Rabu, Oktober 22, 2008

Dangkal?

Hmm...tiba-tiba aku tadi berpikir sembari menulis cerita baru untuk blog Bintang Jingga yang aku kelola. 

"Jangan-jangan yang baca pada mikir, tulisan gue niy pasaran banget. Cerita remaja, yang memang lagi getol-getolnya dipasarkan."

Hal ini pun terbukti saat aku ke salah satu toko buku ternama, saat aku sedang mencari buku baru berjudul Rectoverso, karangan penulis favoritku Dee Lestari. Novel-novel yang berisikan cerita masa remaja, banyak sekali dijual di sana. Saat aku melihatnya, tiba-tiba terbersit dua pikiran. Yang pertama adalah "Wah, cerita gue bisa gue jadiin buku, terus dijual."

Dan pikiran yang lain adalah "Mana laku, pasaran gini. Dah banyak novel yang sama."

Namun pikiran-pikiran itu kemudian aku abaikan. Aku tetap akan melanjutkan cerita si Bintang Jingga itu.

Terus terang, tidak semata-mata semua itu aku tulis tanpa latar belakang. 

Bagiku sangat sederhana. Bagiku masa-masa remaja adalah masa-masa paling indah. Sering aku sebut sebagai hidup tanpa beban. Ya, walaupun ada, setidaknya aku tak perlu memikirkan masalahku, seperti masa-masa sekarang ini, saat aku hendak mencari solusi atas masalah yang sedang aku hadapi.

Bagiku masa remaja, mungkin masa-masa saat aku hanya hidup untuk hari ini. Tak ambil pusing akan hidupku esok. Paling-paling hanya urusan ulangan dan ujian di sekolah, dan masalah cinta monyet yang semuanya seperti cerita di dalam dongeng, selalu indah, dan melenakan. 

Jadi, jika ada salah satu dari pembaca yang mungkin menganggap tulisanku itu biasa saja, pasaran atau malah dangkal, ya maaf jika aku tidak atau belum bisa memenuhi harapan kalian. Namun setidaknya ini semua merupakan cermin bahagia akan masa remajaku, walaupun cerita tersebut, ada yang nyata dan banyak juga yang hanya merupakan khayalanku.

Selamat menikmati. Semoga pada akhirnya nanti, semuanya itu tidaklah dangkal.

Senin, Oktober 20, 2008

Gadis Kecil dan Tangis Air Hujan...

Saat itu, kalau aku tak salah ingat, di salah satu hari di tahun 2003, hujan mengguyur kota Jakarta dengan sangat deras, aku sedang berkendara pulang dengan Rully Hariwinata dari tempat kami mencari nafkah. Kebetulan kami berdua memang bekerja pada perusahaan dan kantor yang sama, bahkan divisi yang sama pula. 

Arah menuju rumahku memang melewati rumahnya, walau perlu sedikit memutar. Dan saat itu memang aku sedang sering mengendarai mobil sendiri ke kantor. Aku ingat benar, kira-kira saat itu, jam mobilku menunjukkan sekitar pukul 21.30, dan Rully sedang membantuku mengendarai si Panther yang biasa aku kendarai waktu itu. 

Tak tahu mengapa kami tidak melewati Slipi seperti biasanya. Kali ini kami memilih untuk lewat Tomang. Jalanan sudah cukup sepi saat itu. Padahal belum terlalu malam, dan biasanya Jakarta jika hujan deras, pasti sudah mengalami kemacetan yang sangat parah. 

Saat di perempatan Tomang, kami hendak berbelok ke kanan, ke arah Tanjung Duren. Lampu lalu lintas saat itu sedang menyala merah. Pasti hal itu membuat kami harus berhenti. Di saat Rully sudah mengurangi laju kendaraan, dan saat kami sedang berbincang-bincang, tiba-tiba aku dikejutkan dengan sebuah pemandangan, yang sangat menyedihkan, yang pada akhirnya sangat membuat aku dan Rully, berdua dilema. Dan pemandangan itu terpaksa kami "nikmati" beberapa saat, karena mobil harus berhenti. Berhenti tepat di sebelah pemandangan itu ada.

Seorang anak kecil, perempuan, kira-kira belum genap lima tahun. Merangkul tiang lampu lalu lintas, meringkuk, ketakutan, basah kuyub terguyur hujan, yang terkadang ia menengadahkan kepalanya menatap langit yang sedang "berlinang air mata". Kami tak tahu ia menangis atau tidak, karena derasnya hujan menghalangi kami untuk dapat mencari tahu hal itu. Tak ada seorang pun di luar sana, di sekitar tiang lampu lalu lintas atau pun di pembatas jalan itu. Dan orang yang berada di dekat anak tadi, hanya kami berdua, hanya aku dan Rully.

Dua atau tiga menit menunggu lampu merah berganti menjadi hijau saat itu, serasa setahun. Mengacaukan pikiran kami berdua.

Sedih kami dibuatnya, tentu. Rasa cinta dan logika sekali lagi tak bisa dipertemukan kali ini. Berbaur sedikit egoisme diri, yang setidaknya untukku, aku jadikan sebagai pembenaran. 

Bukan hati tak berkata meminta kami turun dari mobil dan membantu anak itu. Namun tak lama kemudian logika pun berkata lain. Tak ada seorang pun di sana, bahkan polisi, yang bisa membantu kami, jika ada hal yang tak diinginkan terjadi. Andaikan itu tak terjadi, dan anak itu berhasil kami ajak, tapi akan kami bawa ke mana? Dan bagaimana kami merawat anak itu?

Maafkan kami yang pada akhirnya lebih memilih untuk menatap arah depan, menatap jalanan di depan kami, dan akhirnya melaju, sesaat lampu lalu lintas berganti hijau. 

Gas yang diinjak oleh Rully pun akhirnya sedikit melemah. Aku tahu, Rully pun merasakan hal yang sama denganku. Rasa sesal meninggalkan gadis kecil itu sendiri. Tersirat amarah akan ketidak-berdayaan kami berdua untuk membantu anak itu. 

Hanya perlu waktu dua menit. Untuk membuat kami bimbang. Dua menit yang setidakya bagiku bisa menggantikan posisi arsip lain di memoriku, yang sudah diatur sedemikian rupa berdasarkan skala prioritas. 

Dua menit yang membuatku belum juga menemukan jawabannya bagaimana seharusnya aku bertindak saat itu, atau mungkin kelak aku atau Rully, atau kami menemukan hal yang sama seperti itu. 

Rasa kemanusiaan kami diuji. Tulusnya cinta kami sedang dipertaruhkan dengan logika yang tak kalah masuk akalnya. 

Tidakkah kamu akan bertindak seperti itu, Teman?


Sabtu, Oktober 18, 2008

Cogito Ergo Sum...

Saya berpikir maka saya ada. Ya, begitulah kira-kira terjemahan dari judul tulisanku kali ini.


Manusia yang diciptakan pada hari terakhir dari seluruh rangkaian penciptaan dunia oleh Sang Maha Dahsyat, Agung dan Kuasa, yang kita sebut dengan Tuhan, memang merupakan makhluk yang idealnya merupakan paling spesial, dari semua makhluk yang ada di dunia ini. Aku rasa Tuhan mungkin meluangkan waktu, tenaga, pikiran-Nya yang paling optimal untuk menciptakan seonggok daging yang berjiwa, berotak, berbudi pekerti, berperasaan, dan ber-ber-ber yang lainnya. 


Idealnya manusia mempunyai segudang prestasi hidup yang membanggakan di mata Sang Penciptanya, di mata sesama manusia, bahkan makhluk lain, walau tanaman dan binatang itu, mereka sering "berbicara" dengan bahasa yang tak bisa dipahami oleh manusia. 


Sebagai "arsitek" manusia, Tuhan pasti juga mempunyai blue print yang berbeda untuk tiap ciptaan-Nya. Dan perlu diingat, blue print itu adalah misteri, yang pasti akan terlaksana, dengan cara apa pun. Cara yang kita pilih dan gunakan, selama berjalan meniti langkah di dunia. 


Pilihan itu semua berawal dari pikiran manusia. "Kertas putih" yang kita bawa dari rahim ibu, hanya bisa bertahan sekian detik setelah kita lahir. Itu sudah tercoret semenjak kita berinteraksi dengan orang lain, dengan lingkungan, dengan semesta. Termasuk tercoret oleh pikiran orang lain. 


Mungkin adalah awal yang buruk, bahwa pikiran kita ini bukanlah terisi oleh pemikiran orisinil kita sendiri, melainkan orang lain. Orang lain yang meminta kita melakukan suatu hal, memberitahu kita untuk menggunakan cara yang dianggap oleh mereka adalah baik. Pilihan yang akhirnya mereka ambil untuk jalan hidup mereka, dan mereka minta untuk juga diterapkan pada jalan hidup kita. Terdengar menyedihkan memang. 


Beranjak dewasa, sebagai manusia normal secara fisiologis dan psikologis, pasti mengalami perkembangan pada seluruh organ tubuhnya, hingga di titik tertentu, mereka tak lagi berkembang, malah mengalami penurunan yang pada akhirnya manusia itu akan menemui kematian. 


Termasuk pola pikir manusia, yang akan berkembang dan mati. Lagi-lagi kita diminta untuk memilih cara, kita diberi kebebasan seluas-luasnya oleh Tuhan untuk menentukan sendiri titian langkah kita. Sampai pada akhirnya titian itu mungkin akan diganti oleh-Nya, jika menurut-Nya blue print kita tak akan bisa terlaksana.


Tak terhitung jumlahnya pemikiran-pemikiran orang lain yang telah diserap oleh indera, dan otak kita setiap harinya. Pilihan yang sulit memang, untuk bisa memilih, menggabungkan, dan mungkin menjadikannya sebagai sebuah pola atau sistem yang pada akhirnya bisa menjadi pemikiran orisinil kita sendiri, menjadi solusi masalah yang kita hadapi. 


Namun dari pikiran itu pula lah, manusia bisa menjadi kejam, jika ia salah memformulasikan, apa yang ia terima selama ini. Ia akan menjadi predator terburuk, bagi makhluk yang lebih lemah dari ia sendiri, bahkan dari kalangannya sendiri. 


Kadang manusia harus belajar dari mereka yang mempunyai pemikiran yang tak sesempurna pemikiran manusia. Seekor anjing misalnya, yang tak mungkin tak beranjak mendekati tuannya saat mereka tiba di rumah, saat ia sakit sekali pun, bahkan jika ia tak bisa beranjak karena sakitnya, ia tak lupa untuk mengibaskan ekornya, tanda bahwa ia bahagia, tuannya telah tiba, dan bertemu dengannya. Seekor kura-kura yang tak lagi bersembunyi di tempurungnya saat ia di angkat dari air oleh sang pemiliknya, karena ia percaya diri bahwa ia tak akan disakiti.


Sederhana, mereka memberikan cinta tanpa syarat. Bahkan saat kita sedikit melupakan mereka, mereka akan perlahan menghampiri dan menyapa, seolah bertanya kabar terbaru. Sederhana, pikir mereka adalah cinta tanpa syarat. Dan itu sudah tersistematisasikan di otak mereka, tanpa henti. 


Namun manusia, yang memang notabene mempunyai pemikiran yang luar biasa, sampai terkadang luar biasa kompleks, dan tak karuan. Apakah saat hal itu terjadi, manusia itu bisa dikatakan ada sebagai manusia? Apalagi tanpa cinta.

Jumat, Oktober 17, 2008

Malaikat Juga Tahu...

Lelahmu jadi lelahku juga
Bahagiamu bahagiaku pasti
Berbagi takdir kita selalu
Kecuali tiap kau jatuh hati
Kali ini hampir habis dayaku
Membuktikan padamu ada cinta yang nyata
Setia hadir setiap hari
Tak tega biarkan kau sendiri
Meski seringkali kau malah asyik sendiri
Karena kau tak lihat terkadang malaikat
Tak bersayap tak cemerlang tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya
Hampamu tak kan hilang semalam
Oleh pacar impian
Tetapi kesempatan untukku yang mungkin tak sempurna
Tapi siap untuk diuji
Kupercaya diri
Cintakulah yang sejati
Namun tak kau lihat terkadang malaikat
Tak bersayap tak cemerlang tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya
Kau selalu meminta terus kutemani
Engkau selalu bercanda andai wajahku diganti
Relakan ku pergi
Karna tak sanggup sendiri
Namun tak kau lihat terkadang malaikat
Tak bersayap tak cemerlang tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Aku kan jadi juaranya
(oleh: Dewi "Dee" Lestari di album Rectoverso)

Tak akan berani aku adu cinta darinya dengan siapa pun...


Walau semua terlambat ku sadari...


Tak aku lihat, ia adalah malaikat yang tak bersayap...


Dan mungkin aku harus mulai bisa berjalan sendiri...


(Dipersembahkan untuk RH)

Selasa, Oktober 07, 2008

Malang Oh...Malang...

Hmm...baru kali ini lebaran aku keluar kota. Maklum aku bukan salah satu dari mereka yang merayakan hari raya tersebut. Biasanya hanya aku habiskan di rumah, dengan acara-acara yang tidak jelas. 

Namun lebaran kali ini sedikit berbeda. Aku diajak tanteku untuk ke Malang, tempat mertuanya. Ini adalah liburan kali ke dua bersama dengan tanteku pada tahun ini, setelah kami sempat ke Bali berdua akhir Agustus 2008 lalu. 


Keberangkatanku kali ini nyaris batal, karena aku terserang flu yang menurutku paling parah dari flu yang pernah aku alami sebelumnya. Hidung tiada henti pilek, suara serak, bahkan sampai hilang sehingga aku tak bisa berbicara; dan pertimbangan lainnya adalah di Malang ada Oma dan Mbah Buyut, yang kesehatannya sedikit rentan. Namun akhirnya aku jadi juga berangkat, setelah sepupuku menelepon tanteku dan memintaku untuk tetap berangkat.


Tanggal 1 Oktober 2008, akhirnya aku berangkat juga. Biasanya kalau aku ke luar kota dengan pesawat, aku lebih suka ke dan dari bandara menggunakan "taksi biru" itu. Namun sayangnya saat aku menelepon ke mereka, taksi sedang keluar semua "Oh, no, just remember ini pas lebaran ya."


Akhirnya aku minta diantar papa ke Cengkareng. Aku hanya berangkat berdua dengan sepupuku, karena tanteku dan suaminya, juga sepupuku yang lain sudah berangkat dari hari Minggu. Pesawat dalam kondisi penuh, tak satu pun ada kursi kosong, banyak sekali bayi dan anak kecil, belum lagi satu bayi yang tak berhenti menangis dari saat pesawat akan lepas landas sampai kira-kira setengah perjalanan. 


Sampai sana, pertama kali, ya biasa "absen" ke seluruh keluarga. Terutama Mbah buyut (she's already 91 years old) yang turut merayakan idul fitri. Setelah itu, berhubung di sana ada piano, karena aku juga diminta membawa buku-buku piano sebelum berangkat, langsung aku didaulat untuk menyanyi, dan bermain piano seadanya.


Hmmm...sudah bisa ditebak, setelah itu, suaraku yang tadinya masih bisa bicara sedikit, jadi benar-benar hilang. Dahsyat pokoknya. Benar-benar iri saat melihat sepupuku yang lain bersama-sama main piano dan bernyanyi. Ini benar-benar penyiksaan bagiku. Belum pernah aku lewati satu hari pun tanpa bernyanyi, tapi kali ini, harus aku lewati tanpa melakukan hal itu sedikit pun. Tersiksaaaaa....


Hari ke-2, suaraku tak membaik, bahkan memburuk. Namun ya sudahlah, aku coba lewati liburanku kali ini dengan senang. Setelah makan pagi, kami sebentar mengobrol di ruang tengah sambil melihat DVD konser Andrew Lloyd Webber saat mereka konser di Beijing, China. Setelah itu, kami semua memutuskan untuk pergi ke Klub Bunga, Batu. Daerah ini seperti daerah Puncak.


Sherly, sepupuku yang masih 10 tahun, dan Alvin yang masih 9 tahun, ingin berkeliling Klub Bunga, dengan ATV. Berhubung mereka masih kecil, jadi mereka tidak diizinkan untuk mengendarainya sendiri. Akhirnya kami berlima, aku yang memboncengi Sherly, Birowo yang memboncengi Alvin dan Yudis tanpa memboncengi siapa pun, menaiki ATV keliling Klub Bunga, sampai ke atas bukit, dan bisa melihat kota Malang dari atas. Ternyata seru mengendarai ATV yang cukup berat, dan puas bisa melihat Malang dari atas bukit. 


Belum puas hanya dengan berjalan-jalan di Klub Bunga, akhirnya kami sekeluarga pada malam harinya bermain futsal di lapangan yang kami sewa, yang masih berada di lingkungan kompleks rumah. Berhubung tidak ada yang bisa bermain, kecuali Yudis yang sempat sekolah bola di Klub Blackburn, Inggris, jadi semua tampak seperti srimulat, karena lebih banyak tertawanya daripada menendang bola. Apalagi saat aku dan Birowo memutuskan untuk tetap di pinggir lapangan, kami mendengar ada satu tim yang sedang berbincang-bincang dengan bahasa Jawa "Eh, ojo muleh sekh, ono dagelan neng kene."


Yang artinya adalah "Eh, jangan pulang dulu, ada lelucon di sini."


Aku dan Birowo pun langsung ikut tertawa karena malu. "Sial mungkin mereka pikir kami berdua tidak mengerti obrolan mereka yang dalam bahasa Jawa itu. "


Setelah puas tertawa di lapangan futsal, kami pun pulang, untuk makan malam. Kali ini kami makan di rumah saja. Hmm...makan memang jadwal tetap dan sangat teratur, selama aku di sana. Alhasil beratku naik 1 kilo sepulang dari Malang. 


Santapan khas lebaran sudah tersedia di meja makan, begitu kami sampai rumah. Opor ayam dan ketupat siap untuk kami santap. Enak euy..sudah lama aku tidak memakan opor ayam. 


Setelah makan malam, kami sekeluarga, lengkap, kecuali Mbah Buyut, doa Rosario bersama. Tangan kami sibuk mengitari butiran-butiran Rosario sambil mendaraskan doa Salam Maria. Suatu hal yang aku rindukan ternyata, doa Rosario bersama-sama, walau sudah sebulan ini, aku kembali sering melakukan itu sendirian di kamarku, sesaat sebelum tidur.


Selesai doa, kami pun tak langsung tidur, tapi aku, Birowo, Oom Yoseph, dan Tante Ari, bersama-sama menonton DVD di ruang tengah. Film yang diputar kali ini berjudul Goal. Oh ya, seringnya kami nonton DVD, karen Yudis memang sengaja membawa koleksi DVDnya dari Jakarta. 


3 Oktober 2008, yaaa...tiba waktuku untuk pulang ke Jakarta, kembali ke kenyataan. Pesawat Malang-Jakarta hanya ada 1 kali dalam 1 hari, dan jadwalnya adalah pukul 08.55 pagi. Jadi pagi-pagi aku sudah mandi, makan pagi, dan pamitan untuk pulang ke kota yang akan semakin penuh sesak, karena bertambahnya kaum urban baru yang biasanya mendatangi kota Jakarta, setelah hari raya Lebaran.