Jumat, Februari 27, 2009

Akhir Yang Bahagia...

Hari ini, 26 Februari 2009, ada "buku" lain yang harus aku akhiri, dan aku tutup. Tak tahu bagaimana hasil tutup buku itu nanti, tapi aku yakin dengan persiapan yang menurutku telah optimal, dan kepasrahanku pada SIAPA PUN YANG ADA DI ATAS sana, aku akan mendapatkan sesuatu yang indah, suatu yang baik.

Ternyata tak perlu alarm untuk membangunkanku. Pukul 03.00 aku terbangun, dan begitu melihat jam dinding di kamarku, aku pun kembali tidur, tapi lucunya aku telah mendengar dari kamarku (yang terletak di lantai atas), "kehidupan" di lantai bawah sudah lebih semarak, dibandingkan hari-hari lain, pada jam yang sama "Ah ternyata, yang lebih heboh dan lebih panik adalah mamaku, daripada aku sendiri". Pukul 04.30, aku sudah bangun, sebelum alarm yang bunyinya sangat menyebalkan itu berbunyi pada pukul 04.40.

Aku tak lupa memohon restu pada YANG PUNYA SEMESTA DAN AKU, sebelum aku pergi mandi. Tak perlu lagi menyiapkan segala sesuatu untuk hari ini, karena semua sudah rapi, semua sudah masuk ke dalam tas, dan sudah aku pastikan tidak akan ada yang tertinggal, pada malam sebelumnya.

Pukul 04.50 pagi, taksi yang akan membawaku ke "medan laga" telah siap di depan rumah, "Loh, aku pesannya khan jam 05.10, cepet amat datangnya". Padahal saat itu, aku masih mengeringkan rambutku, yang baru saja aku cuci. Dari jendela kamarku, yang kebetulan menghadap ke arah jalan depan rumah, aku berteriak "Tunggu sebentar ya, Pak."

Outfit, yang menurutku cukup penting, setidaknya untuk membuatku lebih percaya diri, telah aku pikirkan 2 minggu sebelum hari ini. Berkemeja putih lengan pendek, yang dipadupadankan dengan rok terusan, tanpa lengan, berbahan wool , berwarna abu-abu, yang menutupi sebagian besar kemeja putih yang aku kenakan adalah pemberian dari seseorang yang aku sayangi, waktu kami berdua jalan-jalan ke Pacific Place, Desember tahun lalu; mengenakan winter stocking dan high heels hitam berbentuk mary-jane; tak lupa mengenakan asesoris tambahan kalung mutiara yang aku rangkai sendiri, dan anting-anting senada, membawaku melangkah dengan pasti dan penuh percaya diri menghadapi hari ini.

Sesampainya di bawah, mama sudah menyiapkan sarapan yang siap untuk aku bawa, dan papa juga ternyata sudah bangun. Mama seperti biasa tak lupa menjejali vitamin andalannya ke dalam mulutku. Setelah itu...

"Eh Ma, ambilin daun."

"Daun apa?"

"Daun apa aja."

"Daun Phyang Hong aja?"

"Terserah yang penting daun."

Daun yang Mama sebutkan ini adalah daun dari salah satu tanaman obat yang ditanam di pekarangan rumahku oleh mama, dan kebetulan daun itu ada di atas meja makan. Beberapa hari lalu Mama memetiknya, menyiapkannya di atas meja makan, agar aku mudah dan selalu ingat untuk menyeduhnya dengan air panas lalu meminumnya, agar flu dan batuk yang mulai aku rasakan tepat satu minggu sebelum "perang" hari ini, dapat segera sembuh. Hasilnya, batukku pun jauh lebih berkurang.

Beberapa lembar daun itu langsung aku kantongi, "Hehehe, untung aku ngga lupa akan pesenan si Mas, untuk ngantongi daun." (Untuk apa? Ada de...)

Kemudian kedua orang tuaku ikut membawakan barang-barang yang perlu aku bawa dan mengantarku sampai ke dalam taksi.

"Ati-ati ya Nduk, good luck ya."

"Okay, thank you, doain ya. Daggg."

Sesampainya di dalam taksi...

"Pagi Pak, Atma Jaya ya. Pagi banget Pak datangnya."

"Iya Non, daripada saya telat, mendingan kepagian."

Begitu aku memasuki taksi, aku melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Saat itu waktu baru menunjukkan pukul 05.10 pagi. Hari masih benar-benar gelap, tak ada bedanya dengan malam hari. Mobil-mobil yang melintas di jalanan juga masih menyalakan lampu untuk membuat jalan di hadapan mereka menjadi terang. Dan tak berapa lama, aku sudah sampai di daerah Slipi. Jalanan sudah ramai menurutku.

"Jam berapa siy niy? Kok dah rame begini. Rame banget."

Kembali aku melihat jam tanganku.

"Anjrit baru 05.30. Sial kepagian gue ntar ampe kampus."

Dan benar saja, pukul 05.45 aku sudah tiba di kampus.

"Damn! Masih gelap gini. Lewat mana ya?"

Akhirnya aku melangkahkan kaki ke arah Gedung BKS. Padahal dari tempatku turun, untuk menuju Hall C, seharusnya akan lebih dekat jika aku melewati Gedung B.

"Gak jadi ah, di situ khan pernah ada yang jatuh bunuh diri."

Sesampainya di kawasan Gedung BKS...

"Duh kok gelap ya. Asal jangan ada yang nyekek gue aja niy dari belakang. Udah pake high heels, bawa tas, bawa laptop, bawa buku yang harus dibalikin ke perpus pula, bakal mati kutu gue."

Semakin ke arah dalam, aku lega menemukan beberapa orang. Kebanyakan mereka adalah petugas kebersihan gedung. Ya, setidaknya aku tak sendirian.

Malas rasanya harus kembali membuka-buka bahan ujian, walaupun aku tahu materi untuk ujian komprehensi teori-teori kepribadian, terakhir aku baca satu minggu yang lalu. Namun akhirnya aku memutuskan untuk kembali membaca teori kepribadian dari mazab psikoanalis, yang paling aku tidak sukai.

Di tengah-tengah sibuknya aku membaca dengan diterangi langit yang masih temaram, aku dengar ada bunyi pesan singkat yang masuk.

"Eh siapa pagi-pagi sms?"

Dan isi pesan singkat itu...

"Selamat ujian. Jangan lupa bawa daun hijau di saku. Kau pasti bisa. Yang tenang."

Aku pun langsung membalas pesan singkat itu, dan kemudian semua perangkat komunikasi yang aku bawa langsung aku matikan, bukan hanya aku alihkan ke fungsi diam.

Mulai bosan dengan teori-teori yang aku baca, aku pun kemudian mengalihkan pikiran dengan khayalan yang lebih menyenangkan. Tentu, dengan tetap mengarahkan mata ke arah buku yang aku buka, agar orang-orang di sekitarku tidak ada yang bertanya-tanya di benak mereka, tentang apa yang sedang aku lakukan.

"Lamanya jam 08.00."

Kampus semakin ramai. Kembali aku melihat jam tanganku. Baru pukul 06.30. Tak lama kemudian aku melihat salah satu temanku, Fani, datang dari arah BKS, "Akhirnya ada teman ngobrol", pikirku saat itu.

"Ngapain Fan, pagi-pagi?"

"Ayu khan sidang."

"Iya jam-nya bareng gue."

Kemudian Syifa, yang juga akan sidang hari ini, datang. Disusul oleh Ayu yang ditemani adiknya dan juga Sherry. Kami pun akhirnya mengobrol di satu meja, sebelum akhirnya pada pukul 07.00, kami memutuskan untuk naik ke lantai 4, tempat sidang kami diadakan.

"Ah masih 1 jam lagi, masih lama juga ya."

Sesampainya kami di lantai 4, kami kembali melanjutkan obrolan. Dan tak berapa lama, kembali aku melihat ke jam tanganku, "Yay, udah jam 07.30."

"Yu, mau siap-siapin laptop ngga? Gue mau sekarang."

Kebetulan Ayu akan sidang pada jam yang sama denganku, walaupun ruangan sidang kami berbeda.

Ternyata pukul 07.45, Mbak Hana salah satu pengujiku sudah datang. Kami pun sempat mengobrol sembari aku menunggu laptopku disiapkan tersambung ke in-focus.

Pukul 08.00, ternyata Bu Murni, penguji skripsiku selain Mbak Hana, masih ada urusan sebentar. Lalu akhirnya Mbak Yini, pembimbingku yang juga merupakan penguji materi teori kepribadian, yang juga sudah datang tak lama setelah aku mulai mengobrol dengan Mbak Hana, memutuskan untuk memulai ujian teori terlebih dahulu, sebelum ujian skripsi. Akhirnya aku, Mbak Yini, dan Mbak Hana memasuki ruang sidang.

Dan dari situlah, aku memulai langkah awalku dalam menyelesaikan "buku" yang aku "baca" dan/atau aku "tulis" selama 4.5 tahun belakangan ini. Agar aku bisa "membaca", "menulis" dan pada akhirnya "merilis" buku yang lain, yang baru.

Terima kasih untuk semua yang telah menjadi bagian hidupku dalam melancarkan jalanku untuk menjadi Rufina Anastasia Rosarini, S.Psi.

And I'm longing to have Psi title to be part of my name, in the future...AMEN...

"Hmmm, ada yang mau ngasih beasiswa? Kasih tahu ya..."

Rabu, Februari 18, 2009

I Miss My Home So Much...

Pesan singkat itu akhirnya aku terima pukul 7:32 pagi. Senang sekali, akhirnya aku mendengar kabar darinya setelah 12 hari ia menghilang. Ya, mungkin karena hari ini adalah hari yang berbeda untukku.

Tahun demi tahun aku lewati, dan pasti selalu ada suatu yang mengejutkan, yang membuatku mencoba mencari kumpulan remah-remah pengalamanku terdahulu untuk dapat mengeluarkan suatu tingkah laku yang dapat dijadikan respon terhadap stimulus yang mengejutkan itu (hmmm...ketauan abis belajar teori kepribadian, dulu kemana 'cha?).

Terbiasa mendengar ucapan untukku di hari ini dari seseorang yang sedikit lebih spesial dari yang lain, tepat pukul 24.00, tapi tahun ini tidak. Bahkan aku pun juga sudah tertidur sebelum hari berganti menjadi hari ini, tadi malam. Ini aku sebut dengan pelajaran No.1 yaitu ucapan ulang tahun tak perlu diucapkan tepat pada pergantian hari.

Biasanya aku tidak hanya dikirimi pesan singkat, tapi aku ditelepon, tapi tahun ini, aku yang menelepon. Dan ini adalah pelajaran No.2, apa salahnya yang ulang tahun malah yang menelepon.

Saat telepon itu (akhirnya) diangkat juga olehnya, seketika aku sedih mendengar suaranya. Tak ada keceriaan yang biasa selalu ada di dalam dirinya. Tak ada semangat menggebu yang dulu aku dengar, seperti saat ia menyemangatiku. Langsung aku padamkan harapan akan ada kata-kata manis yang keluar dari mulutnya. Dan tak mungkin aku memarahinya.

"Kamu kemana aja?"

"Ditelan bumi."

"Tapi baik-baik sajakah?"

"Nggak."

"Kenapa?"

"Banyak sekali masalah."

"Tapi bisa dihandle dong?"

"Sebagian bisa, sebagian ngga."

"Terus kemaren jadi ke luar kota?"

"Sempet ke beberapa kota di Sumatera, sebentar-sebentar."

"Terus sekarang lagi di Jakarta?"

"Sekarang di Jakarta. Mau pergi kemana hari ini?"

"Pengennya siy pergi sama kamu, tapi kalo ngga bisa ya ga papa."

"Ya udah ya, take care. Bye."

Aku tahu, ia tak mungkin akan seperti itu, jika keadaan kantornya sedang baik-baik saja.

Huuuuhhh, rasanya ingin berlari menghampirinya, memeluk dan lakukan apapun yang bisa meringankan lelahnya.

Cepet selesai urusan kantormu, terus kiita bisa senang-senang lagi ya...

I'm here waiting for you baby, because I miss my home so much..

Sabtu, Februari 14, 2009

Secuil Harapan...



Ada hati yang berbunga saat ajakan makan malam terlontar dari mulutnya...

Ada secuil harapan saat jas itu digantungkan di pundaknya, menjadikan tubuh itu hangat walau diterpa angin malam...

Ada hati yang dipatahkan...

Di 14 Februari tahun lalu...

Senin, Februari 02, 2009

I'm Home...


"Sayang, bangun, katanya tadi laper, mau makan."

Silau karena cahaya lampu yang tiba-tiba dinyalakan, akhirnya ia pun terbangun dari tidurnya yang seperti orang mati...

Menuruni tempat tidur, dengan penuh rasa malas, tak rela meninggalkan kenikmatan itu...

Berjalan menuju ruang makan, dengan kaki gontai dan mata yang belum seluruhnya terbuka...

Sesampainya di ruang makan, ia melihat sudah ada satu piring lauk favorit mereka, berupa telur kornet goreng, satu mangkuk kecil sambal, dua tatakan piring, dan dua gelas teh panas yang masih mengeluarkan asap...

Ia pun menarik salah satu kursi di sana, menjauh dari meja makan...

Duduk pun ia di sana, sambil menopang dagu, dan kembali memejamkan matanya...

Tak lama, sepiring nasi sudah tersedia di depannya...

"Ayo makan yang banyak, capekh 'kan?"

Ia hanya balas dengan senyuman, dan sambil berpikir "Senangnya, sudah di rumah lagi."