memintanya mengantarku, aku sambil menggendongnya. Baru kali ini pula aku meminta orang rumah untuk mengantarku, selain saat membawa Cricket yang terkena Parvo, saat malam Lebaran 2005 dan jam 2 pagi harus ke Klinik Hewan 24 jam di Sunter. 


Aku pun sudah tak pedulikan lagi untuk mandi dan berganti baju. Langsung aku nyalakan mesin mobil, tentu sambil menggendongnya. Papa langsung berganti baju dan membawa roti juga obatnya ke mobil, untuk mengantar kami berdua. O'Neil akhirnya bisa tidur di pangkuanku, setelah ia mengerang kesakitan beberapa lama. Mungkin saat di mobil, sinar matahari pagi membantunya untuk mengurangi rasa sakit itu. 


Sesampainya di Klinik, dokter yang bertugas praktek hari ini drh. Nyoman, belum datang, dan dokter yang satu lagi sedang sibuk memeriksa para pasien rawat inap satu per satu. Aku terpaksa menunggu. Syukur keadaan O'neil tak separah tadi. Saat ia aku turunkan ke lantai, ia sudah tak kejang dan gemetaran, bisa duduk dan berjalan. 


Sembari menunggu dokter, aku menggendongnya di sekitar klinik, sambil memandikannya dengan sinar matahari pagi. Serasa sedang menjemur bayi yang baru lahir. 


Saat ditangani dokter, ia di suntik Neurobion, dan ia menanyakan gimana pendapat drh. Cucu tentang hasil X-Ray. Aku mengatakan pada drh. Nyoman apa yang dikatakan drh. Cucu. Kemudian drh. Nyoman kembali memeriksa hasil X-Ray, dan ia baru menemukan hal yang sama menurut pendapat drh. Cucu. Ia memintaku untuk kembali menunda rencana pembersihan karang gigi, mengingat perlu untuk dilakukan anestesi total. Pemberian obat untuk O'neil pun perlu diperpanjang, dan rasanya perlu untuk dilakukan akupuntur. 


Sedih rasanya mendengar vonis tersebut. Sedih dan menyesal karena aku telat membawanya untuk pembersihan karang gigi. Sedih karena pengapuran itu tidak bisa disembuhkan total, hanya dilakukan pengobatan untuk memperlambat pengapuran lebih lanjut. Lebih sedih lagi, kalau aku mengingat kemungkinan terburuk yang bisa terjadi menimpa O'neil. Ditambah ilmu kedokteran hewan di dalam negeri, belum secanggih ilmu kedokteran hewan di luar negeri, yang sudah bisa menyediakan semacam roda penyangga kaki belakang untuk anjing (terutama dachsund) yang anatomi punggungnya memang rentan untuk penyakit-penyakit tulang punggung. Kedokteran hewan di luar negeri juga sudah ada spesialisasinya. Ada dermatologist vet, ada ortopedic, ada dental surgeon (bahkan ada khusus ahli ortodontist)


Sedih, karena ia tak selincah dulu. Sedih karena aku tak tahu sampai kapan aku masih bisa bersamanya. Semoga kami berdua bisa melewati ini semua dengan kuat dan tabah. 


Saat ini yang ada di benakku adalah, aku tak ingin memelihara anjing lagi, setelah mereka semua kembali ke Sang Penciptanya. Rasanya tak kuat aku melihat mereka menanggung rasa sakit.


Mommy loves you 'Neil, always...


Ps
: foto tersebut, diambil beberapa bulan yang lalu, saat O'neil masih lincah, bahkan bisa naik ke kamarku sendiri, dan minta untuk dibukakan pintu.