Jumat, April 18, 2008

Naik Angkot Bersama Ayah

Absensi dari dunia blog yang sudah hampir sebulan, bukanlah tanpa alasan. Alasan yang klise memang, yaitu sibuk, atau tak sempat. Blog bukanlah prioritas utamaku dalam sebulan ini. Sempat menemukan mainan baru yang merupakan salah satu aplikasi di facebook, yaitu polivore, yang membuatku betah melihat-lihat pernak-pernik fesyen berjam-jam. Namun ada alasan lain yang lebih penting dari hanya sekedar polivor. Alasan yang mungkin akan dikatakan oleh hampir semua mahasiswa tingkat akhir atau yang sudah terancam drop out, saat ingin menolak sesuatu tawaran atau ajakan. Alasan itu "Duh, sorry gue lagi nguber ngerjain skripsi gue."

Skripsi di jadikan sebagai kambing hitam, padahal sering kali benda itu pun tak tersentuh dalam waktu lama. Namun syukurlah, setelah aku membuat sendiri tenggat waktu penyelesaian tiap bagian skripsi, ternyata membuatku lebih disiplin mengerjakan tulisan itu.

Tapi....tak untuk hari ini, pagi ini. Semula aku akan mulai memperbaiki bab II yang telah mendapat reviu dari pembimbingku. Niat itu aku urungkan, untuk hari ini, pagi ini. Ayahku memintaku menemani ke kantor pajak. Sebagai wajib pajak yang taat, pekerjaan itu rutin dilakukan beliau setiap bulan, walau menurutku, hal itu menyebalkan.

Tak tega untuk menolak permintaan beliau, maka aku pun bersedia menemaninya, tapi aku pun mengajukan satu syarat..."Boleh, tapi naik angkot ajah ya. Aku lagi males nyetir, capekh, lagi jarang tidur."

Akhirnya kami berdua naik angkot ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tangerang Timur. Panas, tapi seru. Serasa aku sedang ke luar kota yang jauh. Sisi kota pusat kota Tangerang yang tak pernah terjamah dari penglihatanku, hari ini aku susuri dengan seksama.

Bangunan-bangunan kantor pemerintahan, yang sengaja di bangun berdekatan, seperti kompleks tersendiri. Toko-toko kelontong, yang nyaris serupa di daerah Kota, atau Pasar Baru di Jakarta, dan tak ketinggalan beberapa Klenteng, tempat sembahyang saudara-saudara kita yang beragama Budha, banyak terdapat di pusat kota ini.

Setelah sekian lama, aku hanya duduk di belakan setir, mengendarai mobil sambil berusaha menghindari serempetan-serempetan motor, dan tetap waspada dengan angkot yang sering berhenti mendadak, kali ini aku yang berada di angkot itu tanpa perlu khawatir.