Kamis, Januari 29, 2009

Berharap Jadi Yang Terakhir...



Mungkin kali ini tak perlu lagi aku jadi yang pertama...
Tak ingin pun aku berlomba...
Karena saat ini aku inginkan yang terakhir...
Ucapkan selamat untukmu, di hari indahmu, tahun ini...
Setidaknya kali ini, izinkan aku untuk jadi yang terakhir...
Seperti cinta tanpa syarat yang kita miliki, adalah yang terakhir...

Selamat ulang tahun, 'met utang lawon...(yang aku harap dapat ucapkan pada 29 Januari 2009, pukul 23.59.59)

-kali ini dan selalu: cinta tanpa syarat milikmu-

*tulisan ini diunggah 20 menit setelah pesan singkat darinya aku terima*

once more, thank you for this unconditional love we have...

Senin, Januari 19, 2009

You Needed Me...



I cried a tear
You wiped it dry
I was confused
You cleared my mind
I sold my soul
You bought it back for me
And held me up and gave me dignity
Somehow you needed me.

You gave me strength
To stand alone again
To face the world
Out on my own again
You put me high upon a pedestal
So high that I could almost see eternity
You needed me
You needed me

And I can't believe it's you I can't believe it's true
I needed you and you were there
And I'll never leave, why should I leave
I'd be a fool
'Cause I've finally found someone who really cares

You held my hand
When it was cold
When I was lost
You took me home
You gave me hope
When I was at the end
And turned my lies
Back into truth again
You even called me friend

You needed me
You needed me

-Versi aseli: Anne Murray, dan dinyanyikan kembali: Ronan Keating-

Mungkin, dulu saat ia membutuhkan aku, aku tak ada di sana...
Dan mungkin, dulu saat aku membutuhkan dirinya, aku juga tak menemukannya di sana...

Dan kami pun berpisah...

Seseorang ada untuknya sekarang, di sana saat ia membutuhkan...

Seseorang hadir untuk aku sekarang, ada di sini saat aku membutuhkan...

Mereka-lah yang berhasil membuat tersungkurnya kami, menjadi berarti...

Dan bagiku, ini berarti aku juga dibutuhkan...

Thank you my love...

Minggu, Januari 18, 2009

Tarian Padang Savana...


Saat bintang biru luluhkan hati...
Saat seribu mata air mengalir deras...
Saat inginkan usai lelah jalan ini...

Penawar dahaga telah tersuguh...
Lengkap dengan sejuta pembunuh sayat hati...
Walau rasa tak karuan...

Mereka pun tak lagi berjalan...
Melainkan berdansa...
Bagai bercinta di atas duri savana...

Basah tubuh oleh peluh nikmat surga...
Kucuran air mata sebuah rindu...
Derai tawa racun perangsang...

Tak hirau seribu malaikat ketuk kaca jendela...
Derak ranting pun tak lagi terdengar...
Hati tak lagi peduli pikiran...

Bagai indera telah mati rasa...
Bagai terang membutakan mata...
Bagai telinga telah tuli...

Dan api itu tetap menyala...
Hembus angin meliukkannya...
Meredup dan membara...

Terus berputar...
Terus berdansa...
Terus bercinta...

Sabtu, Januari 17, 2009

Indahnya Cinta, Sakitnya Cinta, Cinta Tanpa Syarat...

Kenapa kita menutup mata ketika kita tidur,
Ketika kita menangis,
Ketika kita membayangkan,
Ketika kita berciuman?
Ini karena hal terindah di dunia TIDAK TERLIHAT...

Kita semua agak aneh, dan hidup sendiri juga agak aneh,
Dan ketika kita menemukan seseorang yang keunikannya sejalan dengan kita,
Kita bergabung dengannya dan jatuh ke dalam suatu keanehan serupa,
Yang dinamakan CINTA...

Ada hal-hal yang tidak ingin kita lepaskan,
Orang-orang yang tidak ingin kita tinggalkan,
Tapi ingatlah, melepaskan BUKAN akhir dari dunia,
Melainkan awal suatu kehidupan baru...

Kebahagiaan ada untuk mereka yang menangis,
Mereka yang tersakiti,
Mereka yang lelah mencari,
Dan mereka yang lelah mencoba,
Karena merekalah yang bisa menghargai,
Betapa pentingnya orang yang telah menyentuh kehidupan mereka...

Cinta yang agung adalah ketika kamu menitikkan air mata,
Dan masih peduli terhadapnya,
Adalah ketika dia tidak mempedulikanmu dan kamu masih menunggu,
Adalah ketika dia mulai mencintai orang lain,
Dan kamu masih bisa tersenyum sembari berkata "Aku turut berbahagia untukmu"...

Apabila cinta tidak berhasil,
Bebaskan dirimu,
Biarkan hatimu melebarkan sayapnya dan terbang ke alam bebas lagi,
Ingatlah bahwa mungkin kamu menemukan cinta dan kehilangannya,
Tapi ketika cinta itu mati, kamu tak perlu mati bersamanya...

Orang terkuat bukan mereka yang selalu menang,
Melainkan mereka yang tetap tegar ketika mereka jatuh,
Entah bagaimana dalam perjalanan kehidupan,
Kamu belajar tentang dirimu sendiri,
Dan menyadari bahwa penyesalan tak seharusnya ada
Hanyalah penghargaan abadi atas pilihan-pilihan kehidupan yang telah kamu buat...

Teman sejati mengerti ketika kamu berkata "Aku lupa",
Menunggu selamanya ketika kamu berkata "Tunggu sebentar",
Tetap tinggal ketika kamu berkata "Tinggalkan aku sendiri",
Membuka pintu meski kamu belum mengetuk dan berkata "Bolehkan aku masuk?"...

Mencintai bukanlah bagaimana kamu melupakan,
Melainkan bagaimana kamu memaafkan,
Bukanlah bagaimana kamu mendengarkan,
Melainkan bagaimana kamu mengerti,
Bukanlah apa yang kamu lihat,
Melainkan apa yang kamu rasakan...

Akan tiba saatnya nanti dimana kamu harus berhenti mencintai seseorang,
Bukan karena orang itu berhenti mencintai kita,
Melainkan karena kita menyadari,
Bahwa orang itu akan lebih berbahagia apabila kita melepaskannya...

Kadangkala orang yang kamu cintai adalah orang yang paling menyakiti hatimu,
Kadangkala teman yang membawamu ke dalam pelukannya,
Dan menangis bersamamu adalah CINTA YANG TIDAK KAMU SADARI...

-Anonymous-

Damn..Gubrag..Pyek..

2 Jam Saja...

Akhirnya aku putuskan kaki ini melangkah menghadiri reuni itu. Reuni teman-teman satu divisi-ku dulu. Bertemu dua atasan-ku, dan teman-teman yang sangat menyenangkan, tempat berbagi cerita, keluh kesah tentang segala pekerjaan, hingga curahan hati pribadi. Dulu. Dan lagi, kali ini harus aku lewati tanpa kehadiran Karin.

Keraguan sempat ada. Keraguan untuk hadir di sana, karena aku tahu bahwa aku tidak akan menikmati pertemuan itu. Namun aku tahu apa sebab dari itu semua. Hanya karena 1 orang. Dan itu tak boleh dijadikan alasan untuk mengorbankan yang lain. Lagi pula, pertemuan ini bisa dijadikan sebagai acara "killing time" sambil menunggu seseorang yang masih harus menyelesaikan urusan di kantornya.

Pacific Place memang tempat yang menyenangkan, bahkan salah satu tempat favoritku. Tepat pukul 18.00, aku sudah sampai di sana, dan bisa dipastikan aku datang paling awal. Rencananya, kami janji bertemu di Canteen Aksara, namun apa daya tempat itu penuh. Dan aku baru tahu bahwa "ibu E.O" ternyata tidak memesan tempat terlebih dahulu. Alhasil, aku-lah yang berputar-putar mencari tempat pertemuan pengganti, dan aku putuskan (dengan persetujuan "ibu E.O") bahwa reuni akan diadakan di Urban Kitchen. Sial, di tempat ini, pemesanan tempat harus ditunggui, tidak bisa ditinggal, dan orang itu harus-lah aku, karena tidak ada orang lain.

Waktu pun terus berjalan. 30 menit pertama, aku masih bisa bertahan dengan seluruh fitur BlackBerry yang ada di tanganku. Bosan mulai melanda, dan pikiran bahwa aku masih harus berlari ke mesin ATM terdekat untuk mengambil uang, ditambah dengan rasa lapar yang sudah tidak tertahankan, dan disempurnakan dengan rasa kesal karena tak bisa beranjak dari tempat duduk untuk memesan makanan.

Berkali-kali telepon dan SMS aku kirimkan ke "ibu E.O" dan peserta reuni yang lain. Dan knowing their qualities, saat menjawab "Iya, on the way, bentar, bentar lagi, 'dah mau deket", yang berarti "Duh, gue masih jauh", membuatku tambah kesal, tak sabar. Hampir saja aku beranjak dari kursi itu, membiarkan kursi-kursi itu dipakai orang lain. Hanya karena aku ingin memesan makanan. Aku sudah lapar.

Sekitar pukul 19.30, mereka mulai berdatangan, tepat di saat semua rasa yang tadi aku alami, sudah berada di titik anti klimaks. Termasuk hilangnya rasa lapar. Hal pertama yang aku lakukan adalah berlari ke arah mesin ATM berada. Kemudian aku kembali dan barulah bersalam-salaman dengan mereka. Tak lama kemudian aku langsung berlari ke arah kios Sushi Groove. Buntut goreng, bebek goreng, berbagai macam makanan yang dijual di Sambel Desa, sudah tidak membuatku bergairah. Aku hanya ingin makanan ringan, yang tidak terlalu kenyang, yaitu sushi. Itu pun pada akhirnya 2 gulung salmon mayonaise, aku berikan pada Rully.

Tidak banyak cerita yang keluar dari mulutku. Aku hanya menjawab seperlunya pertanyaan-pertanyaan dari teman-temanku, dan mencoba untuk ikut tertawa, yang lagi-lagi hanya di mulutku, tidak membuat hati ini juga tertawa.

Kembali melihat ke arah dua ponsel yang aku letakkan di atas meja, melihat ke arah jam yang tertera di sana, berharap ponsel itu berbunyi, baik dering telepon ataupun dering BBM. Dan akhirnya sekitar pukul 20.25, telepon selulerku berbunyi. Namun dengan berita yang belum membuatku terlalu gembira "Aku baru keluar dari Mega Kuningan niy."

Dan percakapan berikutnya pun...

"Sekarang sampai mana?"

"Menuju Sudirman, masih macet."

"Di mananya?"

"Casablanca. Kamu di mana?"

"Masih di PP."

"Aku jemput kamu ke situ."

"Iya lah. Jemput ya. Ntar kalo 'dah deket telepon."

"Ok."

Mendengar pembicaraan teman-teman di sekitarku, mulai membuatku semakin merasa "I don't belong there anymore."

Disempurnakan dengan "tersuguhnya" wajah 7 tahun itu. Membuat seluruh rekaman kejadian selama 7 tahun itu "terputar" secara otomatis, bagai sebuah film. Film yang benar-benar tidak ingin aku tonton, tetapi tidak ada daya untuk aku memberhentikannya. Benar-benar aku berharap bisa terbang, pergi dari sana seketika.

Tak sabar rasanya, hingga aku memutuskan untuk menghubungi "sang juruselamat"...

"Dah sampai mana?"

"Masih di Sudirman."

"Dah sampai Anggana belum?"

"Udah."

"Nanti kalo 'dah sampai depan Atma, bilang-bilang ya."

"Ok."

Mencoba kembali membawa diri menjejakkan kaki ke bumi. Setidaknya mencoba mendengarkan pembicaraan mereka. Namun aku tetap "terbang". Hanya fisikku yang di sana. Dan kembali aku angkat telepon...

"Dah sampe depan Atma belum?"

"Udah nih."

"Ya udah ya, aku bayar sekarang, aku turun."

Tanpa basa-basi panjang lebar, dan langsung menjinjing tas...

"Hmmm guys, gue duluan ya."

"Buru-buru banget, mau kemana?"

"Mau pulang. Kemaren 'kan gue dah bilang, gak bisa lama-lama."

Aku pun berlari keluar dari Urban Kitchen. Berlari ke arah elevator yang ternyata penuh. Lalu berlari ke arah eskalator dan menuruninya. Dan akhirnya sampai juga di lobi.

Tapi....

Melihat kiri-kanan, aku belum mendapati mobilnya. Kembali aku pun mengangkat ponselku dan menghubunginya. Dan langsung mendapati jawaban..

"Di depan-di depan."

Dan tak berapa lama aku pun melihat mobilnya yang berwarna perak metalik itu. Ternyata ia masih bersama supir yang membantu mengendarai mobilnya.

Aku buka pintu belakang, dan akhirnya aku duduk di sebelahnya.

"Haaaaaiiii, 'pa kabar? Capekh banget ya."

"Capekh banget aku."

Dan aku pun...lega...

Now, i know, i belong here...

*Terkadang seseorang harus meminum obat yang sifatnya hanya untuk membunuh rasa sakit. Sekalipun ia tahu bahwa obat itu tidak baik untuk jangka panjang. Namun ia tak punya pilihan, ia harus minum obat itu. Lagi. Sekalipun ia harus berjalan kembali di tandusnya sebuah Savana.*

Selasa, Januari 13, 2009

Ada Kursi Kosong Di Sana...

Sudah sebulan lebih, sahabatku, Karin Taramiranti terbaring sakit di Mount Elizabeth Hospital, Singapura. Sebulan pula, Yudha, suaminya menemaninya di sana. Hari minggu lalu, 11 Januari 2009, akhirnya setelah sebulan di Singapura, Yudha memutuskan untuk kembali ke Jakarta sebentar.

Banyak yang ingin ia ceritakan, banyak juga yang ingin aku ketahui tentang perkembangan Karin sampai sebelum Yudha kembali ke Jakarta. Kami pun mengatur waktu untuk bertemu, dari sebelum ia pulang.

"Dha, jadi lu pulang besok?"

"Jadi."

"Eh, jadi 'kan kita ketemu? Gue mau cerita banyak nih ke elo n ke Mas Wawan."

"Ya, udah. Senin aja ya? Di mana? Di kantor?"

"Di kantor juga boleh."

"Lunch, atau after office hour?"

"Dua-duanya okay gue."

"Kalo gue sih prefer 'bis ngantor kali ya. Biar leluasa. Lagi pula bapak yang satu itu, juga lagi sibuk, ngga mungkin sepertinya lunch dia keluar kantor."

"Ya, 'dah ntar gue telepon dech, begitu gue sampai Jakarta. Sekalian ngatur jadwal kita lah yang bisa bantu jaga Karin di sana."

"Sip."

"Karin lagi butuh temen yang banyak bacot neh, biar dia bisa semangat. Yang brisik terus deket dia banget 'kan cuma elo, Rully & Mas Wawan."

"Ya, udah ntar kita omongin kalo elu 'dah nyampe sini ye."

Senin siang, 12 Januari 2009, kembali Yudha meneleponku, untuk mengkonfirmasi pertemuan kami sore ini.

"Cha, ntar di mana? Kok gue telepon Mas Wawan ngga diangkat? Apa dia ngga kenal nomor gue ya, jadinya ngga diangkat."

"Emang gitu siy dia biasanya, kalo ngga kenal, ngga diangkat, tapi dia punya kok nomor loe. Meeting kali dia. Biasanya kalo dah meeting kagak ngangkat telepon."

"Gini, ntar sore jam 6 gue harus ke Sentra dulu, ngurus asuransinya Karin, ke kantornya, terus jemput Cyrill ke Bekasi, ke rumah adik gue. Gue sih berharap ketemunya di Cibubur aja. Ntar berangkatnya elo bisa ikut gue, atau ketemu di Sentra terus ikut jemput Cyrill, baru kita ke Cibubur. Banyak nih yang mau gue omongin."

"Ntar gue sms elo kali ya. Gampang lah gue bisa nebeng elo, bisa nebeng Mas Wawan, tapi gue males kalo loe suruh gue ke Sentra. Gue usaha tanya yang lagi sibuk meeting itu. Itupun kalo bisa ditanya."

"Okay, ntar sms gue ya."

"Sip."

Aku dan Yudha tinggal menunggu jawaban dari satu orang lagi. Satu orang yang sepertinya sedang pening dengan pekerjaan dan kesibukan awal tahun. Aku hanya berani mengirim pesan melalui BBM. Namun tepat seperti yang aku perkirakan. Tak ada jawaban. Akhirnya aku putuskan.

"I have decided. Ntar ketemunya di Cibubur aja. Either di tempat Yudha atau di tempat loe. Gue ke kantor loe aja, jangan ninggalin gue ye."

SMS berikutnya...

"Dha, ntar ketemuannya di Cibubur aja, jam 8an. Elu jemput Cyrill dulu. Ntar kita ngobrol bertiga ada Cyrill juga gpp. Terserah di tempat loe atau di tempat Mas Wawan, bebas. Elo di Sentra-nya jangan lama-lama ye."

Berangkat dari rumah dalam keadaan hujan deras, dan akhirnya berhasil mencapai kawasan Kuningan sekitar pukul 18.00. Waktu tempuh dari rumah hingga Kuningan termasuk normal. Sekitar 50 menit saja. Menunggu di Daily Bread sekitar 30 menit, akhirnya aku dan Mas Wawan pun bertolak menuju Cibubur.

Seperti biasa, seluruh jalanan ibukota dipastikan mengalami macet total saat diguyur hujan. Beruntung tak ada satu pun dari kami yang harus menyetir. Kami pun bisa santai mengobrol di kursi belakang, tanpa harus dipusingkan dengan tingkah laku pengendara mobil dan motor di jalanan. Dan tak berapa lama Yudha telepon.

"Dah di mana?"

"Hmmm, di mana niy, masih di depan Bidakara. Macet banget 'Dha. Elo di mana?"

"Lah, elo sama sapa 'Cha? Gue baru keluar Mega Kuningan."

"Gue nebeng Mas Wawan. Elo abis ini jemput Cyrill 'kan? By the way, elo disupirin Odang 'kan?"

"Iya, gue jemput dia dulu, sama Odang. Ntar ampe Cibubur jam 8, setengah 9an lah ya. Gue nidurin Cyrill dulu. Mau di rumah gue atau di rumah Mas Wawan?"

"Mas, mau di rumah loe, atau rumah Yudha?"

"Terserah."

"Terserah loe 'Dha katanya."

"Ya udah, ntar gue kabarin lagi ya."

Telepon pun kami tutup. Namun belum sampai lima menit telepon selulerku kembali berbunyi.

"Kenapa 'Dha?"

"Ngga, gue baru mikir, apa si abang gue suruh tidurin di rumah Linda aja ya? Biar gue ngga harus ke Bekasi? Biar cepet. Gimana?"

"Hmmm, terserah elo sih. Gitu lebih enak sebenernya, tapi elu 'dah ngga ketemu Cyrill satu bulan lo. Ya elo telepon dia dulu gih."

"Ntar gue telepon lagi ya."

"Sip."

Kembali aku sudahi pembicaraan itu. Dan kembali aku mengangkatnya kurang dari 5 menit.

"Ya, 'Dha."

"Barusan gue tilpun si abang, bilang dia suruh tidur dulu. Eh tau-tau dia telepon gue balik. Bilang ngga mau tidur dulu kalo ngga ngeliat Bapak."

"Ya, udah lah, elo jemput dia dulu aja."

"Iya ya."

"Iya ntar gue nyari makan dulu aja, biar nunggu elo juga ngga lama."

Aku melihat ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku, saat kami baru saja melewati pintu keluar tol Cibubur.

"Ampun, 'dah jam 8. Laper ngga?"

"Mau makan di mana?"

"Bebek presto situ aja yuk. Lagi pengen tuch bebek gue."

Akhirnya kami berhenti sebentar untuk mengisi perut yang sudah lapar. Dan dalam waktu kurang dari 1 jam, kami sudah sampai kediaman Mas Wawan.

"Woi 'Dha, dah sama Cyrill?"

"Dah, nih mau ngomong sama abang?"

"Mana?"

"Halo Bang Cyrill."

"Halo, ini sapa?"

"Tante Ocha sayang. Bang Cyrill udah bobokh?"

"Udah bobokh dari tadi. Tapi ini mau bobokh lagi."

"Bobokh ama Joey ngga?"

"Joey boboknya beda. Kalo Joey bobokhnya kotor, di belakang. Cyrill ngga."

"Kalo Bang Cyrill bobokh di mana?"

"Bobokh di kamar lah."

"Bobokh sama siapa bang?"

"Sama Bapak."

Tak lama kemudian, anak lucu itu memberikan teleponnya kepada Bapaknya.

"Gue dah sampe rumah."

"Hah, rumah?"

"Hehehe, gue lupa bilang, rumah Mas Wawan maksud gue."

"Ya, udah, gue pulang dulu, nidurin niy kecil, ntar gue nyusul ke situ yak."

Tak berapa lama kemudian, Yudha pun datang. Aku yang membukakan pintu pagar. Serasa tuan rumah memang.

"Kok gue telepon-telepon ngga diangkat."

"Oh, gue silent, gue males denger telepon dari rumah berkali-kali, brisik. Kenapa emang?"

"Ngga tadinya gue mau minta di rumah gue ajah gitu."

"Oh, Mas Wawan lagi mandi. Masuk dulu lah, ntar kalo mau di rumah loe, tunggu dia dulu. Tinggal jingkring pindah selemparan kancut."

Begitu Yudha memasuki rumah, kami pun mulai mengobrol, sambil menunggu tuan rumah selesai membersihkan diri...

"Gimana loe, apa kabar? Baik-baik aja 'kan, ga sakit?"

"Ya, begini lah. Gue masih bisa handle kok."

"Terus si Kancut?"

"Iya, tadi gue telepon mamanya, katanya hari ini sudah bisa duduk 2 jam."

"Wah, that's good."

Ia pun kemudian menunjukkan beberapa foto Karin yang ada di telepon selulernya. Foto-foto itu diambil kira-kira 3 hari sebelum Yudha kembali ke Jakarta. Tak percaya dengan yang aku lihat, sama sekali tak percaya. Namun ia tetap sahabatku, my partner in crime.

Tak berapa lama Mas Wawan pun sudah selesai.

"Mau minum apa 'Dha? Teh?"

"Hmm, ngga teh lah Mas."

"Kopi?"

"Yupe."

"Make it three ya, Mas."

Setelah Mas Wawan selesai meracik kopi, selanjutnya, tanpa dikomando siapa pun, kami bertiga menuju ruang makan. Dan duduk di kursi "masing-masing". Dengan posisi yang sama tepat saat 22 November 2008 lalu, saat kami duduk di sana, bermain kartu hingga pukul 04.15 pagi, esok harinya.

Berbeda memang saat ini, kami hanya bertiga. Satu kursi sedang ditinggal oleh sang "pemilik". Kursi yang dulu diduduki Karin.

Perbincangan kami pun kali ini tak kalah panjang, hingga pukul 02.15 dini hari. Juga tak kalah seru, walau tawa kami tak semeriah dulu. Terbatas, karena rasa prihatin dengan kondisi Karin saat ini, karena rasa rindu kami pada Karin yang tentu belum terobati. Dan karena masih ada satu bangku yang kosong di sana. Bangku yang kami harap akan terisi lagi oleh orang yang sama.

Promise you, i'll be there soon babe..kalo semua urusan skripsi gue lancar..doain ye...gue yakin elu 'dah kangen berat 'kan ama gue...wakakkaka

Dari para anggota "konferensi meja bundar Cibubur":
We miss you 'Rin, 'Yin, 'Jo, 'Ncut*..hope we can be together again...throw those damn cards on that table again...

Hope that you can sit on that chair again...so it's not empty anymore...


* Karin=Ayin=Karjo=Jojo=Kancut... (panggilan sayang untuk Karin dari teman-teman)

Minggu, Januari 11, 2009

Beda tipis?

Aku: "Gini nih, kalo dua orang introvert bersatu."
Mas Wawan: "Kayak anak autis. Sibuk sendiri-sendiri."

Status Facebook-ku beberapa hari lalu: "Anastasia: Semacam vampire, yg lebih senang hidup di tengah keheningan malam...*brissiiikkk*"
Donie Sentot: "Autis loh..."

Aku: "Cuma segini niy manusianya? Sepi amat senat."
Zaldi: "Enak 'kan."
Aku: "Cuma untuk manusia-manusia autis?"
Zaldi: "Siapa autis? Elo?"

Arum: "Mbak Rosa udah termasuk komunitas autis."

Yang menjadi pertanyaan: Introvert beda tipis dengan seseorang dengan gangguan autisma?

Ya...setidaknya satu hal yang menyenangkan dari seseorang yang telah divonis gangguan autisma, ia memiliki dunianya sendiri, dan tak ada seorang pun yang dapat protes. Berbeda dengan seseorang yang notabene dikatakan sebagai seseorang tanpa gangguan jiwa, namun bertingkah laku bagai seseorang dengan gangguan autisma. Yang protes? Uncountable...

Sabtu, Januari 10, 2009

Intro...

Introvert,...

Saat "pintu-pintu" menujunya tertutup rapat, bahkan terkunci,
Saat seribu lembaran topeng ia kenakan,
Saat segala pertanyaan hanya ada di benaknya sendiri,
Saat ia selalu mengandalkan dirinya sendiri,
Saat tak ada masalah yang tak ia coba selesaikan sendiri,
Saat teka-teki hanya menjadi miliknya sendiri,
Saat tangis ia nikmati sendiri,
Saat sakit membuatnya bangkit,
Saat tawa mungkin hanya ada di mulut,
Saat cerita dan imajinasi tak terucap, hanya tertulis,
Saat sepi menjadi teman baiknya,
Saat dunia adalah miliknya sendiri...

Dan di sanalah ia merasa nyaman,
Menjadikannya produktif, dengan apapun yang ia kerjakan,
Berbagai prestasi ia hasilkan,
Dan seluruh decak kagum tertuju padanya, yang tetap ia sangsikan,
Ia-lah orang terbaik di belakang layar,
Dan ia hanya puas dengan senyum bangga yang ada di hatinya,
Tak perlu piala penghargaan di tangannya...

Dan itu sudah cukup baginya...

Setidaknya cukup bagiku...

Jumat, Januari 02, 2009

1 Januari 2009...

Happy New Year Sweetie...

Mereka berdua kembali di sana. Menikmati kenikmatan sofa itu. Dan di depan televisi yang tak menyala. Lagi. Untuk kesekiankalinya.

Peluk yang sempat tertunda, ada di sana. Tak ada jarak antara pipi mereka berdua. Saat ia memetik dawai gitar dan dendangkan rentetan lirik, untuk ia yang duduk di sampingnya saat itu...

I give her all my love
That's all I do
And if you saw my love
You'd love her too
I love her

She gives me ev'rything
And tenderly
The kiss my lover brings
She brings to me
And I love her

A love like ours
Could never die
As long as I
Have you near me

Bright are the stars that shine
Dark is the sky
I know this love of mine
Will never die
And I love her


Kebahagiaan dua orang introvert, yang bisa didapat di tengah sepi sekitar.

Kembali duduk di ruang makan itu. Lagi. Untuk kesekiankalinya.

Kali ini mereka terpisah dengan kesibukan yang asik mereka lakukan masing-masing. Satu bermodal gitar. Satu lagi bermodal laptop dan situs jejaring Facebook.

Dua orang introvert yang bisa bagai anak dengan autisma, walau di hadapannya ada makhluk lain.

Melihat jam di dinding, yang sudah menunjukkan pukul 19.30, dan percakapan ini pun terjadi...

"Ya mbok, nyanyi tuch lagunya yang gue kenal gitu."

"Sengaja."

"Laper. Nyari makan yuk. Gue dah mulai bosen. Bosen ngga loe?"

"Sama. Sapa suruh dari tadi sibuk ama Facebook."

"Yang dari tadi sibuk ama gitar sapa?"

"Mau makan apa sayang? Gak usah makan nasi yuk. Biar ngga gendut."

"Iya nih, niy celana biasanya masih kegedean di gue, sekarang pas. Gue tadi nimbang naik sekilo."

"Kita makan roti bakar aja yuk. Ada tuch di depan kompleks."

Mereka pun bersiap-siap untuk berangkat. Dari mulai mematikan lampu. Mengambil semua ponsel dan dimasukkan ke dalam tas. Hingga terakhir ia mengambil kunci mobil di tempat kunci mobil itu biasa tersimpan. Tak ada bedanya seperti tuan rumah yang sudah tahu persis seluk beluk rumahnya.

"Eh munyuk, kok gue siy yang ngambil kunci mobil. Elo tadi harusnya ngambil handphone sekalian ngambil kunci mobil donks."

"Itu berarti udah kodratnya elo yang nyetir mobil."

Kembali ia meletakkan kunci mobil di atas meja makan. Sembari ia menunggunya mematikan lampu kamar. Tapi...

"Huh, kok gue lagi yang ngambil kunci. Nih kamu aja yang nyetir."

"Dibilangin emang udah kodrat kamu yang nyetir. Aku bawa kunci rumah aja ya."

"Sial."

Mobil itu pun tak lama kemudian melaju meninggalkan rumah, menuju warung roti bakar.

Mereka menikmati makanan yang mereka pesan. Satu menikmati pisang bakar. Dan satunya, yang pada akhirnya berubah pikiran, tak jadi memesan pisang bakar, yang seharusnya menikmati INTERNET KEJU dengan telur setengah matang, menjadi Indomie Telur (Matang) Keju, ditambah dengan sedikit kekesalan.

Tak lama kemudian, mereka pun kembali ke rumah. Kembali duduk di ruang makan itu. Lagi. Untuk kesekiankalinya.

"Kayaknya gue seneng banget ya duduk di sini. Pas di kursi ini juga khan?"

"Elo mah di mana pun di sini betah."

"Emang."

Tak bermodal apa pun. Tak ada gitar yang dipetik. Tak ada laptop yang terbuka. Mereka berbicara tentang apa pun yang mereka inginkan. Mereka cerita tentang banyak hal selama mereka terpisah, walau hanya 3 hari terakhir. Mereka berandai-andai, membayangkan apa yang akan terjadi, jika pertemuan mereka dipercepat oleh alam semesta dan penciptanya. Hingga ia melihat ke arah jam dinding.

"Dah jam 10 sayang. Mau pulang?"

"Nggak."

Obrolan itu pun berlanjut. Tawa mereka pun menggelegar, tak kalah seru dengan tawa dari 4 orang yang duduk di sana, beberapa bulan yang lalu.

Hingga salah satu dari mereka menilik ke arah jam yang masih menempel di dinding, dan masih berdetak. Berdetak menunjukkan waktu pukul 22.30.

"Pulang yuk."

"Yuk. Enak ya ngobrol-ngobrol gini."

"Iya. Giliran gini aja, cepet banget berasanya."

Dua orang introvert yang akhirnya bisa menjadi sedikit extrovert, yang semu.

Mereka kembali berada di mobil itu. Berusaha mengisi sepi perjalanan yang cukup panjang.

"You know what?"

"Apa?"

"Kalo misalnya kita ketemunya saat di tengah-tengah kamu sama dia, dan aku juga masih sama dia dulu. Kita bakal tetep kayak gini loh."

"Really? Maksud loe selengki gitu?"

"Yupe."

"Boong banget lo. Gak mungkin. Kenapa bisa gitu?"

"Lah, dua-duanya sama-sama dua orang kesepian di tengah keramaian."

Mereka berdua tertawa terbahak-bahak...

"Sekarang, elo ngerasa sepi ngga ama gue?"

"Gak."

"Dulu, elo ngerasa sepi dari awal?"

"Gak. Di tengah-tengah, saat gue mulai tau semuanya ngga jelas."

"Tapi khan elo juga dah ngerasa khan, mau elo paksain kayak apa juga, elo ngga bisa menaklukkan orang tuanya khan?"

"Iya, tapi setidaknya, gue mau ngomong ke mereka."

"Yeah, apa bedanya. Dulu, bukannya ngga mau tapi ngga bisa. Kalo sekarang, bukannya yang ngga mau, bukan juga ngga bisa, tapi ngga boleh ama alam semesta dan yang ngga terlihat."

"Mau, bisa, boleh itu tinggal dibalik-balik aja ya, Hon."

"Tinggal tuker-tukeran tempat aja mereka. Emang brengsek."

"Emang takdir kita kayak gitu, Sayang."

"Sekarang gue yakin, ntar saat gue pisah ama elo, gubrag dot com-nya makin parah."

"Jangan donk."

"Kecuali gue nyiapin yang baru dulu sebelumnya."

"Siapin aja dulu!"

"Which is bukan gue. Gue dah capekh bermimpi."

*Lagu: And I Love Her, oleh: Beatles*

Kamis, Januari 01, 2009

Finish The Final Chapter and Close The Book...

Mengutip ungkapan Karin, sahabatku kala ia belum terbaring lemah seperti saat ini, saat hari itu, Sabtu 22 November 2008, kala kami berempat duduk di ruang makan kediaman Mas Wawan, "Finish the final chapter and close the book."

Begitu pun dengan 31 Desember 2008, hari terakhir aku tutup, bagai aku menutup novel yang bab terakhirnya baru saja selesai aku baca.

365 hari di tahun lalu, telah berhasil aku lalui. Semua "ujian", dari yang paling ringan untuk "kelas"-ku sampai ke tingkat paling sulit.

Tahun ini, ada ribuan "ujian" baru di hadapanku, yang mau tidak mau harus aku jalani. Baik dengan persiapan yang matang, maupun persiapan seadanya.

Pun aku akui, semua ujian dan "ujian" itu tak akan berhasil tanpa bantuan dari Dia, dan kalian semua. Tanpa cinta, cita dan harapan kalian atas diriku.

Satu dari hati, terima kasih telah menjadikan 2008-ku begitu indah, begitu penuh cinta. Terlebih Dia, mereka, dan dia, yang memberikan sentuhan akhir 2008-ku penuh keajaiban.

Thank you my love...