Minggu, Juni 29, 2008

Tak Perlu Berburu Sampai Ke Singapura...

Ajang Singapore Great Sale mungkin sudah tak asing terdengar oleh telinga kita. Namun, apakah telinga kamu masih asing mendengar Jakarta Great Sale?


Mungkin sedikit terdengar meniru Singapura, namun pesta diskon yang diselenggarakan di Jakarta tak kalah menarik dengan Singapura, ya walaupun aku baru sekali bertandang ke Singapura saat Singapore Great Sale ini diselenggarakan.


Juni, bertepatan dengan ulang tahun kota Jakarta, PemDa Jakarta berusaha untuk lebih memeriahkan kota, jika dibandingkan dengan hari-hari biasanya. Acara tahunan seperti Pekan Raya Jakarta dan Jakarta Great Sale ini digelar sebulan lamanya. Surga belanja bagi para shopaholic atau impulsive buyer. Segala daya upaya dilakukan untuk dapat membeli barang kesukaan yang belum tentu diperlukan. Pernyataan seperti biasa yang terlontar oleh para maniak belanja yaitu "Mumpung diskon."


Memang benar, tengah tahun sepertinya waktu tepat untuk berbelanja. Untuk membuat PemDa Jakarta menambah pemasukan daerah lebih dari biasanya. 


Tak usah banyak omong, aku hanya ingin menyampaikan pandangan mata, sebagai salah seorang penggila belanja yang selalu berusaha menahan diri, namun lebih sering gagal, dan terjerumus oleh iming-iming diskon.


Inilah hasilnya:

Zara: Diskon hingga 50 %, namun hati-hati untuk mereka yang tak terbiasa memakai merek ini. Mereka tak memperbolehkan untuk melakukan fitting. Diskon baru dimulai hari Kamis, 26 Juni 2008 jadi barang bagus mungkin masih banyak. Untuk mereka yang beratnya di bawah 45 kg, bisa memakai ukuran XS, untuk dress, dan bisa ukuran S untuk baju-baju seperti kaus. Untuk celana panjang maupun jeans, agak sulit menetukan ukuran yang pasti, karena sangat tergantung dengan bahan dan model celana itu sendiri. Harga dress cukup mendapat potongan harga yang besar listed price sekitar 700 ribuan menjadi 300 ribuan.

Mango: Diskon hingga 70% dan boleh fitting, tapi diskon sudah dimulai 1 minggu sebelum Zara. Jadi untuk mendapatkan barang yang bagus dan sesuai ukuran sudah semakin sulit. Barang yang mendapat potongan harga besar adalah barang-barang seperti kaus harian. Sedangkan untuk busana resmi seperti sack dress potongan harga tak terlalu jauh, cth: dari 500 ribuan menjadi 400 ribuan saja.

Debenhams: Diskon hingga 70%.

MPhosis: Sepertinya tidak ada diskon.

Top Shop dan Top Man: Tidak ada potongan harga, namun ada penawaran khusus seperti beli satu gratis satu.

Raoul: Ada barang-barang tertentu yang di diskon hingga 70%

Banana Republic: Diskon hingga 70%

Sports Station: Sepertinya diskon hingga 50%

Tomodachi Restoran: Diskon 50% dengan memakai kartu kredit tertentu.

Optik Melawai: Diskon 20%.


Dan menurut berita di surat kabar, pusat perbelanjaan yang mengikuti Jakarta Great Sale ini antara lain Pacific Place, Puri Indah Mall, Pondok Indah Mall, Senayan City, Plaza Senayan, Plaza Semanggi.


Namun jika ada kesalahan peserta Jakarta Great Sale ini, dan teman-teman mengetahuinya, silakan diralat, atau jika ada yang ingin membagi informasi potongan harga yang diselenggarakan toko-toko yang belum disebutkan di atas juga silakan ditambahkan. 


Bagi mereka yang tak berencana liburan ke luar kota dan juga memiliki hobi belanja, sepertinya ajang diskon ini dapat dijadikan alternatif pengganti liburan yang notabene sebagai penghilang stres, begitu pun juga belanja, yang bisa mengatasi kepenatan (walau kadang hanya sebentar, saat kita belum sadar bahwa kita belanja terlalu banyak). 


Selain itu, belanja di Jakarta, tak perlu mengeluarkan biaya tiket pesawat (buat mereka yang tinggal di JaBoDeTaBek dan mungkin juga Bandung) apalagi fiskal, jadi tentu lebih hemat.


Saranku jika ingin liburan, carilah tempat yang mempunyai kekhususan atau keunikan lainnya selain hanya untuk tempat berbelanja. Misalnya Bali yang punya nilai plus sebagai tempat menyenangkan wisata air.


Tips satu lagi, perhatikan sms yang dikirim langsung ke ponsel kamu, dari para penerbit kartu kredit tertentu, biasanya ada preview sale untuk para pemegang kartu kredit. Kamu bisa diuntungkan, karena dengan preview sale ini bisa mendapat barang bagus, ukuran masih banyak tersedia, dan sainganmu tidak terlalu banyak. 


Jadi tak perlu berburu belanjaan sampai ke Singapura 'kan?


Shop till you drop gurls... 

Aku Sebut Sebagai Pesta Yang Menyenangkan...

28 Juni 2008 baru kemarin berlalu. Sahabatku, yang kebetulan juga satu sekolah denganku selama SMP-SMA, baru saja menikah. Muninggar Rahma Witin dan Marinus Wakil Witin. Dan, sebelumnya aku ucapkan selamat untuk mereka berdua, yang diiringin oleh peluk cium dariku. 


Akad nikah dimulai pada sore hari dan dilanjutkan dengan resepsi pernikahan mereka berdua. Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, saat resepsi aku akan memakai kebaya putih dan bubble skirt bermotif batik, yang baru sabtu pagi, hari yang sama, diantarkan oleh sepupuku ke rumah. Alasannya aku malas menjadi tak leluasa berjalan karena balutan kain. Apalagi siang harinya hal yang tidak mengenakkan itu sudah aku rasakan. Tak bisa berjalan dengan leluasa, karena terpaksa menggunakan kain batik motif pesisir, walau sudah dijahit menyerupai rok. Memakai baju seperti itu pada akad nikah bukan rencana awalku. Sack dress hitam berkerah kombinasi halter dan turtle neck yang akan aku kenakan ternyata sudah tak laik aku gunakan. Sayangnya karena sudah lama tak aku pakai, turtle neck sudah rusak, karetnya sudah mulai mengendur. Akhirnya aku memakai kebaya biru tua, yang biasanya aku kenakan dengan kain batik Jawa Tengah lengkap dengan wiru. Namun kali ini aku kombinasikan dengan kain lain.


Semua acara akad dan adat Jawa selesai dilaksanakan sekitar pukul 16.00. Ternyata perutku sudah keroncongan, karena aku baru ingat aku lupa makan siang. Akhirnya aku ke salah satu restoran pizza di dekat situ, sekalian menghabiskan waktu menunggu resepsi. Di restoran itu pula aku berganti baju untuk resepsi. Tak perlu pergi ke salon pikirku, rambut yang tak susah di atur ini, sudah aku blow sebelum acara akad, dan tata rias, aku hanya mengandalkan kemampuan dan perlengkapan yang aku punya. 


Sekembalinya ke tempat acara, belum banyak tamu yang datang. Sedangkan gandenganku malam itu, harus kembali ke mobil sebentar, karena telepon genggamnya tertinggal. Aku pun kemudian bertemu dengan salah satu teman lamaku, Pelangi Gunawan. Kami berdua sudah tak bertemu selama 8 tahun. Sempat kehilangan kontak satu sama lain, dan kembali bertemu di jaringan facebook. Kami kemudian mengobrol bahkan sempat foto-foto di salah satu bangku panjang di tempat resepsi Pendopo Kemang itu. Manusia kecil itu dari dulu tak pernah berubah. Sangat baik, lugu dan selalu mau menolong. Hmm..dari dulu aku perhatikan ada beberapa kesamaan antara aku dan dia. Kami berdua ini lebih senang memilih sebagai penonton atau penikmat dan penggembira di antara gelak tawa teman-teman kami yang lain. Bisa-bisa, kami malahan berada di luar kerumunan keramaian itu. Dan, hal ini masih aku lihat saat pesta malam ini. 


"Hmmm, Ngi...masih ngga berubah kamu ya. Masih baik, lugu. Jangan terlalu baik loh..nanti gampang ditipu orang. Hahahaha."


Muning dan Josh, tidak terus menerus "dipajang" di pelaminan. Mereka berdua yang berkeliling menghampiri para tamu. Setelah aku dan "tttuuuutt..." (sensor, hahaha) menyalami mereka berdua, kami pun duduk di bangku di luar ke dua pendopo yang berbentuk joglo jawa itu. Mau mengambil makanan pun malas rasanya, karena perut ini masih kenyang, karena pizza enak yang kami santap sebelum resepsi. 


Aku hanya mengobservasi teman-teman lamaku, yang sebagian besar sudah aku sapa saat bertemu di akad tadi, walaupun memang banyak juga yang baru datang. Aku menunggu, jika jumlah mereka yang baru datang sudah banyak, baru aku menghampiri kerumunan teman-temanku, dan menyapa mereka sekaligus. Hmmm, walau aku pikir "Yeah, another basa-basi."


Kain bukanlah satu-satunya penghancur untu dapat menikmati pesta. Ternyata high heels ini juga menyiksaku. Baru kali ini aku benar-benar merasa tersiksa menggunakan sepatu andalan para wanita itu. Ternyata pergelangan kaki yang sempat terkilir akibat aku terpeleset dari tangga itu belum benar-benar sembuh. Lebih parah daripada kejadian yang sama saat menimpaku di lapangan tenis, beberapa tahun yang lalu. 


Aku pun berencana ingin segera pulang, karena tak tahan merasakan pegalnya kaki ini. Niat untuk berpamitan, kami pun berdua sempat foto dengan kedua mempelai. Hanya kami berempat, maklum kami tamu kehormatan. Muning tahu persis aku manusia yang paling malas tampil di depan umum, jadi ia tak memintaku sama sekali untuk menjadi seksi sibuk di pestanya. Setelah foto, ternyata acara lebih menyenangkan. Para undangan orang tua kebanyakan sudah pulang. Sekarang tinggal acara gila-gilaan. Mana ada siy pengantin treak-treak nyanyi rock di atas panggung. Hah, manusia itu ternyata tak betah juga "mengurung" sifat aslinya walau hanya untuk satu hari.


Kedua mempelai itu berdansa, diikuti oleh kedua orang tua mereka, dan teman-temanku yang sudah berkeluarga. Tak lama kemudian Muning berdansa dengan ayah tercintanya, sedangkan Josh dengan ibu mertuanya. Mengharukan, tak terbayang beratnya seorang ayah melepas "kepergian" anak perempuannya dan "diserahkan" kepada seorang laki-laki lain, yang notabene mungkin hanya anaknya sendiri yang merasa yakin bahwa laki-laki itu adalah orang yang tepat untuk dia. Aku pun juga berdansa di pinggir, seperti biasa, bukan banci tampil. Sekelilingku teman-teman SMA-ku yang sudah lama sekali aku tak bertemu. Beberapa sudah membawa "buntut" mereka yang masih kecil-kecil ke pesta itu. Namun ada juga beberapa yang masih sedikit melupakan tugas perkembangan mereka di usia-usia kami ini. 


Tak lama, seorang temanku Jessica Kaunang (maaf ya Jes, aku lupa nama keluarga suamimu, jadi aku pakai nama keluarga ayahmu) menghampiriku. "Ocha apa kabar?"


"Baik-baik. Hei aku liat foto-foto bayimu di friendster, lucu banget. Kok ngga dibawa?"


"Oh, ya. Kemaren abis sakit siy."


"Tapi ngga dua-duanya khan? Oh ya Jes, ini kenalin. JC ini temenku waktu SMA."


"Iya Jes, sakitnya ngga dua-duanya?"


"Dua-duanya."


"Ya ampun kok bisa?"


"Hah, dua-duanya?"


"Iya anaknya JC ini kembar Yi, sumpah lucu-lucu banget. Terus Jes, elu dah ngga kerja?"


"Gue translate doank, sama khan kita."


"Gila lu badan langsung kecil aja, padahal langsung punya 2."


"Justru Cha, karena dua itu, gue langsung cepet kurus."


Kadang aku malas untuk menyapa teman lamaku terlebih dahulu. Takut mereka lupa denganku sehingga obrolan pun akan menjadi basi. Namun ternyata JC tak seperti itu, walau saat SMA, kami tak terlalu dekat.


Ada sedikit kisah tentang temanku yang satu ini. JC adalah mantan pacar, (yang sebenernya cuma 3 bulan juga gitu), suami teman dekatku dari SMP. Namun tak tahu mengapa teman dekatku ini, sumpah cemburunya minta ampun dengan JC. Ia tak menceritakannya padaku mengapa ia bisa secemburu itu dengan JC, padahal keduanya sudah sama-sama berkeluarga. Bahkan waktu itu aku dengar suaminya JC ini, meminta tolong suami temanku ini mencarikan rumah tinggal untuk mereka tempati di kompleks rumah temanku ini, dan kebetulan dapat lah rumah yang menurut mereka ideal, dan posisinya persis di belakang rumah temanku itu. Langsung temanku marah-marah. Untungnya JC dan suaminya ini urung pindah rumah dulu, setelah mengetahui anak pertama mereka kembar. Jadi mereka lebih memilih biaya untuk beli rumah, dialokasikan untuk biaya anak-anak mereka. 


Sedikit aneh siy teman dekatku itu, yang masih saja cemburu. Namun sekali lagi, aku tak bisa menghakimi, karena aku tak tahu persis kejadian yang sebenar-benarnya. Mudah-mudahan tidak marah-marah lagi ya.


Lalu tak berapa lama, aku mengobrol dengan Indri Rachdiani, yang dulu waktu SMA, dipanggil Bubun, karena ia bundar dan bulat. Ibu yang satu ini baru beberapa bulan lalu melahirkan Ruben, putra pertamanya. Namun saat ini perutnya sudah kembali membesar, karena adik Ruben akan segera hadir menemani abangnya. 


Setelah itu Pungky menghampiriku, kami pun sempat beberapa saat mengobrol, walaupun pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan adalah pertanyaaan andalan orang yang tak lama bertemu. Termasuk pernyataan dari aku "Abis Muning trima piala bergilir itu, berarti Irma ya?"


"Ngga Cha, Lintang dulu baru Irma. Lintang 27 Juli besok."


"Terus tinggal tersisa elu sama Pingkan?"


"Gue siy ngalah biar Pingkan duluan, biar trophynya di gue terus."


Muning dan teman-teman seperjuangannya selama kuliah di Bandung, memang punya piala bergilir pernikahan. Jadi piala yang diberikan kepada Muning malam ini, diserahkan oleh Tiwi, yang menikah beberapa bulan lalu.


Dan, tak lama setelah itu, karena kaki ini tak lagi tahan, aku memutuskan untuk pulang, tanpa pamit lagi dengan Muning.


Hmmm...hanya 4 jam. 4 jam yang sanggup memutar waktu kembali. Masa-masa di mana kami masih berada di setengah perjalanan hidup aku dan teman-temanku itu saat ini. Dan, aku sebut itu sesuatu yang menghidupkan kembali hidup yang kadang melemah.


Kenangan itu tak pernah lepas dari memori ini. Tak pernah tertinggal, dan selalu terbawa ke mana pun kami pergi. Dan, aku sebut itu sebagai suatu yang menyenangkan.


Nice to meet you all gurls...and till we meet again,...


Di lembar kehidupan kita yang lain. 


Hhmm..., dan pesta tadi malam aku sebut sebagai pesta yang menyenangkan.

Rabu, Juni 25, 2008

Satu Di Antara Seribu...

Hari ini 23 Juni 2008, aku ke kampus. Dua orang temanku sidang skripsi akhir mereka. Paulina Dessy Wulandari, S.Psi, dan Rosalia Dwita, S.Psi.

Ya, ya gelar itu sudah resmi ada di belakang nama mereka, dan sebelumnya aku ucapkan selamat ya.


Seperti biasa perubahan rencana ke mana pun aku pergi bisa tiba-tiba berubah karena orang rumah. Seperti biasa pula, aku tak tega menolak, atau tepatnya aku malas menolak, malas menerima ocehan setelah penolakan itu. Akhirnya aku ke kampus baru bisa siang, yang tentunya rencana awalku akan berangkat pagi, tapi ada satu yang spesial dari berangkatnya aku ke kampus kali ini. Aku membawa keponakanku Jelita, yang kebetulan sedang liburan sekolah. Kasihan kalau di tinggal di rumah dengan Mbak-nya yang baru (lagi). Oh ya lengkap dengan oma opanya, yang tak lain adalah bapak ibuku. Mereka kebetulan orang yang cukup bisa mencari kesibukan sendiri, sementara aku tentu sibuk dengan diriku sendiri. Si kecil, Jelita, seperti biasa aku tanya dulu "Mau sama tante, atau sama oma opa?"


"Sama tante."


Sudah bisa aku tebak. Mungkin aku adalah tante yang cukup galak, judes, tapi tak tahu mengapa ia cukup lengket denganku, karena biasanya galak, judes, dan ketegasan dariku, selalu aku ikuti dengan pengertian yang perlu ia tahu.


Akhirnya kami melakukan aktivitas bersama-sama selama di kampusku. Pertama, kami mencari makan siang. Pilihanku adalah di kantin, murah meriah, kenyang dan rasanya lumayan lah. Menu pilihanku tergantung dengan pilihan si kecil, karena kami akan berbagi. Tanyalah aku padanya "Mau makan apa Dek? Sate atau ayam goreng?"


"Sate."


Akhirnya kami berdua memesan sate. Yang berikutnya adalah "Mau minum susu ultra yang kamu pegang itu, atau mau teh botol?"


Aku tahu, pertanyaan itu adalah pertanyaan retoris, karena teh botol salah satu minuman favoritnya.


"Teh Botol."


"Tapi minumnya setelah makan satenya ya."


Begitu sate datang aku langsung melepasi potongan daging dari tusukan, agar Jelita bisa makan dengan enak. Saat aku hendak menyuapinya, ia menolak.


"Ah, mau makan sendiri."


"Oh, ya udah."


Suapan yang ia lakukan hanya berhasil sampai dua atau tiga kali, selebihnya aku yang akhirnya menyuapinya, sambil ia sibuk sendiri di bangku panjang itu. Banyak yang mengira ia adalah anakku sendiri "Aduh 'cha lucu banget. Anak lo?"


"Ho oh."


"Boong. Putih amat."


Setelah ia merasa kenyang, walau jika aku hitung, mungkin itu baru 6 suap, ia katakan padaku "Udah ngga mau lagi."


"Kenyang?"


"Iya."


"Ya udah, tante abisin ya."


"Iya."


Ini juga yang salah satu nilai plus aku di mata Jelita. Tidak memaksakan apa yang aku rasa baik untuknya. Mungkin bagi orang lain 6 suap itu baru sedikit. Namun tidak bagiku. Untuk anak usia 6 tahun, aku membayangkan perutnya masih kecil dan belum bisa menampung banyak makanan. Lagi pula selama di mobil tadi ia sudah mengemil lemper dan minum susu ultra.


Aku sudah terbiasa bepergian hanya berdua dengannya. Sedikit merasa parno, jika kami sedang berjalan di tengah keramaian, tangannya tak lepas dari genggaman tanganku. Ia pun sudah terbiasa menggandeng aku, jika kedua tanganku sedang penuh memegang barang. Namun hal ini tentunya akan menarik perhatian banyak orang. Pandangan mata yang penuh dengan tanda tanya itu mengikuti gerak langkah kami berdua selama di kampus, kalau tak salah terka, mata mereka seolah berbicara "Gila, si Ocha udah punya anak."


Sedikit tertipu, tapi juga ada benarnya. Jelita sudah aku anggap anak sendiri. Ia termasuk dalam deretan atas dari daftar prioritasku. Aku sedikit beruntung, karena Abang dan Kakak iparku, mengizinkan aku untuk turut mengasuh Jelita, sejak ia masih bayi.


Setelah selesai makan aku ke lantai 5 gedung C, karena ingin bertemu dengan Dessy. Sesampainya kami di sana, akhirnya aku, Jelita, dan Dessy mengobrol bersama. Beruntung temanku yang satu ini, berpengalaman mengobrol dengan anak kecil, karena adiknya yang paling kecil masih seusia Jelita.


Setelah Jelita merasa bosan di lantai 5, ia pun memintaku untuk pulang kembali ke oma opanya yang sedang makan di Banaran. Akhirnya kami berdua turun.


Perjalanan selanjutnya adalah kami mengantarkan Jelita ke kantor Mamanya. Saat mamanya meneleponku dan bilang "Jeje di bawa ke kantorku aja, biar pulang sama aku."


"Oh, ya udah, nanti aku tanyain sama anaknya dulu."

Tak lama setelah mamanya menutup telepon aku bertanya pada Jelita "Dek, mau ke kantor Mama, atau pulang sama Tante? Kalo ke kantor Mama, pulangnya sore banget ya. Resikonya di situ, kalo pulang sama tante ngga sampe malem."


"Mau pulang sama Mama."


Itulah yang aku senang dari Jelita. Sesenang-senangnya ia pergi denganku, tapi ia masih lebih memilih dengan mamanya sendiri.


"Tapi nanti jangan bosen ya di sana, ngga boleh gangguin mama kerja ya. Konsekuensinya kayak gitu ya Dek."


"Iya, ngerti tante. Paling nanti aku main sendiri di ruangannya. Aku pernah kayak gitu kok."


"Oh ya udah, tapi ganti baju dulu, kalo pake tank top gitu takut kedinginan di sana."


"Oke."


Dari Jl. Sudirman ke Jl. H.R. Rasuna Said yang kebetulan tidak macet, hanya memakan waktu 15 menit. Ingrid, mamanya Jelita, sudah ada di lobi saat kami tiba. Jelita pun langsung turun menghampiri mamanya.


"Daggg tante, oma, opa. Ma kasih ya."


Satu tugas selesai.


Dari Menara Imperium, kami pun langsung pulang. Melewati jalan belakang yang langsung tembus ke Landmark, Sudirman.


Berjalan hanya dengan kecepatan tak lebih dari 60km/jam, karena kami tak sedang terburu-buru. Berjarak tak jauh dari lampu merah, di sekitar depan Hotel Shangri-La, tiba-tiba ada satu taksi yang berhenti mendadak, karena ada penumpang yang memberhentikannya. Otomatis semua kendaraan di belakangnya juga berhenti mendadak, termasuk mobil di depanku, dan aku sendiri. Kami semua berhasil berhenti dengan sempurna, dan karena kebiasaan kalau aku berhenti mendadak, aku pasti melihat kaca spion dalam, untuk melihat keadaan di belakangku. Dan, aman. Hanya ada beberapa motor yang masih jauh. Motor-motor itu pun kemudian satu per satu menyelip dari kiri. Aku kemudian melihat ke arah depan kembali, dan tak tahu mengapa aku refleks kembali melihat spion dalam. Tiba-tiba terdengar suara "Ciiiiiitttt.....gubrak."


"Brengsek, ditabrak lagi ya gue."


Papa pun menimpali "Ngga kok, ngga berasa."


Itu adalah bunyi motor yang berasal dari arah tengah, yang menyelip diantara deretan mobil di kiri dan kanan. Melihat ada jalan yang sedikit terhambat di depannya, ia langsung banting ke kiri dan ingin menyelip dari bagian kiri. Namun barisan motor yang menyelip di sebelah kiri, tak ada yang mau berhenti dan memberi jalan. Akhirnya motor itu berhenti mendadak.


Namun satu yang mengherankan, ia berhenti mendadak dengan "mematahkan" stir-nya, dan rela menjatuhkan diri ke aspal, demi menghindari tabrakan dengan mobil di depannya, yaitu aku. Pengemudinya aku lihat dapat langsung berdiri setelah terjatuh, walau sedikit terpincang-pincang.


Langsung saat itu yang ada di pikiranku adalah "Tumben ada yang rela begitu. Ma kasih ya."


Dua kali satu di antara seribu...


Membawa keponakanku ke kampus, dan motor rela menghindari menabrak mobil, yang notabene mungkin adalah "musuh" mereka juga.

Senin, Juni 16, 2008

Memang Tak Selalu Mudah...

"Growing Up Isn't Always Easy"
You're at a time in your life now
when you may be a little worried
about fitting in with your friends
and being liked
by other people your age.
But, just remember one thing,
you're a very wonderful person,
with strengths and talents
all your own.
And no one else can ever begin
to be like you,
or to offer all the things
you have to give.
So be proud
of all those special things
that make you-YOU!


Itu adalah sebuah salinan kata-kata yang tertulis di sebuah kartu kecil yang terbuat dari plastik. Pemberian dari seorang yang dulu pernah membuatku sering berbunga-bunga. Seorang yang sempat mewarnai kehidupan masa remajaku. Tentu sampai kini, kami pun masih berteman. Ia berikan kartu kecil itu, kalau tidak salah saat kami harus melanjutkan ke sekolah yang berbeda, alias perpisahan SMP.

Tak tahu mengapa kartu sekecil ini tak terselip dan menghilang. Aku tak ingat menyimpannya secara khusus di suatu tempat, dengan tujuan agar kartu ini tak hilang. Seingatku ada 2 kartu yang berisi kata-kata indah yang ia berikan padaku. Satu kartu lagi judulnya kalau tidak salah "A Thousand Miles May Come Between Us", yang ia cetakkan khusus untukku di mesin pembuat kartu Hallmark, saat ia menghadiri wisuda kakaknya di Wisconsin, USA. Bahkan di belakang kartu itu tertulis "Personalized for Rosa". Kartu itu hilang karena tertinggal di kantorku, 8 tahun lalu, setelah aku menyalin kata-katanya di komputer kantor. Sempat 6 tahun tersimpan dengan baik, tapi hilang juga.

Berbeda dengan kartu yang lebih kecil ini. Aku tak menyimpannya secara khusus, keluargaku sempat pindah rumah sementara, karena renovasi, sempat juga aku bongkar-bongkar kamar, tapi tetap saja kartu ini sering seolah-olah muncul di hadapanku secara tiba-tiba. Hingga hari ini, setelah 14 tahun, kartu ini masih ada, walaupun dengan bentuk yang tidak seindah dulu. Warna kartu itu yang merupakan kombinasi antara merah muda, kuning muda dan ungu muda dengan tulisan bewarna hitam, sudah mulai terkelupas dan pudar.

Saat ia memberikan kartu ini, kata-kata itu hanya aku baca sekilas, dengan pikiran "Bagus deh."

Namun saat ini, kartu itu "berbicara" hal yang berbeda, yang tak aku temui empat belas tahun yang lalu.

Aku percaya bahwa seseorang itu pasti berubah, begitu pun juga aku. Perubahan itu sering tak sejalan dengan pemikiran orang lain, bahkan orang yang dekat denganku. Sering kali itu menimbulkan sebuah konflik kecil dengan mereka yang berada di sekelilingku. Namun aku juga percaya bahwa hidup ada pilihan, dan manusialah, akulah yang menentukan pilihan mana yang akan diambil. Lagi-lagi, kadang itu tak sejalan dengan kemauan orang lain, harapan orang lain, kamauan dan harapanmu juga mungkin.

Sadarkah bahwa apa yang ada di benakku, tak sama dengan apa yang ada di pikiranmu?

Ketahuilah bahwa talenta yang aku miliki berbeda dengan talentamu.

Mengapa tak kamu akui bahwa aku ini seorang yang spesial, punya suatu yang bisa dibanggakan, sama seperti diri kamu, yang spesial dan membanggakan.

Kadang aku sulit menyesuaikan diri denganmu, apalagi membuatmu menyukai aku.

Namun kembali kusadari aku tak bisa memaksamu, karena kita berbeda.

Aku bahkan tercipta dengan sidik jari yang berbeda denganmu.

Coba deh kamu pakai "sepatu" milikku, sehingga kamu bisa tahu, apakah ini kebesaran, kekecilan atau sesuai dengan ukuranmu.

Mungkin bisa membuat arogan diri berangsur pudar, sehingga mata hati ini dapat melihat bintang yang sedang turun bersinar di daratan.

Maaf, jika selama ini kamu tawarkan aku untuk mencoba "sepatu" milikmu, tapi aku tolak.

Maaf, jika selama ini kamu hanya berselimut debu di mataku.

Karena ternyata kamu adalah seorang yang spesial.

Seharusnya kamu bangga akan itu.

Seharusnya kita bangga akan itu.

Walau kadang, kita tetap harus mencoba "sepatu" orang lain.

Pada akhirnya, harus akui bahwa beranjak dewasa memang tak selalu mudah...