Selasa, Maret 31, 2009

Ada Yang GR?....



-Arms of A Woman-

I am at ease in the arms of a woman.
Although now,
most of my days i spend alone.
A thousand miles,
from the place i was born.
But when she wakes me,
she takes me back home.

Now, most days,
i spend like a child.
Who's afraid of ghosts in the night.
I know, there aint nothing out there.
I'm still afraid to turn on the lights.

I am at ease in the arms of a woman.
Although now,
most of my days a i spend alone.
A thousand miles,
the place i was born.
When she wakes me,
she takes me back home.

A thousand miles,
the place i was born.
When she wakes me,
she takes me back home.

I am at ease in the arms of a woman.
Although now,
most of my days i spend alone.
A thousand miles,
from the place i was born.
When she wakes me,
she takes me..
Ya, when she wakes me,
she takes me back home.
When she wakes me,
she takes me back home.

Beberapa hari yang lalu sempat ada yang bertanya seperti ini, "Buat gue bukan ya tuch lagu, Cha?"

Dan jawabannya adalah "Jangan GR dech loe, Nyong!"

Senin, Maret 30, 2009

Celebrating 101+1 Of My Posts...

Tepat kemarin, jumlah tulisanku di blog introverto ini sudah berjumlah 101. Jumlah yang menurutku tidak sedikit, mengingat blogku ini baru berumur 1 tahun 2 bulan. Sebenarnya blog introverto ini aku buat pada awal tahun 2007, tapi karena saat itu koneksi internetku masih super lambat, jadi aku hanya menulis di blogku yang tergabung dengan akun friendsterku, dan introverto ini aku biarkan kosong tanpa tulisan apapun selama 1 tahun.

Tulisanku kali ini, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya, sekali lagi, untuk semua yang sudah mau menyempatkan diri mampir dan membaca, memberi komentar, memberi masukan, bahkan memberikan dorongan untukku menuliskan sebuah buku. Tak terbayang sebelumnya bahwa ada orang yang mau melakukan itu semua.

Seorang penulis memang tak akan berarti, tanpa adanya pembaca yang membaca tulisan-tulisannya. Dan seorang penulis akan lebih berbahagia lagi, jika tulisannya memberikan suatu makna dan inspirasi bagi orang lain.

Bagiku tidak hanya cukup cogito ergo sum yang berarti aku berpikir aku ada, melainkan aku ada karena aku berpikir, melihat, mendengar, mengkhayal, bermimpi dan merasa. Jadi biarlah aku melakukan itu semua sebebas-bebasnya, dan menuliskannya di blog ini, tak peduli apakah itu milikku sendiri atau hasil tangkapan inderaku terhadap lingkungan sekitarku. Aku akan biarkan kalian mempunyai persepsi bebas, sebebas-bebasnya, terhadap apa yang aku tulis.

Karena bagiku...writing is my passion...

Minggu, Maret 29, 2009

Masokis, Perfeksionis, Apa Lagi?...

Bergelut dengan "not toge" atau not balok dalam partitur lagu baik saat aku latihan menyanyi ataupun bermain piano, sudah aku rasakan sejak aku kecil. Semua ini karena mama. Awalnya aku bergelut dengan not-not itu, saat aku mulai kursus organ, saat usiaku masih 5 tahun. Namun kursus itu tak berlangsung lama, mungkin hanya 1 tahun.

Satu, atau dua tahun kemudian, mama kembali mempunyai inisiatif lain untuk lebih mengembangkan bakat musikku. Ia memasukkan aku ke sekolah olah vokal, Bina Vokalia, yang saat itu masih langsung dibina oleh sang pemilik, Pranadjaja (Almarhum). Kursus ini aku ikuti kurang lebih hingga 4 atau 5 tahun kemudian. Bersamaan dengan kursus olah vokal yang aku ikuti, mama juga memasukkanku kursus piano di Yayasan Musik Indonesia, yang hanya bertahan hingga 1 tahun hingga 1.5 tahun kemudian. Kembali not-not balok itu menjadi teman dekatku.

Pasti kamu bertanya, apa hubungannya antara judul tulisanku kali ini, dengan musik? Apabila kamu pernah melihat betapa semrawut-nya partitur yang berisi "not-not toge" ini, mungkin kamu sudah dapat membayangkan apa maksudku.

Aku yakin, pasti semasa kita sekolah dulu, saat mata pelajaran kesenian, atau apalah namanya, sebagian besar dari kita diajarkan bagaimana caranya membaca not balok yang semua maksudnya hanya dilambangkan dengan simbol. Namun apa yang diajarkan di sekolah, sepertinya tidak akan sedalam jika kamu mengikuti sekolah musik secara khusus lagi, apalagi untuk musik jaman baroque atau klasik.

Coba kita lihat tentang sulitnya "memahami" maksud si "not-not toge" ini, dan cara memainkannya. Mulai dari di mana letaknya si not balok ini berada, apakah masih berada di dalam lingkup lima garis itu, atau perlu ada garis tambahan. Cara membaca not itu pun berbeda antara kunci G dan kunci F. Belum lagi jika nada dasarnya bukan nada dasar C, tapi nada dasar lainnya, tergantung dari jumlah simbol sharp atau flat yang ada di depan lambang kunci G atau kunci F itu. Dari ketukannya, yang bisa dilihat dari apakah not balok itu berwarna hitam penuh, atau hanya bulatan, bertangkai tanpa bendera atau dengan bendera, atau disambungkan dengan not berikutnya dengan satu garis atau dua garis, bahkan bisa saja tak bertangkai. Bagaimana "melafalkan" atau membunyikannya. Simbol-simbol seperti legato atau staccato, crescendo, decrescendo, piano, pianissimo, pianississimo, forte, fortissimo, fortississimo, dan masih banyak simbol lainnya, yang terus terang aku tak tahu jumlah persisnya "rambu-rambu" yang dipakai dan tentu harus ditaati saat kita melagukannya.

Intinya membaca partitur, tidak mudah, dan rrrrriiiiiiiibbbbbeeeetttt. Tak terbayang, dulu, saatku harus menghadapi ujian piano. Kesempurnaan memainkan semua not sesuai dengan "rambu-rambu" yang berlaku, akan semakin sulit karena ditambah dengan rasa cemas dan tegang menghadapi ujian. Aku ingat benar, salah satu pengujiku dulu mengatakan ini: "Mainnya yang bersih ya", untungnya saat itu aku masih kecil, kalau sekarang mungkin aku sudah membalas (dalam hati) perkataannya dengan: "Shut up, kayak gampang aja niy lagu!"

Kunci dari seberapa baik kita memainkan instrumen, baik alat musik atau vokal kita sendiri adalah banyak latihan. Tanpa latihan berkali-kali, sangat tidak mungkin kita bisa memainkan instrumen dengan baik, lancar, bahkan sempurna.

Jadi ingat, aku dulu sempat berganti guru piano, saat mulai memasuki grade 9 (dulu grade paling rendah kurikulum Yamaha adalah 12 dan grade paling tinggi adalah grade 5), Bu Tika namanya. Bu Tika ini lebih "sadis" daripada guruku sebelumnya. Ia tak pernah memberikan PR untukku satu lagu penuh, melainkan hanya beberapa bar. Paling banyak 2 baris. Aku harus bisa memainkannya dengan sempurna sebelum berganti dengan beberapa bar berikutnya. Jadi bisa dibayangkan 'kan, satu lagu penuh dapat aku selesaikan dalam berapa kali pertemuan? Mengingat partitur musik klasik jarang sekali yang pendek. Oh ya, bar di sini bukan tempat kongkow-kongkow sambil minum-minum ya, melainkan batas maksimal jumlah not-not balok yang disesuaikan dengan iramanya, apakah 4/4, 2/4 atau berapapun iramanya. Satu bar, dibatasi dengan dua garis bar.

Sekali lagi, dapat memainkan semua isi partitur musik klasik dengan sempurna diperlukan perjuangan.

Sekali lagi, sempurna, sempurna, dan harus sempurna.

Sekali lagi, rrrrrrriiiiiiibbbbbbbeeeettttt...

Sekarang makin jelas tidak, hubungan antara judul tulisanku dengan apa yang aku jabarkan?

Susahnya belajar musik klasik tentu juga diperlukan ketekunan yang sangat tinggi. Menurutku, mereka yang terus bertahan tanpa henti belajar musik (terutama) klasik, adalah orang-orang dengan tingkat penasaran, ambisi, masokis yang tinggi. Dan bisa jadi, mereka yang belajar musik klasik dari kecil, semakin ia beranjak dewasa, ia akan semakin menjadi perfeksionis. Lain cerita, untuk mereka yang masih kecil, di mana tingkat paksaan dari orang tua masih bisa dijadikan extraneous variable (Halaaaghhh, 'Cha!).

Bagaimana tidak masokis, tidak perfeksionis? Sudah tahu susah, sudah tahu ribet, masih saja dijalani!

Namun, itu semua hanya pikiranku, bukan hasil penelitian ilmiah.

"Kira-kira ada yang benar-benar ingin membuktikannya dalam sebuah penelitian ilmiah tidak ya?"

Tanyaku dalam hati, sambil berharap ada yang mengangkat tangan, dan siap menjadikannya sebagai sebuah topik penelitian ilmiah.

"Memang itu semua konstruk psikologis, 'Cha?"

"Kok situ nanya?"

Sabtu, Maret 28, 2009

Stay Gold, My Dear...



Seize upon that moment long ago
One breath away and there you will be
So young and carefree
Again you will see
That place in time...so gold

Steal away into that way back when
You thought that all would last forever
But like the weather
Nothing can ever...and be in time
Stay gold

But can it be
When we can see
So vividly
A memory
And yes you say
So must the day
Too, fade away
And leave a ray of sun
So gold

Life is but a twinkling of an eye
Yet filled with sorrow and compassion
Though not imagined
All things that happen
Will age too old
Though gold
(Stay Gold, By: Stevie Wonder, The Original Soundtrack of The Outsiders)


When I step out, into the bright sun light....(taken from The Outsiders)

May I ask you something, My Dear? Please, please, just stay gold, 'cause I will, I promise you.

Persepsi Bebas #7

Suatu hari di rumah seseorang...

E: Eh, ngomong donk, Say. Jangan cuma diem aja.
C: Iya loh, jarang-jarang niy kita dateng. Seneng ngga didatengin?
D: Ya, seneng lah.
E: Eh, C kawin lagi lo.
C: Iya gue kawin lagi. Mau denger gak loe ceritanya.
B: Terus gue punya pacar lagi juga.
E: Iya tuh sama *****
C: Bukan, itu mah dah ke laut. Tanya dounk sama dia, sapa pacarnya. Tanya gue kenal gak pacar loe, gitu! Bilang juga kenalin dounk pacar loe ke gue.
D: Kenalin dounks.
B: Ntar gue bawa aja ya ke sini. Mau ngga gue bawa ke sini?
C: Mau ngga?
D: Bawa dong ke sini.
C: Terus tanya, gue kenal ngga? Tanya sapa!
D: Sapa, Nyong?
C: Jawab loe!!
B: Ntar gue bawa aja ya, nunggu kalo dia bisa.
C: Tanya dong gue kenal ga?
B: Kenal sama loe ngga, Pret?
C: Gue mah kenal banget.

"Sebenernya siapa siy yang pengen banget cerita? Siaaaapppaaa haaayyyooo???"

Jumat, Maret 27, 2009

Masuk Dapur...

Urusan masak-memasak adalah hal yang paling tidak aku sukai. Dulu. Tidak dengan tiga tahun terakhir ini.

Urusan masuk dapur, tidak hanya sekedar lewat, atau membuka lemari pendingin, tapi untuk memasak, memang akhirnya menjadi hal yang menarik untukku. Aku ingat betul, menu pertama, aku memasak secara serius, yaitu udang goreng tepung panir saos mayonaise. Jujur aku lupa aku dapat resep itu dari mana, atau mungkin juga tiba-tiba muncul di otakku. Berhubung aku tahu persis bahwa keluargaku (termasuk diriku) itu terdiri dari manusia-manusia dengan gengsi yang super dahsyat, jadi aku tak menawarkan masakan hasil karyaku itu kepada mereka.

Aku tahu mereka beberapa kali mencicipi masakanku, dan pasti, aku sangat yakin menurut mereka selalu ada cacatnya. Ternyata dugaanku benar. Dan, seperti biasa pula, aku tak peduli. Namun anehnya lama-lama masakanku itu hampir habis, padahal sebenarnya saat itu aku masak bukan untuk mereka, tapi khusus untuk seseorang, yang aku tahu persis ia sangat suka dengan seafood. Jadi sebelum benar-benar habis, terpaksa masakanku itu aku pindahkan dari atas meja makan.

Motivasi yang aku miliki untuk mencoba "menjajah" dapur ternyata bagus juga, yaitu membuatkan masakan untuk seseorang spesial, yang bakal berkata jujur, dan memberikan apresiasi atau kritikan dengan cara yang memang seharusnya.

Menu-menu berikutnya pun bermunculan. Kembali tak tahu asalnya dari mana, atau hanya kreasiku sendiri. Kreativitas niatku, ternyata menginginkan sesuatu yang lebih heboh. Kamu tahu apa itu? Ingin mencoba mewarisi hasil masakan makanan khas Manado seperti enaknya masakan Almarhumah Oma dan juga masakan super enak dari Mama, "Masakh masakan Manado enak ala mereka ngga ada yang bisa ngikutin sih."

Meskipun aku tahu persis, bumbu masakan Manado itu membuat yang masak menjadi menderita, dan "menangis". Bagaimana tidak menitikkan air mata, isinya bawang merah bersiung-siung, bawang putih, cabai yang tak terkira jumlahnya, kunyit yang membuat tangan menjadi kuning. Tambah sengsara saat aku harus mengulek semua bumbu, karena Mama dan aku percaya, jika bumbu dihaluskan dengan food processor, rasanya tidak akan sama dengan hasil mengulek.

Masakan Manado pertama yang aku buat, adalah Ayam Rica-Rica. Lalu aku mulai mencoba mengganti daging ayam itu dengan daging tidak halal, dan jadilah Babi Rica-Rica. Maklumlah menu Manado sebenarnya jarang yang halal, namun karena tuntutan, mereka harus menyesuaikan, dan kalau hanya masalah daging, sangat mungkin untuk diganti dengan daging apapun. Masakan babi rica-rica khas Manado karyaku sendiri, aku buat karena pesanan dari temanku yang sedang hamil dan mengidam masakan ini.

"Gue masakin dech, gue masak enak lo."

"Bener ya. Asik-asik."

Akhirnya kami bertemu saat reuni. Sesuai dengan janjiku, aku membawakan masakan sesuai pesanannya. Dan kebetulan saat reuni itu, salah satu temanku, yang sudah belasan tahun menetap di Amerika, akhirnya kembali ke Indonesia, dan kebetulan ia juga berdarah Manado. Jadi tanpa diminta, aku juga membawakannya masakan karyaku. Dan hasilnya, mereka berdua suka sekali dengan apa yang aku masak.

Kebutuhan bisa memasak, tidak hanya untuk kepuasan batin saat aku bisa membuat orang lain senang, dan tentu membuat diriku sendiri juga senang. Namun untuk bisa survive, saat di rumah sedang tidak ada makanan, dan hanya ada bahan mentah. Urusan resep-resep, aku tak mencari secara khusus dari buku masakan. Kebanyakan aku tahu dari orang lain, atau lagi-lagi isengnya aku melemparkan bahan-bahan mentah dan bumbu kedalam wajan, dan bermodal indera pengecapku.

Salah satu menu yang aku dapat dari orang lain, dari tanteku sendiri, adalah Prime Sukiyaki Jamur Champignon. Aku hanya perlu melihatnya beberapa kali memasak masakan itu, dan tanpa catat mencatat, cukup mengandalkan photographic memory yang aku punya, aku mencobanya di rumah. Dan saatku ulang tahunku bulan lalu, aku memasakkannya untuk teman curhatku dan orang spesialku. Hasilnya si ibu hamil itu malah merasa porsinya yang aku bawakan kurang banyak. Menu ini, aku buatkan pula untuk Karin saat kami di Singapura, namun dagingnya aku ganti dengan daging ayam. Karin pun suka dengan masakanku.

Menu lain yang sedang aku eksplorasi lebih lanjut, dasarnya aku dapatkan dari salah satu acara memasak di televisi, yang tanpa disengaja aku tonton. Berhubung masakannya mudah, dan bahannya tidak terlalu sulit, maka aku mulai mencobanya. Namun berhubung aku tidak terlalu suka dengan daun parsley, yang termasuk di dalam bahan masakan itu, jadi aku mencoba untuk membuat variasinya. Sesuai dengan kreasi campur-campur ala diriku sendiri. Jadilah Prime Sukiyaki Brokoli Cream Cheese, enak banget, dan semua hasil masakanku, tanpa MSG. Bagiku bumbu-bumbu seperti bawang putih atau bawang merah dengan jumlah yang disesuaikan, cukup dapat menggurihkan makanan. Jadi tak perlu MSG 'kan?

Mau ikut mencoba? Ini resepnya...

1. Bawang merah iris kecil-kecil (Jumlahnya sesuka hati, ikuti feeling)
2. Bawang putih iris kecil-kecil (Jumlahnya tentu sesuka hati, juga ikuti feeling)
3. Bawang bombay (Aku tadi memakainya setengah potong)
4. Knorr seasoning powder (Mudah-mudahan bisa ditemui di supermarket besar di Jakarta, ini satu-satunya bumbu masak yang aku bawa dari sisa masak-memasakku di Singapura, awal bulan ini. Dan setahuku merek Knorr sudah lama tidak masuk ke Indonesia)
5. Cream cheese
6. Lada hitam
7. Olive Oil Extra Light (Untuk memasak semua bahan)
8. Gula pasir
9. Sukiyaki prime
10. Brokoli

Masukkan minyak zaitun (olive oil) ke dalam wajan, tunggu hingga panas, lalu masukkan bawang merah, bawang putih, tunggu sampai harum. Kemudian masukkan bawang bombay setengah dari yang sudah di iris-iris. Tambahkan cream cheese, hingga leleh dan merata. Masukkan daging, dan tambahkan seasoning powder. Tunggu hingga daging matang. Masukkan bawang bombay sisanya lagi. Lalu masukkan sayurannya.

Mulailah mencicipinya, dan tambahkan bumbu-bumbu masakan yang ada. Berhubung di dapurku tadi ada Kikkoman, dan Saos Tiram, jadi itulah bumbu tambahannya. Coba rasakan kira-kira kurang apa, dan tambahkan, termasuk seasoning powder tadi. Gula pasir bisa diberikan, bisa tidak. Menurut Mama, gula pasir itu dapat membuat bumbu-bumbu yang digunakan jadi tambah meresap. Aku tidak menambahkan garam, karena bagiku cream cheese, Kikkoman, Saos Tiram, dan seasoning powder itu sudah cukup.

Jadi ingat perkataan Rachel Ray di acaranya, "I just throw everything in."

"You're right Rach."

Di tulisanku sebelumnya aku mengajakmu untuk mencoba menulis, kalau sekarang..."Marrreeee masak!!!"

Kamis, Maret 26, 2009

Api, Angin dan Air...

Api itu selamanya akan berkobar...
Angin tak selamanya bertiup semilir menyejukkan...

Angin bukan air...
Yang dapat menghanyutkan...

Liuknya membawanya terbang sesuka hati...
Ternyata ia pun bersayap...

Yang tak jarang ingin ia kepakkan...
Sehingga ia tak menginjak bumi...

Bukan pula hujan yang siap membasahi tanah...
Dan meredupkan api...

Hingga ia tak berkobar...
Kelembutan yang luluhkan hati...

Yang hanya ada satu di antara sejuta waktu...
Yang harus ia cari di antara sesaknya jerami...

Aku bukan air, Sayangku...
Tapi aku coba menjadinya...

Andaikan aku air...
Tak tahu pun akan mengalir ke mana...

Rabu, Maret 25, 2009

Sahabat Setiaku...










*Urutan foto dari paling atas: Cricket, Goldie, Molly, Moeng, O'Neil, Rambo, Kino.*

Kino

My eldest son...dibawa oleh Papa ke rumah pada bulan Oktober 1998. Papa beli Kino dari Jl. Latuharhari. Kata penjualnya, Kino saat itu sudah berumur 9 bulan. Kino ini pengganti Cello, anjing dachschund ku yang hilang. Si hitam ini, pernah menjalani operasi tumor di perut, pada Februari 2007. Paling suka makan, apalagi makan kue. Ia hafal betul dengan bunyi plastik kue, bentuk kardus kue/makanan, tusuk sate, dan theme song dari bunyi tukang jualan Susu Murni Nasional yang lewat di depan rumah. Ia akan mengomando adik-adiknya yang lain, untuk melolong, jika tukang susu ini lewat. Tentu mereka minta dibelikan Susu Nasional itu. Begitu kami selesai bertransaksi membeli susu, dan masuk ke dalam, Kino sudah dengan cerianya menyambut kami sambil melihat ke arah plastik yang berisi susu yang kami beli. Tentu dengan goyangan bahenol ekornya. Kino ini juga mempunyai satu hobi lucu, yaitu menarik dan memindahkan keset atau karpet tidurnya, ke tempat yang ia inginkan, jadi sering kali kami tidak menemukan keset yang seharusnya berada di depan pintu kamar atau kamar mandi.

Sekarang Kino sudah menemaniku hampir 11 tahun, dan semoga kamu sehat-sehat terus ya, Ndut.

Rambo

Campuran German Shepherd dan Chow-Chow. Hasilnya ya, beginilah tampangnya. Berbulu, bertelinga, dan bermata khas German Shepherd, berbadan dan berlidah biru khas Chow-Chow. Rambo ini benar-benar anjing rumahan. Dari dulu ia tidak pernah mau keluar rumah walau pintu pagar dibuka. Padahal kami tak pernah mengajarkannya untuk berperilaku seperti itu. Hanya sekali ia pernah keluar dari rumah, dan sempat hilang beberapa jam. Saat itu kami sekeluarga pergi ke gereja, dan pintu pagar memang sengaja kami buka, karena si "perempuan jagoan" kami sedang berjalan-jalan, tak di rumah. Jadi kami sengaja membuka pagar agar si "jagoan" itu bisa masuk jika hujan. Namun sekembalinya kami dari gereja, kami tak menemukan Rambo di dalam rumah, hanya ada perempuan satu ekor itu. Akhirnya kami bingung. Kami panggil-panggil tapi ia tak merespon. Kami berputar-putar sekitar rumah kami, sambil memanggil-manggil namanya, dan kami mendengar gonggongannya, tetapi hanya satu kali. Kakakku sudah pasrah, dan ia kembali ke rumah, tapi tidak denganku. Aku kembali ke daerah belakang rumah yang masih kebun, tanah penuh dengan ilalang, dan waktu itu ada pemukiman pemulung di daerah sana. Aku kemudian bertanya pada salah satu pemulung di situ, "Pak, lihat ada anjing coklat lewat sini ga? Matanya belokh, bulunya agak panjang, kupingnya diri?"

"Iya, Neng, tadi saya lihat. Saya juga heran, kok anjing Neng, biasanya di rumah, kok sampe sini. Coba deh, tadi ke arah sini."

Aku membantu pemulung itu mencari Rambo di antara semak-semak, sambil membawa lampu sorot. Dan ternyata kami menemukan Rambo, sedang duduk manis, dan bingung, di bawah pohon pisang, yang tumbuh tepat di belakang tembok belakang rumah kami. Asumsi kami, ia mencium bahwa itu adalah rumahnya, tapi salah arah. "Aduuhhh, Nak, kamu kok bodo, tapi lucu siy."

Lalu aku menelepon ke rumah, meminta kakakku untuk menghampiri. Akhirnya, Rambo digendong oleh kakakku, karena kalau ia dirantai, ia tak akan mau bergerak, karena ia sebenarnya sangat takut keluar rumah. Semenjak kejadian itu, ia semakin takut keluar rumah. Mei tahun ini Rambo sudah berumur 11 tahun.

O'Neil

Lahir tepat di hari Natal, 25 Desember 1998. Ia sangat manja dan sering sekali minta digendong. O'Neil dulu anjing milik Ingrid, yang sekarang adalah kakak iparku. Sejak April 2000, O'Neil dipindahkan ke rumahku. Satu-satunya anjingku yang paling mudah dibawa pergi dengan mobil. Tanpa basa-basi, sesaat setelah ia memasuki mobil, O'Neil langsung tertidur di pangkuanku, sekalipun aku yang harus mengendarai mobil. Ia tak akan merepotkanku saat mengendarai mobil, karena ia baru akan terbangun dari tidurnya setibanya kami di tempat tujuan.

O'Neil mempunyai warna mata yang berbeda, tapi kata dokter yang biasa menanganinya, ini karena bawaan lahir. Titik lemah O'Neil adalah di sistim pencernaannya, sepertinya ia sering sekali cacingan. Jadi obat cacing harus ia konsumsi setiap 4 bulan sekali, dengan dosis kecil. Tahun lalu, ia divonis dokter mengalami pengapuran tulang punggung, dan harus menjalani akupuntur. Akhirnya dengan akupuntur itu, ia bisa kembali sehat. "Terus sehat ya, Sayang."

Moeng

Anjing dengan karakter pencemburu, terutama jika tuannya mendekati kakak atau adiknya yang lain. Ia tak bisa berkumpul dengan Kino dan adiknya yang mirip dengan "anak gadjah", juga si "perempuan jagoan". Moeng adalah pemberian dari temanku, sebelum natal 1999. Saat itu aku tidak tahu persis usianya, tapi kira-kira ia berusia 1 bulan, karena saat ia aku bawa pulang, berdiri saja ia masih belum bisa tegak, masih sering terpeleset, dan ia masih sering diare. Asumsiku, ini semua karena ia kurang mendapatkan ASI induknya. Dari pertama kali ia datang, aku membawanya tidur di kamar kakakku, yang letaknya di bagian belakang rumah kami. Alhasil, sampai sekarang ia cinta sekali dengan kamar kakakku ini, kalau sudah berada di dalam kamar itu, ia malas sekali diminta untuk keluar, bahkan menjadi "penjajah" tempat tidur.

Selain menjadi penjajah kamar tidur, Moeng ini anjing paling sopan saat diberi makan. Ia pasti dengan sabar menunggu seluruh makanan untuknya siap diberikan padanya. Ia akan duduk manis, memberi salam dengan "tangan kanannya", dan bahkan menunggu perintah dari kami, apakah makanan itu boleh ia makan atau tidak.

Molly

Ini dia yang aku maksud dengan perempuan jagoan kami. Molly aku temukan di ujung jalan jalanan menuju rumahku. Waktu itu kalau tidak salah tahun 2002. Saat aku pulang kantor, aku melihat ada anjing baru yang aku lihat sedang bermain-main dengan anjing tetanggaku, yang bernama Culai (Alm), yang saat itu sudah akrab denganku.

Molly numpang tidur di rumah tetanggaku, yang letak rumahnya bersebelahan dengan rumah pemilik Culai. Kebetulan rumah tumpangan Molly itu bentuk pagarnya memungkinkan Molly untuk keluar masuk rumah sesuka hati. Sehari-hari ia diberi makan makanan sisa oleh tetangga-tetangga sekitar.

Saat aku bertemu dengannya pertama kali, ia masih curiga denganku, bahkan makanan yang aku berikan tak disentuhnya sama sekali. Namun itu hanya terjadi 2-3 kali. Kira-kira pertemuan kami yang ke-4, Molly sudah mau mendekatiku, dan mulai dari itu ia aku beri makan dari dalam rumah. Namun ia tetap hidup berkeliaran di jalan. Berhubung anjing liar, jadi ia tak terurus, termasuk urusan berkembangbiak. Sempat anaknya ada 9, aku dan mama menjadi sukarelawan mencarikan rumah adopsi untuk anak-anaknya yang selamat.

Sayangnya, tetanggaku yang rumahnya ditumpangi Molly ini, mempunyai pembantu rumah tangga yang tidak suka dengan anjing, jadi pagar rumahnya diberi kawat, agar Molly tak bisa lagi masuk. Saat itu aku ingat betul, mulai musim hujan. Molly yang kehujanan, akhirnya aku bukakan pagar, agar ia bisa berteduh, bahkan jika ia tak mendengar siulanku, aku akan berkeliling di sekitar rumah dengan memakai payung untuk memanggilnya masuk. Awal-awalnya, ia hanya di dalam rumah, saat hujan datang. Jadi kehidupannya masih lebih banyak berada di jalanan, dan tiba-tiba aku melihat perutnya sudah membesar lagi, "Haaayyaaa, kamu hamil lagi ya?"

Namun ia tahu sekali bahwa ia disayang, dan tiba saatnya ia untuk melahirkan. Pagi-pagi sekali, ia sudah menangis-nangis dari luar pagar minta dibukakan pintu. Ternyata ia akan melahirkan, dan rumahku menjadi rumah bersalin untuknya. Semenjak itu, ia tinggal di rumahku. Meskipun ia masih sering keluar rumah berjalan-jalan, karena pintu pagar kami memungkinkannya untuk dapat keluar rumah, tapi tidak untuk masuk ke dalam rumah. Nama Molly adalah pemberian dari kakakku.

Berhubung anjingku yang lain berkelamin jantan, dan aku tahu Molly sudah tiga kali mempunyai anak, jadi tahun 2005, aku putuskan Molly disteril, agar ia tak bisa punya anak lagi. Kasihan memang, tapi apa boleh buat, daripada ia dibuang seperti yang diminta Papa, jadi aku rela mengeluarkan uang untuk mengoperasinya.

Sekarang si "perempuan jagoan" ini benar-benar jadi jagoan. Sangat pintar. Ia sering diajak Papa jalan-jalan naik sepeda atau jalan kaki, sampai berkilo-kilo meter, bahkan hingga ke jalan raya. Tak jarang ia sampai masuk ke ruang pengambilan ATM, saat diajak Papa mengambil ATM, atau ikut bersepeda ke rumah kakakku, yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari rumah.

Lucunya Molly pernah mengikuti mobil kami sampai ke jalan raya, saat Papa dan Mama pergi. Untung Mama lihat dari kaca spion, akhirnya Papa berhenti, dan Mama membawa masuk Molly ke dalam mobil, memulangkannya, dan ia akhirnya di rantai di teras rumah kami. "Nakal siy kamu, Nak."

Belakangan ini aku baru tahu, bahwa Molly tadinya anjing dari toko bangunan yang ada di jalan raya. Ia kabur dari sana, karena ditendang oleh salah satu karyawannya. Kebetulan karyawan toko bangunan yang menendang Molly itu lewat depan rumah kami, dan meminta kami untuk membawanya kembali ke toko bangunan itu. Lalu Papaku menjawab, "Wah, itu sudah dirawat anak saya, kalo bisa coba aja bawa sendiri."

Dan si perempuan jagoan, meneruskan goggongannya ke arah orang itu semakin kencang, sambil menyeringai, "Bagus, Sayang, terusin! Dia 'kan jahat sama kamu."

Goldie

Aku menyebutnya dengan bayi gadjah, berhidung sapi, bersuara ayam (karena suaranya sama sekali tidak menampakkan bahwa ia anjing ras besar), dan berkelauan bayi 6 minggu. Golden Retriever-ku yang super lucu ini, memang tingkahnya seperti anak kecil. Padahal Mei nanti usianya sudah 6 tahun. Lahir 23 Mei 2003. Aku mendapatkan Goldie dari tanteku, saat Goldie masih berusia 10 bulan. Lucu sekali tingkah anak ini. Dari hobi menumpahkan tempat minum di teras milik Kak Moeng, sampai mengejar kodok, yang mungkin ia pikir akan diajaknya bermain, karena berlompat-lompatan.

Goldie sering sekali lupa ukuran badannya yang besar itu. Dengan berat 35 kilogram, ia tak peduli ukuran saat berlompat-lompat, melonjak kegirangan saat bertemu kami. Tak jarang kami terjatuh karenanya. Goldie terbiasa di kamarnya sendiri sejak kecil (aku menyebut kandang sebagai kamar). Jadi saat ia dipindahkan ke rumah, kamar yang cukup besar (mirip bangunan rumah kecil) untuknya sudah kami siapkan. Kasihan memang melihat Goldie menjadi satu-satunya anakku yang lebih sering di kamar, tapi apa boleh buat, dari pada ia bertengkar dengan kakaknya, dan semakin banyak bangkai kodok di halaman belakang rumah.

Awalnya ia bertengkar dengan Moeng karena ketidaksengajaan. Saat itu Goldie yang sedang bermain-main di halaman belakang, tiba-tiba membuka pintu kamar kakakku, yang di dalamnya ada Moeng sedang tidur dengan kakakku. Goldie meloncat girang. Ia pikir, ia ingin ikut bergabung di atas tempat tidur itu, dan mungkin juga ingin mengajak Moeng bermain. Namun Moeng kaget, dan merasa terserang, akhirnya mereka bertengkar, hingga Goldie harus dibawa ke dokter, karena kakinya tergigit Moeng, bolong di satu titik, dan mengakibatkannya agak pincang. Dan sampai sekarang mereka berdua tidak bisa disatukan.

Cricket

Bulan Juni atau Juli 2005, saat rumah kami mati lampu, tiba-tiba aku mendengar suara anjing kecil berteriak-teriak kesakitan. Seketika aku turun dari kamarku, dan aku lihat saat itu ada Papa di ruang keluarga.

"Hmmm, emang kita punya anjing kecil lagi, Pa?"

"Iya, kok ada suara kirik ya? Anjing sapa ya."

Papa kemudian melihat ke halaman depan, namun karena gelap, ia tak menemukan apa-apa di sana, kecuali Molly dan Rambo, yang bertugas jaga depan. Aku masih penasaran. Aku kemudian mengambil lampu sorot, dan mencoba memeriksa halaman depan. Aku lihat Molly mulai mengendus sesuatu di bawah mobil, aku pun kemudian melihat ke bawah mobil, dan apa yang aku temukan? Seekor anak anjing. Langsung aku ambil, dan aku gendong. Waktu itu besarnya masih seukuran telapak tanganku. Saat diangkat, ia berteriak-teriak kesakitan, aku pun mengambil kardus bekas sepatu, aku lapisi dengan kain bekas, aku letakkan ia dalam sana, dan aku selimuti, agar ia hangat. Malam itu, aku pun menjadi perawatnya. Setiap jam aku memberikannya air minum atau susu dengan suntikan kecil tanpa jarum, yang memang selalu aku sediakan di rumah, dan aku gunakan jika aku perlu meminumkan obat cair untuk anjingku.

Anjing kecil ini ternyata memang sengaja dibuang di halaman rumahku oleh seseorang. Orang itu pasti tahu, keluarga kami pencinta anjing.

Lebaran 2005, aku kembali dibuat panik oleh Cricket ini. Ia terkena parvo virus, yang baru benar-benar kami ketahui saat malam takbiran pukul 02.00 dini hari. Padahal saat ia mulai tak mau makan, aku sudah membawanya ke dokter beberapa kali, dan dokter belum mendeteksi bahwa itu adalah parvo virus, bahkan saat itu kami harus membawanya pulang dengan cairan infus. Kondisi Cricket yang sedang sakit, membuat kami memutuskan agar ia tidur di dalam rumah, dengan "kamar" kecilnya (karena ia harus di infus), sedangkan Kino dan O'Neil sementara tidur di luar, agar tidak tertular. Namun saat aku hendak mengeluarkan Cricket dari kamarnya, pukul 02.00 dini hari itu, untuk memberi kesempatan untuk ia buang air di halaman depan, malahan ia buang air besar darah cair, yang tidak sedikit, dan berbau amis, tepat di ruang tamu, saat perjalanan kami menuju pintu keluar.

Seketika aku membangunkan mama.

"Ada yang mau nemenin atau ngga, aku berangkat ke Sunter sekarang. Opname Cricket."

Akhirnya aku membawanya ke Sunter, klinik 24 jam Drh. Cucu Kartini. Dan setiap hari ia aku tengok, dan aku beri semangat, selama 1 minggu. Akhirnya ia pun dapat pulang ke rumah dalam keadaan sehat.

Sekarang Cricket sudah hampir 4 tahun, dan super nakal.

Selasa, Maret 24, 2009

Persepsi Bebas #6

C: Sekarang elo sama sapa?
B: Ya, someday elo tau lah gue sekarang sama sapa.
C: Sama si *** ya?
B: Heh, kenapa elu bisa berkesimpulan kalo sekarang gue sama dia?
C: Feeling aja gue.
B: Gak, gue penasaran apa yang menyebabkan elo bisa ngomong gitu?
C: Dibilangin gue feeling, kalo elo sama dia itu pasti ada apa-apa.
B: Dari sekian banyak manusia yang liat gue berinteraksi sama dia, baru elo doank lo yang nembak gue kayak gini. Dan elo khan waktu itu ketemu gue pas sama dia khan cuma sebentar.
C: Iya dibilang feeling.
B: Iya feeling itu dari mana? Emang gue ngapain waktu itu? Emang gue ngelakuin apa siy?
C: Terus terang gue lupa siy elo ngapain or ngomong apa, seperti biasa gue emang sering lupa sama kejadian sekitar.
B: Gue ngga ngapa-ngapain gituh sama dia, dari mana elo bisa bilang gitu?
C: Apa waktu itu elu gelantungan di keteknya dia ya?
B: Eh, kalo gue kayak gitu, wajar lah elo nanya gue kayak gini sekarang. Kok elo bisa bilang gitu?
C: Ya ketauan lah dari body language elo berdua, dari cara ngomong kalian, dari tatapan mata. Tadinya gue mau nanya ***** apa si *** dah punya pacar lagi.
B: Canggih, brengsek emang looo. Gue tertipu, tampang lu bolot tapi otak lu jalan juga ya. Tapi tetep gue gak ngapa-ngapain gitu. ***** aja belom tau, tadinya kita berdua mau ngasih tau pelan-pelan, biar mereka tau sendiri lah, observasi sendiri.
C: Eh tapi waktu gue baru dateng, gue liat tangan lu emang lagi di pundaknya dia siy, and tangannya lagi di dengkul lu.
B: Sapa suruh dateng tiba-tiba. Dan kayak gitu wajar gitu, very common.
C: Mampus khan lo ketauan ama gue. Eh muke gue Einstein gini elo bilang bolot. Jangan coba-coba nutupin dari gue deh.
B: Terus ditambah waktu itu gue nengok elo di rumah sakit bareng dia ya?
C: Yoi.
B: Jangan-jangan abis gue pulang ama dia waktu gue ketemu elo itu di kuningan, kalian berdua gosipin gue ya?
C: Sebenernya si temen gue itu yang nanya apa elo sama dia sekarang.
B: Terus elo bilang apa?
C: Lagi deket kayaknya. Padahal waktu yang elo cerita elo ketemu dia curhat berjam-jam itu gue belom curiga lo.
B: Itu belom. Gara-gara itu juga siy, hahahahha.
C: Sebelumnya dia dah suka sama elo?
B: Hahahha, lah gue dah bertahun-tahun deh ngga ketemu sama si ***. Ketemu-ketemu lagi juga di facebook. Sempet siy chatting-chatting di YM, siang-siang, trus beberapa kali sms, tapi ya gitu doank.
C: Asik makan-makan. Dah ada 5 bulan?
B: Apanya?
C: Deketnya.
B: Belom. Baru mau 4. Sial lu, bisa notice lagi. Khan kita ketemu waktu itu cuma 2-3 jam.
C: Gue gitu.
B: Awas lu ya nulis-nulis di wall.
C: Hahahha, ya udah ya bouw gue mau nyuci baju dulu neh.

Senin, Maret 23, 2009

Writing Is My Passion...

Menjadi seorang introvert adalah hasil dari bentukan lingkungan sekitarku. Mengapa aku berkata demikian, karena sebenarnya tidak sulit untuk membuatku berbicara tentang apa yang aku rasa, tentang apa yang aku pikirkan. Dengan sedikit pancingan saja, aku bisa menceritakan banyak sekali hal. Namun semuanya itu juga tergantung dengan siapa aku bicara, bagaimana orang tersebut melakukan pendekatan agar aku dapat mencurahkan, membeberkan apa yang ada di benakku, di hatiku. Dan terakhir tentu hasil proses "editing" yang aku lakukan sendiri atas perlu atau tidaknya hal itu dibicarakan dengan orang lain.

Selain hal tersebut di atas, salah satu faktor yang menjadikanku seorang introvert, mungkin karena keluargaku sendiri. Nasib menjadi anak paling kecil yang berada di dalam keluarga Jawa, di mana komunikasi antara anak dengan orang tua banyak terhambat karena hal-hal yang menurutku sangat aneh dan tidak relevan lagi untuk zaman sekarang (dan sangat aku sayangkan darah Manadoku sama sekali tidak terlihat dalam urusan berkomunikasi ini). Sebagai contoh, sering kali jika seorang anak ("hmmm...aku?") ingin mengungkapkan pendapat, sering kali pula itu dianggap sebagai bantahan terhadap orang tua, dan alhasil dapat mengakibatkan terjadinya situasi tegang antara anak dan orang tua.

Situasi-situasi seperti itulah yang mengakibatkan aku lebih senang untuk memilih diam. Namun ada batas kesabaranku untuk tetap tinggal diam. Aku perlu untuk ungkapkan apa yang ada di dalamku, itu setidaknya. Tidak terlalu berharap aku untuk didengar, apalagi untuk dipahami orang lain. Aku ingin hamburkan penatku, rasaku, pikirku, sampai terkadang aku tak pedulikan apa kata orang lagi.

Jadi teringat ungkapan seseorang yang saat ini sangat berarti bagiku "Kamu itu naturenya sebenernya ekstrovert 'Cha, tapi nurturenya introvert."

"Sepertinya ia benar. Ya, selama ini apa yang ia katakan selalu benar. Deja vu 'Cha?"

Kecintaanku dalam menulis semakin bertambah besar dari hari ke hari. Dan sepertinya akhir-akhir ini semakin aku sadari, writing is my passion.

Sedih rasanya, saat aku terkejar tenggat waktu menyelesaikan skripsi beberapa bulan lalu. Waktu yang aku miliki untuk menulis sangat terbatas. Akhirnya kebutuhanku untuk menuliskan sesuatu, aku kompensasikan dalam tulisan ilmiah, tulisan yang ada di dalam skripsiku itu.

Manusia sepertiku yang juga termasuk deadliners sejati, tentu mempunyai kebiasaan buruk (bagi sebagian orang, dan jelas bukan aku) untuk menyelesaikan pekerjaanku di detik-detik terakhir sebelum tenggat waktu yang diberikan, termasuk dalam menyelesaikan skripsi.

Kira-kira seperti ini pikiranku sesaat setelah perayaan tahun baru 2009 lalu, "Anjrit...bulan depan dah Februari ya, skripsi kagak kelar lagi, bayar kuliah lagi gue. Damn!!!"

Seketika seluruh tenaga, jiwa, raga, waktuku, aku curahkan untuk menyelesaikan tugas akhirku untuk mendapatkan gelar Sarjana Psikologi. Tak pedulikan sekitar, tak pedulikan waktu, tak pedulikan "setan belang" mana yang mau menggangguku, yang penting Februari aku harus sidang.

Dengan tangisku (arti harafiah), dengan ditemani adzan subuh sebagai lonceng pertanda aku harus sempatkan diri untuk tidur, dengan suara detik jam dinding yang ingin sekali aku buat diam, sehingga satu hari mempunyai waktu lebih dari 24 jam, dengan entah omelan, suara kepasrahan atau motivasi dari sang pembimbing skripsiku, dan dengan mata yang tak sama sekali terpejam selama lebih dari 24 jam terakhir sebelum 2 Februari 2009, akhirnya aku berhasil menyelesaikan skripsiku. Aku ingat sekali, tanggal 2 Februari 2009, pukul 09.45 pagi, semua skripsi sudah rapi aku cetak, dan siap untuk dijilid dan diserahkan ke Sekretariat Fakultas Psikologi.

Lagi-lagi aku ingat omongan dirinya, "Cha, kalo aku jadi bos-mu, aku akan selalu memosisikan kamu di saat-saat kritis, karena kerja kamu akan optimal."

"Iya siy, tapi abis itu aku tepar dan menggila."

"Tapi you can handle it for sure."

"Iya dounk, gue gituh, hahahhaha."

Seminggu setelah skripsi dikumpulkan, skripsi itu belum aku sentuh lagi. Masih malas, masih muak melihatnya. Skripsi baru kembali aku baca dengan seksama 3 hari sebelum sidang. Sebelumnya hanya aku baca sekilas, untuk mempersiapkan presentasi sidang. Dan apa yang aku dapati saat aku membaca skripsiku sendiri?

"Damn, did I write it? Kok, bagus. Kok enak dibacanya. Jago juga ya gue nulis. Padahal gue sambil nangis-nangis, or jangan-jangan sambil tidur pulakh gue nulisnya."

Sedikit narsistik memang aku saat itu. Namun ada rasa lain, yaitu senang. Ternyata ada bakat lain yang terasah dalam diriku, selain bakat-bakat lain yang sudah aku sadari sejak lama.

Rasa senang yang aku rasakan, tidak berhenti sampai di sana. Ada hal lain yang membuatku semakin melayang, senang, tak terbendung, tak terkira.

Kamis, 26 Februari 2009, hari aku harus menjalani sidang, untuk ditentukan laik atau tidaknya aku menjadi seorang Sarjana Psikologi. Setelah 4.5 tahun aku kuliah, hari inilah akhir dari seluruh "cerita" kuliahku.

Sidang diawali dengan presentasi, tentang keseluruhan hasil penelitian yang aku lakukan. Seselesainya aku presentasi dan dipersilakan duduk, aku mendapatkan kabar gembira itu. Sesi tanya jawab yang selama ini menjadi momok dalam benakku, ternyata berbeda seratus delapan puluh derajat, dengan pembukaan yang menyenangkan dan membuatku terbebas dari rasa takut.

Mereka yang mengujiku hari itu, kurang lebih mengatakan ini: "Cha, uji keterbacaan skripsi kamu, sangat okay. Apa yang kamu maksudkan, tertulis dengan jelas, bahkan tanpa ada revisi yang kamu tadi sebutkan di awal presentasi, Saya sudah tahu maksud kamu apa."

"Saya juga setuju. Bahkan di Bab II, yang biasanya paling males untuk dibaca detil, jadi menyenangkan. Oleh sebab itu, Saya berterima kasih pada pembimbing kamu, yang bisa membuat kamu menulis seperti ini."

Terus terang aku tak tahu harus berkata apa, kecuali...

"Terima kasih, Mbak, Bu."

Bahkan saat itu keinginanku untuk mengucapkan "Itu khan karena pembimbing Saya", tak juga dapat terlontar dari mulutku.

Malah akhirnya pembimbing skripsiku sendiri yang merespon pernyataan para penguji...

"Ya, yang dibimbing Saya 'kan ngga cuma satu. Itu juga karena mahasiswanya."

Senang, bangga, terharu, campur aduk perasaanku saat itu. Dan itulah pengalamanku saat menulis sebuah tulisan ilmiah.

Lain pula cerita pengalamanku dalam menulis cerita-cerita lainnya, yang biasanya tertumpah di dalam blog-blog yang aku kelola, termasuk di dalam blog Tulisan Seorang Introvert ini.

Sekali lagi, awal aku mempunyai kecintaan dalam menulis, karena aku ingin hamburkan rasaku, tidak muluk menjadi hal lain. Pujian, pernyataan kagum, komentar dari hasil tulisanku adalah nilai tambah yang tak terkira harganya.

Seperti komentar seseorang, saat kami berdua duduk di sebuah kedai kopi, di Pacific Place, Desember lalu.

"Cha, aku encourage kamu to write a novel. Aku jadi editornya deh."

"Belom PD, lagi pula di Indo novel-novel dibajak, ntar aku rugi."

atau komentar dari seseorang lainnya, saat aku mengobrol dengannya di ruang obrolan di internet...

"Eh, ada tulisan baru tuh di blogku. Mampir ya. Sapa tau aku bisa jadi penulis kayak Dee."

"Kalo jadi penulis siy udah bukan? Tinggal dikomersilin aja, bahkan kalo bisa lebih bagus dari Dee."

atau teman-teman kantorku dulu...

"Baca tulisan loe, kayak liat filmnya langsung Cha."

"Untuk tulisanmu, emang dari dulu khan udah jempolan Mbak, aku dan suami diam-diam salah dua pengagum tulisanmu."

atau dari salah satu kenalanku...

"Wah, ngga nyangka Ocha jago nulis. Ditunggu chapter berikutnya ya Cha."

atau komentar dari temen-temen kuliahku...

"Ocha, seneng deh baca blognya, kayak e-book, ditunggu kelanjutannya ya."

"Gue seneng baca blog lu, mirip-mirip ama kisah kehidupan gue."

atau komentar salah seorang yang dulu pernah menjadi klien kantorku...

"Tulisan loe banyak gue jadiin inspirasi, 'Cha."

Walaupun juga ada beberapa orang yang sempat "protes" bahwa tulisan di dalam blogku, sulit dimengerti, sulit ditebak. Untuk hal ini, aku hanya bisa berkata...

"Selamat menebak, dan itu ciri-ciri real introvert, sulit bisa mengungkapkan apa yang sesungguhnya ada di dalam. Oh, ya satu lagi, kalo susah menebak maksudku apa, jangan baca yang di kategori Persepsimu, tambah pusing nanti."

Komentar-komentar dari semua orang yang membaca tulisanku adalah hal luar biasa dan pasti di luar dugaanku selama ini. Tak terbayangkan sebelumnya, ada yang berminat, mau menyempatkan diri membaca atau bahkan mengikuti tulisanku. Aku hanya bisa menyampaikan penghargaanku kepada semuanya; Adietya Benyamin, Mas Anung Setiawan, Mas Danny Yatim, Mas Riza Karim, Diah Ajeng, Albi Ariza, Farid Darwis, Stella Margriet, Agatha Novi, Rully Hariwinata, Bebby Atria, Dei Limanow, Raymond Tarigan, Teddy Tedjo, Djoko Suryo, dan semuanya yang tidak bisa aku sebutkan, atau aku tidak tahu, dan juga mereka para anonim yang memberikan komentar di tulisanku, dengan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, dan semoga dorongan-dorongan kalian untuk menerbitkan novel dapat aku wujudkan nanti.

Dan aku menuliskan ini bukan menjadi ajang untuk menyombongkan diri. Namun untuk berbagi satu hal yaitu...

"Just enjoy every little thing in your life, karena terkadang hasilnya melebihi apa yang diprediksikan oleh kita, lebih dari ekspektasi kita sebelumnya. Dan itu adalah nilai tersendiri untuk hidup."

Jadi, ada yang ingin ikut mencoba menulis?

Aku Ingin...

Air mata ini belum mengering, Sayangku...
Selama diri ini belum menjemputmu...
Menjemput kerinduanku selama ini...

Seluruh bayangmu bukan lagi bayangan...
Bukan lagi mimpi...
Tapi itu hanya inginku sekarang...

Iringan lagu ini membawaku kembali ke tempatmu...
Kembali duduk bersamamu di sana...
Lagi, hanya inginku sekarang...

Inginku kembali ke detik itu...
Kala dua jiwa yang terbalut raga ini kembali dipertemukan...
Setelah hampir dua kali seribu hari kita terpisah...

Kala kau berhasil membuatku berhenti terbang...
Melepaskan sayap-sayap kecilku...
Untuk berjalan bersamamu...

Sejak pertama kali kita duduk di tempat itu...
Sejak dua pasang mata ini bertautan...
Sejak peluk yang tertahan, karena logika...

Saat ini, aku hanya ingin kau ada...
Hapus tangis ini...
Jadikan binar mataku kembali ada...

Saat ini, aku hanya ingin hamburkan peluk...
Lepas rindu ini...
Jadikan tawa kembali hiasi wajahku...

Saat ini, aku hanya inginkan seperti hari lalu...
Duduk diam di tempat itu, berdua...
Menikmati segelas mimpi yang tersuguh di hadapan kita...

Minggu, Maret 22, 2009

Akupuntur Untuk Hewan Peliharaan...

Kecintaan saya terhadap binatang, apalagi anjing, memang sudah ada sejak saya kecil. Berdasarkan pengalaman, saya dapat dengan mudah memegang, mengelus-elus anjing liar atau anjing yang sedang dibawa oleh pemiliknya berjalan-jalan atau sedang menunggu antrian di dokter hewan, bahkan anjing yang menurut pemiliknya termasuk anjing galak. Oleh karena kecintaan saya terhadap binatang, terutama anjing, maka sebagian tulisan di blog saya, saya dedikasikan untuk mereka sesama pencinta binatang, pencinta anjing, dan untuk binatang itu sendiri.

Mungkin kamu masih ingat tulisan saya tahun lalu, saat salah satu anjing saya, O'Neil yang divonis oleh dokter mengalami pengapuran tulang punggung. Saat itu, ia harus meminum obat-obat yang diresepkan oleh Dokter Nyoman yaitu salah satu dokter hewan di klinik Dokter Hewan Bersama Dr. Cucu Kartini. Memang keadaannya saat itu menjadi kembali normal setelah meminum obat. Namun saya pikir meminum obat-obatan secara kontinyu bukan hal yang bagus. Akhirnya saya coba hentikan obat-obatan itu, tetapi akibatnya beberapa kali sempat kambuh, dan membuat saya harus membawa O'Neil kembali ke dokter.

Beruntunglah setelah saya konsultasi dengan Drh. Cucu, yang waktu itu kebetulan sedang praktik (karena setiap hari dokter yang praktik di klinik itu, berbeda-beda), ia menganjurkan agar O'Neil menjalani akupuntur. "Haaaayyooo...saya yakin pasti ada yang kaget yaaa...Anjing kok diakupuntur?"

Kebetulan klinik tersebut, memang mempunyai dokter hewan yang khusus menangani akupuntur. Sebelum O'Neil menjalani akupuntur, ia harus di X-Ray, seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya. Dengan X-Ray ini, posisi tulang punggung yang mengalami pengapuran dapat diketahui dengan jelas, sehingga proses akupuntur dapat lebih spesifik.

Akupuntur yang dijalani oleh O'Neil dilakukan secara bertahap. Pada awal pengobatan, sebaiknya akupuntur dilakukan dua minggu sekali, namun hal ini juga tergantung dari tingkat pengapuran yang dialami oleh si anjing/hewan lainnya. Jadi sebaiknya dikonsultasikan terlebih dahulu oleh dokter hewan. Setelah anjing/hewan tampak semakin sehat, baru akupuntur dikurangi menjadi sebulan sekali, dan seterusnya. Pada masa-masa awal pengobatan, obat penguat tulang juga masih harus diminumkan, namun tentu seiring berjalannya waktu, obat-obatan ini harus dikurangi dosisnya, bahkan akhirnya tidak perlu diminumkan lagi, kecuali vitamin/supplemen penguat tulang. Untuk obat dan supplemen tulang yang harusnya diminumkan, harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan dokter hewan. Selain obat/vitamin yang mendukung keberhasilan akupuntur, sebaiknya anjing/hewan dijemur atau dibawa berjalan-jalan di bawah sinar matahari pagi.

Puji Tuhan, O'neil sudah sehat sejak proses akupuntur pertama, dan ia hanya menjalankan 2 kali proses akupuntur. Namun ada baiknya akupuntur juga diulangi dalam selang waktu tertentu, apalagi untuk anjing/hewan yang sudah tua.

Oh ya, dokter hewan yang khusus ahli akupuntur ini namanya Dokter Tatang. Dokter Tatang ini bersedia dipanggil ke rumah, jika kamu sulit membawa hewan peliharaanmu ke klinik. Jadi kalau ada yang berminat hewan peliharaannya dirawat akupuntur, bisa mengirim surat elektronik ke saya, menanyakan nomor telepon beliau, atau dapat juga menanyakan nomor telepon Dokter Tatang ke klinik dokter hewan yang biasa saya kunjungi (Praktik Dokter Hewan Bersama drh. Cucu Kartini), yang alamat dan juga nomor teleponnya ada di tulisan saya sebelumnya.

Semoga informasi ini cukup membantu ya. Salam untuk binatang peliharaan kalian.

Sabtu, Maret 21, 2009

Dua Bintang...



Deras hujan yang mengguyur..
Tak membuat rindu ini terhanyut..

Betapa aku inginkan hari lalu..
Saat hanya ada sunyi sekitar..

Hanya ada peluk untukmu..
Ditemani dawai gitar yang terpetik oleh jarimu..

O, Betapa merindunya aku akan tatapan mata teduhmu..
Yang menjadikanku bintang..

Saat kau temukan tempat istirahat bagi kaki lelahmu..
Saatku hentikan mimpi panjang ini..

Saat air putih itu tersuguh..
Saat kita berdua memutuskan untuk berhenti dan meminumnya..

Walau sakit akan kembali menjadi teman setia..
Yang gantikan sepi hati sebelum jumpa ini..

Betapa ku berharap..
Aku bersayap..

Bagai malaikat yang mengetukmu..
Saat tak kau jumpai aku di sana..

Yang bisa membawaku kepadamu..
Menjemput semua kerinduanku..

Hingga akhirnya..
Kita berdua adalah bintang..

Untukmu..
Untukku juga..

Jumat, Maret 20, 2009

All I Ask Of You...




No more talk of darkness,
Forget these wide-eyed fears.
I'm here, nothing can harm you - my words will warm and calm you.

Let me be your freedom,
let daylight dry your tears.
I'm here with you, beside you,
to guard you and to guide you...

Say you love me every waking moment,
turn my head with talk of summertime...
Say you need me with you now and always...
Promise me that all you say is true -
that's all I ask of you...

Let me be your shelter,
let me be your light.
You're safe:
No-one will find you -
your fears are far behind you...

All I want is freedom,
a world with no more night...
and you, always beside me,
to hold me and to hide me...

Then say you'll share with me one love, one lifetime...
let me lead you from your solitude....
Say you need me with you here, beside you...
anywhere you go, let me go too -
Christine, that's all I ask of you...

Say you'll share with me one love, one lifetime...
say the word and I will follow you...

Share each day with me,
each night,
each morning...

Say you love me...

You know I do...

Love me - that's all I ask of you...

Anywhere you go let me go too...
Love me - that's all I ask of you...

"Cuma itu kok yang aku minta."

Kamis, Maret 19, 2009

Merindu...



You don't bring me flowers
You don't sing me love songs
You hardly talk to me anymore
When you come thru the door
At the end of the day

I remember when
You couldn't wait to love me
Used to hate to leave me
Now after lovin' me late at night
When it's good for you
And you're feelin' alright
Well you just roll over
And turn out the light
And you don't bring me flowers anymore

It used to be so natural
To talk about forever
But "used to be's" don't count anymore
They just lay on the floor
'til we sweep them away

And baby, I remember
All the things you taught me
I learned how to laugh
And I learned how to cry
Well I learned how to love
Even learned how to lie
You'd think I could learn
How to tell you goodbye
'cause you don't bring me flowers anymore



I really miss my two beloved ones, who did the duet, sang this song...

Miss you two, so badly...


-XOXO-

Rabu, Maret 18, 2009

Konseling dan Observasi di Malam Minggu...

Sabtu lalu, 14 Maret 2009, sahabatku tercinta, Karin, masih terbaring di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Kebetulan karena tempat ia dirawat tak jauh dari rumahku, aku sempatkan diri sesering mungkin menengoknya, termasuk hari Sabtu lalu.

Rencananya Sabtu pagi, aku akan bertemu dengan Shanty di rumah sakit, tetapi ternyata kami berdua, harus membereskan "kapal pecah" kami masing-masing. Kamarku belum sempat aku bereskan sejak aku pulang dari Singapura, dan Shanty, baru saja memecat pembantu rumah tangganya, sehingga apartemennya juga tidak ada yang membersihkan. Rencana pertemuan itu pun gagal, karena hingga pukul 12.00, urusan beres-beres kamarku belum juga selesai. Akhirnya Shanty memutuskan pergi duluan menengok Karin, dan aku memutuskan untuk pergi ke rumah sakit sore hari. Siang itu aku mengirimkan pesan singkat ke Yudha...

"Dha, sore kau ke rumah sakit khan? Sekalian ke gereja Blok B, Barito situ nyok."

"Okeh."

Rencana itu pun berubah, Yudha ternyata masih ada urusan yang menyebabkan pukul 17.30, ia belum bisa sampai di gereja. Akhirnya aku ke gereja sendirian.

Misa sore itu berakhir sekitar pukul 18.40, dan aku pun langsung menuju ke rumah sakit. Seingatku, saat itu cuma ada Bu Siti yang menemani Karin. Mungkin Yudha sedang ke bawah, dan Tante Titung sedang istirahat di rumah, setelah semalaman menjaga Karin di rumah sakit. Lalu aku langsung menyapa dan mencoba mengobrol dengan Karin. Namun obrolan kami tak lama, karena Karin sudah mengantuk dan tertidur.

Tak lama kemudian, Yudha datang, dengan wajah lelahnya.

"Pa, kabar lu? Kayaknya elo perlu juga ditanyain kabar lu sendiri."

Padahal baru hari Jumatnya, terakhir kali aku bertemu dengan Yudha. Namun hari Jumat itu, aku lebih banyak mengobrol dengan mamanya Karin, Tante Titung, yang baru tiba dari Medan.

"Ya begitu lah. Capekh, kesel, sama yang ngga seharusnya terjadi."

Lalu kami berdua sedikit mengobrol, seputar perkembangan kesehatan Karin dan juga hal lain. Ya, sebagai calon Psikolog, aku mencoba untuk sedikit mempraktikkan apa yang aku pelajari selama kuliah. Dengan harapan, aku dapat memberikan dukungan sosial untuk Karin juga keluarganya, termasuk Yudha. Obrolan itu, kami tutup dengan doa.

Selesai kami berdoa, Karin sedikit terbangun. Kami melihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 20.15, dan kami belum makan malam. Akhirnya kami pamit Karin untuk mencari makan malam.

"Rin, kita nyari makan dulu ya. Ntar balik lagi."

Aku kira, makan malam hanya akan di daerah seputar rumah sakit, ternyata saat itu Yudha perlu ke apotek untuk mencari masker tertentu, yang tidak dijual di rumah sakit. Maklumlah, Bapak ini lagi flu saat itu. Akhirnya kami memutuskan juga untuk sekalian mencari makan malam, di luar area rumah sakit. Lagi pula bosan juga sepertinya makan makanan yang itu-itu saja.

Setelah urusan apotek beres, giliran memutuskan tempat makan. Tadinya, kami akan makan di Bubur Barito, tetapi mengingat tempatnya tepat di pinggir jalan, hanya tertutup tenda, dan sepertinya urusan higienis makanan itu perlu dipertanyakan. Apalagi mengingat kami harus kembali ke rumah sakit, dan kami pun perlu menjaga kesehatan kami, agar dapat menjaga Karin dengan baik, maka kami akhirnya memutuskan untuk makan malam di Izzi Pizza, yang letaknya persis di samping Gereja Santo Yohanes Penginjil, Blok B.

Harapan akan menemukan Izzi Pizza yang sepi, karena saat itu sudah pukul 21.00, yang berarti jam makan malam sudah lewat, pupus sudah, sesaat aku membuka pintu masuk ke restoran itu.

"Hayaaaahh, ada party ABG."

Tak ada pelayan yang menyambut kedatangan kami. Sepertinya mereka sibuk mengurusi anak-anak kecil itu berpesta.

Akhirnya ada pelayan yang melihat kami berdua, saat kami sedang sedikit bingung memilih tempat duduk.

"Sial niy ABG, berisik banget."

Setelah selesai memesan makanan, aku dan Yudha sibuk memerhatikan tingkah anak-anak kecil itu, dan mulailah kami mengeluarkan komentar-komentar seputar apa yang kami lihat.

"Hmmm, masa-masa indah idup."

"Uember."

"Paling mereka sekitar 15-16 tahunan kali ya."

"Gak mikir idup."

"Cuma sibuk mikirin gebetan, pacar, putus. Mau jalan kemana. Ulangan tinggal nyontek. PR tinggal ngerjain di sekolah."

"Gak ada sakit."

"Duit tinggal minta. Pergi tinggal minta anter jemput."

"Gak mikir idup besok harus gimana."

"Buset tuch rok pendek amat, nungging dikit pantat nongol tuch. Kagak dingin apa ya. Kalo gue pake rok sependek itu..."

"Dah di habeg ama bapak lu ye."

"Yoi, dah kagak boleh keluar rumah gue. Kecuali perginya ama mereka. Baru tuch boleh pake rok mini segitu. Itu pun kena interogasi dulu."

"Belum ngerasain susahnya idup ya mereka."

"Yupe. By the way kok cewek semua ya?"

"Anak Tarki kali tuh."

"Or Sanur."

"Tapi kalo Tarki, khan baru SMAnya yang cewek semua. Ini kok masih kecil-kecil amat. Trus dandannya buset dah, tuir abis. Kesian amat jadi pada keliatan tua."

Semua itu disempurnakan dengan musik yang sangat keras dari meja disc jockey.

"Duhhh...berisik amat."

"Nih, musiknya jadi bikin orang ngomongnya harus treak-treak ya."

"Yoi."

Setelah makanan yang kami pesan tiba, kami sedikit mengalihkan perhatian dari anak-anak kecil itu. Dan memang, kami berdua harus berbicara dengan setengah berteriak.

Namun aku tak bisa memalingkan pandanganku dari anak-anak itu terlalu lama. Dan kembali mengomentari mereka.

"Pada ngga kepikiran pulang apa ya mereka. Jam berapa sih nih?"

"Masih jam segini 21.30, 'Cha."

"Gak, gue berharap aja, mereka cepet pulang, biar ga terlalu berisik."

Namun apa yang aku harapkan itu tidak kunjung tiba, bahkan hingga kami selesai makan.

Dan setelah kami berhasil melepaskan diri dari hingar bingar itu, kami masih disuguhi satu hal lagi, yaitu antrian mobil para orang tua atau supir yang menjemput bocah-bocah kecil itu, tepat di depan restoran. Ada yang menunggu sambil menjalankan mobilnya secara perlahan karena malas parkir, ada pula yang berhenti sambil melepaskan pandangan sejauh mungkin, yang berarti mereka belum berhasil melihat anaknya, dan bahkan ada yang tak segan-segan membunyikan klakson mobil mereka.

"Hmmm, 4.5 tahun kuliah, ada hasilnya juga ya. Hahahahhahah..thanks Psychology!!"

Jumat, Maret 13, 2009

Right Here Waiting...




Right here waiting for my Bear...

Miss you badly...

-XOXO-

Kamis, Maret 12, 2009

Kesehatan Anjing dari Usia dan Jenis Kelamin Anjing...

PERUBAHAN TINGKAH LAKU YANG DISEBABKAN USIA...

Sekarang ini, anjing bisa hidup lebih lama, dibandingkan dulu. Oleh sebab itu, pengobatan atau penanganan untuk hewan usia lanjut menjadi studi tersendiri bagi para dokter hewan.

Bertambahnya usia anjing, akan menurunkan fungsi-fungsi tubuh anjing itu sendiri. Anjing akan bergerak semakin lambat, indera pengecap akan mengalami perubahan, lebih senang menyendiri, atau bahkan semakin manja.

Bagaimanapun juga perubahan pada anjing yang sudah berumur tidak selalu karena usia yang semakin tua. Kehilangan napsu makan atau perubahan aktivitas bisa juga karena penyakit. Perubahan aktivitas karena penyakit atau karena pengaruh usia, sangat sulit dibedakan pada anjing yang sudah berumur lanjut. Jika anjing milikmu sudah berusia lanjut, dan mengalami perubahan-perubahan tingkah laku tertentu, segera lakukan observasi, dan jika perlu konsultasikan dengan dokter hewan. Anjing usia lanjut sebaiknya dibawa ke dokter hewan setidaknya 2 kali setahun untuk pemeriksaan menyeluruh.

PENGARUH JENIS KELAMIN...

Sangat penting untuk dapat membedakan gejala perubahan tertentu yang disebabkan oleh suatu penyakit atau memang hanya karena gejala hormonal yang dialami oleh anjing kita.

Anjing jantan bisa saja mengalami perubahan drastis jika ia bertemu dengan anjing betina yang sedang mengalami masa subur (menstruasi). Anjing jantan bisa langsung meninggalkan makanannya, atau buang air kecil di dalam rumah, walaupun ia sudah terdidik dengan baik untuk melakukan itu di luar rumah, bahkan anjing jantan bisa mengalami gastro intestinal seperti diare, saat itu.

Anjing betina yang sedang mengalami masa subur, juga dapat mengalami perubahan tingkah laku, yang mirip dengan gejala dari munculnya suatu penyakit. Seperti merintih atau mengerang kesakitan, minum lebih banyak, susah makan, dan perubahan dari tingkah laku toilet. Setelah masa subur selesai, biasanya anjing betina mengalami depresi, dan lebih manja. Indera pengecap biasanya juga mengalami perubahan. Hal ini normal, karena berkenaan dengan perubahan hormon yang sedang dialami. Selain itu anjing betina ini juga lebih rentan terhadap infeksi rahim. Jika anjing betinamu tidak dikawinkan, lakukan observasi secara menyeluruh tentang tingkah lakunya, saat ia sedang masa subur maupun saat tidak sedang mengalami masa subur, sehingga diketahui perbedaan antara apakah perubahannya karena suatu penyakit atau hanya karena perubahan hormonal.

DIKAWINKAN ATAU TIDAK...

Menurut penelitian, anjing betina yang dikawinkan, rata-rata hidupnya 1 tahun lebih lama dibandingkan anjing betina yang tidak dikawinkan. Anjing betina yang dikawinkan, akan mengurangi resiko terserang tumor/kanker payudara, ataupun infeksi, tumor atau kanker rahim, dan masalah organ reproduksi lainnya.

Bagi anjing jantan, dikawinkan atau tidaknya, tidak akan memperpanjang usia hidup anjing itu, tapi dapat mengurangi resiko terserang penyakit kanker prostat, dan dapat mengurangi tingkat agresivitas anjing itu sendiri.

Itulah sedikit informasi tentang kesehatan anjing berdasarkan usia, dan jenis kelamin. Nantikan informasi hewan lainnya, terutama tentang anjing di blog saya ya...

Diambil, disadur, dan diterjemahkan dari buku: What's Up With My Dog (Dr. Bruce Fogle)...

Sabtu, Maret 07, 2009

Day 3 With Karin In Singapore...

"Haaaaayyyaaahh...shit udah setengah delapan."

Kebiasaanku di Jakarta ternyata terbawa, yaitu mendengar alarm ponsel tepat pada jam yang aku rencanakan untuk bangun tidur, beranjak sebentar mencari benda dengan bunyi menjengkelkan itu, dan menekan pilihan "dismiss" lalu kembali tidur.

"Waduh-waduh, kesiangan gue, padahal gue janji ama Bu Siti mau gantiin dia jam tujuh."

Tanpa pikir panjang, aku pun loncat dari tempat tidur, menuju dapur dan menyiapkan makan pagi untukku dan Bu Siti.

Setelah selesai masak, aku langsung menyantap sarapanku, karena aku tak terbiasa lagi meninggalkan rumah tanpa sarapan. Tepat setelah suapan terakhir, aku langsung mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi dengan segera.

"Duh, brengsek, belum packing lagi gue. Kok koper jadi penuh gini ya? Kagak belanja banyak juga gue. Baju kotor nih pasti & anduk yang sedikit basah."

Setelah koperku sendiri beres, aku ke tempat Mbak Shanti, pengurus rumah kost, untuk melakukan pembayaran. Setelah beres, aku ke rumah sakit dengan sedikit berlari. Sebelum ke kamar Karin, aku mampir ke kafetaria di lantai bawah, membelikan nasi untuk Bu Siti, karena tadi aku hanya menggado lauk yang aku masak sendiri.

Sesampainya aku di kamar Karin, ternyata Nyonya Besar sedang disuapi oleh Bu Siti, dan sudah mandi pagi.

"Halo Sayang, hehehhee maap ya gue ketiduran, terus tadi packingnya bolak-balik buka koper, ada aja yang masih ketinggalan di luar."

Karin hanya melirik-lirik ke arahku, sambil mengunyah makanan yang masih ada di dalam mulutnya.

Aku baru saja meletakkan ranselku di atas kursi, hingga salah satu perawat rumah sakit datang...

"Your meal order for Saturday?"

"We are going to check out this afternoon."

"Oh, okay."

Tak berapa lama Karin malah yang bertanya padaku...

"Jadi kita check out hari ini?"

"Yupe. Seneng gak?"

"Terus elo pindah ke mana?"

"Gue pindah ke mana? Ya ikut pulanglah ama elo. Atau gue tinggal aja? Elo pulang ama Bu Siti aja apa? Tapi gue nanti minta duit belanja ama Yudha, gimana?"

"Enak aja."

"Ah, pelit loe."

Lalu Bu Siti menimpali...

"Apa abis ini kita shopping aja ya Bu? Ibu sama Mbak Ocha pergi shopping di depan."

"Mau Rin, kita belanja-belanja aja. Masakh ke Singapore kita kagak belanja-belanja."

"Gak, ah, gue mau pulang aja."

"Ntar ya, kau masih ada kemo 1 lagi."

Kemudian, aku minta Bu Siti untuk kembali ke kost, untuk makan pagi dan packing. Dan seperti biasa, aku menemani Karin, dan aku ditemani laptopku. Aku lihat si Karin sudah tidur saat itu...

Aku jadi teringat, kemarin, Kamis, 5 Maret 2009, saat aku sedang membuka-buka laptopku tiba-tiba Karin bertanya padaku...

"Lagi main apa siy loe?"

"Buka Facebook. Mau buka punya kau? Aku telepon Yudha dulu ya, tanya alamat emailmu and passwordnya."
.
Namun sayangnya, saat itu teleponku ke Yudha, tak diangkat.

"Ya, Rin, Yudha mungkin lagi ngga bisa angkat telepon. Nanti ya. Kita nyanyi-nyanyi aja apa?"

Tak tahu mengapa, dari sekian banyak lagu yang ada di laptopku, aku memilih untuk memutar That's What Friends Are For...

Aku tak sanggup bernyanyi, akhirnya...

"Tau ngga Rin, ini lagu apa? Siapa yang nyanyi?"

Tak seperti hari pertama, saatku menanyakan siapa yang menyanyikan lagu Are You Strong Enough To Be My Man, Karin langsung memberi jawaban. Mungkin Karin pun tak kuat untuk menjawab.

Sumpah aku harap lagu itu segera berakhir, tetapi rasanya lama sekali. Beberapa kali aku coba untuk ikut menyanyikan. Namun beberapa kali pula aku tersendat. Dan aku tak mau Karin tahu hal itu. Untungnya sebelum lagu itu berakhir aku sudah bisa mengontrol emosi lagi, bisa menyanyikan untuknya, dan tetap dengan senyum lebar untuk Karin.

Kembali ke hari ke tigaku bersama Karin...

Tak tahu berapa lama aku telah sibuk mengutak-atik laptopku, hingga saatku melihat ke arah Karin, ternyata Karin sudah kembali bangun.

"Cut, ngapain bengong. Cengok gituh?"

Dia tetap diam...

"Woi, nyaut napa Neng, ngapain bengong?"

"Ya kalo bangun pagi itu pasti cengok dulu."

"Ah, elu ngga usah bangun pagi aja cengok mulukh."

Hmmm...mungkin karena efek obat kemoterapi, ia jadi sedikit lebih banyak menerawang. Dan tak berapa lama kemudian, ia kembali tertidur.

Tanpa kusadari, Bu Siti sudah berada di depanku lagi, saat ku masih sibuk dengan berinternet ria.

"Loh, kok belum di kemo? Ini dah jam 12."

"Belum, masih belum jam 12, bentar lagi aku tanya lah."

Dan sekitar 15 menit kemudian aku berjalan ke nurse station, yang ada di bangsal kamar Karin.

"It's already 12 o'clock. When the last chemo will begin?"

"1.30 my dear"

"1.30? No, we have to check out from here atleast 2 pm. Our flight is at 5pm."

"It is written here at 1.30. Does the doctor know that you are going to leave?"

"Ya, i already consulted to the doctor yesterday and he told me that last chemo will be started at 12 or atleast 12.30."

"You should call the clinic."

"No, why don't you do that? Call the doctor."

Dan sepertinya perawat yang aku suruh menelepon ke klinik dokter yang merawat Karin, dimarahi oleh sang dokter.

"Okay-okay, I'll run it now. I'm coming."

"Good, thanks."

Aku pun mulai sedikit cemas dan panik. Akhirnya aku memutuskan untuk ke klinik dokter tersebut, bukan untuk menanyakan masalah kemo, tetapi menanyakan injeksi yang harus dibawa ke Jakarta, untuk diberikan pada Karin. Dan lebih panik lagi, saat ke klinik, ternyata harga injeksi-injeksi tersebut lebih dari S$ 1000, dan aku tahu, di rekeningku hanya ada sekitar S$ 500, berarti aku harus menunggu sisa deposit dari rumah sakit. Tambah panik, karena Yudha tak bisa ditelepon. Tambah semakin panik dan bingung, saat aku kembali ke kamar, dan menanyakan pada perawat, apakah urusan pembayaran sudah bisa dilakukan sekarang. Since mereka sedang melakukan kemo terakhir, dan aku asumsikan mereka sudah bisa tahu fasilitas dan perlengkapan rumah sakit apa saja yang akan digunakan

Aku lihat jam di dinding di depan nurse station, sudah menunjukkan pukul 12.30, dan kemoterapi baru akan dimulai.

Cairan intra vena kemoterapi itu, sudah berjalan sempurna pukul 12.40.

"Damn, satu jam dari sekarang means 13.40, belum lagi bayar-bayaran, ambil suntikan, belom nunggu duit deposit keluar buat bayar klinik. Belum nyari taksi, balik ke kost ambil koper."

Di tengah kepanikanku, dan mondar-mandirku di koridor di depan kamar Karin, aku lihat Dokter Pritam datang. Ia langsung mendatangiku, aku lupa ia berbicara apa, hanya bagian ini yang aku ingat...

"Last night, a nurse called me, and said that Karin got fever. Don't forget to check her temperature, and if it happens often, take out that thing in her shoulder."

(Thing di sini, hehehhehe..aku tak tahu apa namanya dalam bahasa kedokteran, namun benda ini adalah penghubung antara vena dan selang cairan intra vena. Benda ini dimasukkan ke dalam bahu kiri Karin, dan di bagian luar, dilengkapi dengan alat kecil seperti cabang-cabang untuk saluran selang infus, beserta tutupnya. Agar mudahnya, benda yang berada di luar itu, seperti keran pengatur aliran cairan intra vena. Tujuan dipasangnya benda ini adalah untuk memudahkan proses kemoterapi, sehingga setiap proses kemoterapi, tangan Karin akan terbebas dari tusukan-tusukan jarum infus, yang tentu lebih menyakitkan, karena berulang-ulang.)

Lalu setelah itu dokter juga menanyakan hal ini...

"Did my girl at the clinic already give you lab form for next week?"

"Not yet."

"And the injection?"

"I already came to your clinic, but I guess I have to withdraw money from ATM first."

"No, no need to pay now, if you have difficulties."

"Can be done next week?"

"Ya. Off course."

"Okay, appreciate it."

"Don't worry."

Lalu ia menelepon ke kliniknya untuk meminta perawatnya menyiapkan surat pengantar ke laboratorium, untuk minggu depan.

Pikirku saat itu "Pheewwhh, berkurang satu kepanikan."

Saat itu aku lihat ke arah jam dinding sudah menunjukkan pukul 13.40. Lalu dokter Pritam, mendatangi Karin, "menutup" semua proses kemoterapi yang ia jalani minggu ini, kembali memeriksa Karin.

Aku semakin panik, karena Karin baru selesai dibersihkan, selesai digantikan pakaian, pukul 14.15. Dan saat itu pula aku mendatangi nurse station, dan kembali mereka belum selesai mengurus tagihan Karin. Salah satu perawat di sana mengatakan...

"You go to cashier lah. Wait there."

Aku pun langsung ke kamar Karin...

"Bu Siti, ketemu di lobi ya, siapin Karin."

Aku mengangkat ranselku, keluar kamar dan sedikit berlari ke bawah untuk mengantri di kasir. Tiba giliranku untuk dipanggil.

"607."

"Room number 5539, Karin Taramiranti Nasution."

"Tunggu sebentar."

Pikirku saat itu "Wah si India ini bisa Melayu, lumayan."

"We still process it. You come back here in 15 or 20 minutes."

"We have to catch the plane, should be at Changi at 3.30."

"Okay, I'll do my best. Please be seated, and wait, we'll call you."

"I'll go to the clinic first."

Aku pun berlari ke lantai 12, ke tempat klinik Dokter Pritam. Ternyata injeksi dan surat pengantar laboratorium sudah mereka siapkan. Dan aku mengatakan pada perawat di sana...

"Doctor Pritam agreed that the payment will be done next week."

"No, no, no problem. By the way, are u a nurse?"

"Me? No. Karin has her own nurse. She can do the injection."

"Ok, and you are?"

"I'm her friend, sister also."

Cut, GR dikit ngga papa khan? Huahahahah...

Kembali aku ke kasir setelah urusan di klinik beres.

Sampai sana aku melihat Bu Siti dan Karin dengan "kendaraan" canggihnya itu yaitu kursi roda, sudah berada di lobi rumah sakit, yang letaknya tak jauh dari kasir.

"Mbak Ocha, kemana siy, jadinya khan yang tanda tangan di kamar khan aku."

"Aku urus pembayaran lah Bu, aku khan dah bilang tadi. Tadi susternya juga yang nyuruh ke bawah dulu."

Aku lihat dari luar ruang kasir, si India yang tadi membantu menyiapkan tagihan kamar Karin belum terlihat. Lalu aku mencoba bertanya dengan resepsionis di depannya.

"How long does it take from here to Changi?"

"What time is your flight?"

"5 pm. Means i should be there at 3.30 atleast, and now already 2.45."

"You should be hurry. You can get stuck in jammed around 3."

"I know."

Akhirnya si India itu sudah muncul, dan masih belum membawa selembar kertas pun, sampai aku sedikit menyela orang lain. Ia melihatku, dan kembali masuk ke ruangan di belakang tembok ruang kasir itu.

"The full bill, hasn't been finished."

"What does it mean?"

"You can only know the total, but not yet the details."

Dan ia memberikan kwitansi yang hanya selembar, tanpa perincian obat-obatan dan fasilitas apa saja yang digunakan untuk Karin. Begitu aku lihat kwitansi itu, ternyata deposit yang diberikan Yudha, lebih dari total biaya rumah sakit.

"And the refund?"

"We will send out a check undername the patient, to her address."

"So we will receive check?"

"Ya, don't worry, there's no expired date for the check."

"Okay."

Namun aku mencium ada ketidakberesan tentang refund ini. Dan aku mencoba kembali menelepon Yudha. Sedikit kesal dengan Sing Tel saat itu, yang terus-menerus gagal melakukan panggilan.

Akhirnya aku memutuskan segera mencari taksi, ke kost mengambil koper, dan langsung ke Bandara.

Di tengah perjalanan menuju Bandara, Yudha menelepon.

"Gimana aman?"

"Aman, dah jalan ke Changi. Tapi 'Dha, biasanya refundnya pake check?"

"Hah, ngga, mereka harus ngasih duit."

"Brengsek juga tuch kasir. Dia bilang refundnya pake check bakal kirim ke alamat loe. Tadi gue telepon elu kagak nyambung-nyambung. Sing Tel lagi bego tadi."

"Ya udah gue telp Mount Elizabeth lah."

"Sorry ya Dha, bisa diurus khan, gue tadi hampir telat, ini aja macet."

"Ngga papa."

Sedikit cemas aku akan hal ini, karena jumlah refund cukup besar. Dan hal ini mungkin tertangkap oleh Karin.

"Elo tadi beli apa sih? Kok heboh."

"Gak, kemaren khan pas elo masuk, gue narokh deposit minimum ke rumah sakit, tapi biaya berobat loe jauh di bawah itu. Nah mereka bilang refund pake check. Gue tau ada yang ngga beres tuch. Tapi tadi gue telepon Yudha, lagi ngga bisa nyambung, akhirnya aku putusin cabut dari rumah sakit, ntar kalo ngga kita ngga bisa pulang, ketinggalan pesawat.

Akhirnya kami sampai di Bandar Udara Internasional Changi pukul 15.35. Lucunya sebelum turun, Karin bertanya padaku...

"Ada duit buat bayar taksi?"

"Ada, Sayang."

Urusan lapor masuk pesawat sedikit lebih lama, karena aku membawa Karin yang sedang sakit. Dan semua urusan lapor masuk pesawat selesai pukul 15.51, tepat 9 menit sebelum masuk ke pesawat, yaitu pukul 16.00. Belum lagi pintu masuk ke pesawat kami adalah D38, terletak di ujung terminal 1. Tambah sempurna, saat aku lihat di pintu masuk tadi, ada petunjuk arah pintu masuk pesawat D30-D49 ke arah kanan, estimasi dari petunjuk arah tadi ke pintu paling jauh adalah 8 menit. Ditambah, karena Karin di kursi roda, maka kami akan didahulukan masuk ke dalam pesawat. Perfecto!!!

Akhirnya aku bisa tenang saat kami bertiga sudah duduk manis di dalam pesawat.

"Kita pulang ya Rin? By the way pulang kemana sih?"

"Ke Jakarta."

"Tau aja loh."

Sepanjang perjalanan Karin lebih sering tidur. Begitu sampai di Jakarta, aku sudah lega, senang, terharu, ingin meledakkan tangisku juga, karena terus terang aku juga sedih melihat Karin dengan kondisi seperti itu sekarang. Namun sangat-sangat tidak mungkin aku menampilkan kesedihanku apalagi menangis di depannya. Ada bagusnya juga, aku sudah terlatih untuk urusan-urusan seperti itu. Play tough girl hehehehehe...

Begitu di depan pintu keluar, aku sudah melihat Yudha dan Cyrill.

"Dha, gue langsung pulang ya. Naik taksi aja. Lebih deket dari sini ke rumah gue."

"Ke rumah gue dulu lah."

"Ntar gue pulang gimana?"

"Di anter Odang."

"Ya udah."

Akhirnya aku ikut mengantarkan Karin sampai ke Rawamangun.

Sesampainya di rumah, Karin langsung di dudukkan di kursi ruang tamu oleh Bu Siti. Mbak Nur, pembantunya Karin yang juga aku kenal, sudah menyiapkan teh hangat untuk aku. Setelah selesai menyeruput teh hangat itu, aku melihat Bu Siti masih sibuk menyiapkan makan malam untuk Karin, dan saat itu aku lihat Karin masih memakai sepatunya. Aku beranjak ke arahnya, dan duduk di lantai, sambil membukakan sneakers yang ia pakai.

Setelah aku selesai melepaskan sepatunya, Karin membuatku terharu...

"Thank you ya, Cha."

"Welcome. Capekh ngga?"

"Ya, capekh lah gila."

"Elo khan manusia perkasa. Capekh juga loe."

"Capekh lah."

"Oooooo."

Yudha dan Mamanya menawariku makan malam, dan Bu Siti pun sudah siap untuk menyuapi Karin.

Aku, duduk di dekat Yudha dan Cyrill, saat makan. Setelah aku selesai makan, aku menghampiri Karin, dan mencium pipinya.

"Ih, kok bau apek. Yang apek elo apa gue ya?"

"Elo lah."

"Bukan elo Rin?"

"Bukan."

Lalu aku berjalan ke arah dapur untuk mengambil minum. Dan kembali ke tempat Karin. Kembali mengobrol dengannya. Kali ini aku genggam tangannya, sambil aku cium. Dan aku tambah terharu saat Karin membalas mencium tanganku. Sumpah, kalo aku bisa teriak menangis saat itu juga, akan aku lakukan, benar-benar kali ini hampir tak tertahankan. Namun tetap aku jaga emosi ini. Damn, it's hard..very hard...

Aku terus menggenggam tangannya, dan meneruskan obrolanku...

"Rin, 3 hari ini gue seneng banget. Kayak waktu gue nginep di Cibubur itu. Inget khan loe? Kita karaokean, main kartu di Rumah Mas Wawan sampe pagi. Dan setelah itu elo bilang Cibubur is a fantasy land for me, and Your PINTU is always open for me. Terus liat tuch anak loe, Cyrill. Inget ngga waktu gue make tempat tidurnya terus dia ngambeg? Elu usaha banget biar dia ga rewel lagi, dengan bacain dia buku cerita."

"Cerita apa."

"Gue lupa. Elo mau donks bisa main sama dia lagi, langkah elu untuk ke sana tinggal deket lagi kok. And you know what gue lakuin ini semua karena gue cinta ama elo, love you, gue sayang elo. 3 hari gue ngga capekh sama sekali. So next time gue dateng ke sini lagi, senyumnya elo jangan ilang ya, i only need that. Terus next month Rully nikah, kau dateng khan?"

"Jadi dia nikah."

"Jadi lah."

"Sama siapa."

"Jangan sok ngga tau.", yang kemudian aku susul dengan menyebutkan nama calon istri Rully.

"Tanggal berapa?"

"Akhir bulan."

"Iya, waktu itu pembokat gue di rumah juga bilang, ada temen gue mau nikah."

"He? Pembokat loe tau dari mana? Emang Rully pernah ke rumah loe ya?"

"Orang rumah gue cepet akrab sama orang."

"Ooooo, kayak elo khan."

Lalu Karin meraih gelas yang aku pegang.

"Eh, jangan GR, gue gak ngambilin minum buat elo. Gelas lo yang di meja tuch. Ambil, pegang ndiri, jangan males gerakin badan loe."

Kemudian aku mencium pipi kiri Karin, tangannya masih aku genggam, dan aku tatap matanya...

"Hmmm bau lu."

"Ya iya lah, belom mandi dari kemaren."

"Sok tau...sok pikun khan loe, jelas-jelas tadi pagi elo dimandiin di rumah sakit."

Karin terus menatapku, dan aku tetap menatapnya, dan menggenggam tangannya. Dan terkadang aku memeletkan lidah ke arahnya.

"Eh iya, Mas Wawan belum bisa nengok kamu ya. Dia sedang menggila dengan urusan kantornya. Sabar ya. Nanti pasti dia nyempetin nengok kau. Terus abis ini khan gue pulang, elo pasti bakal kangen ama gue. Jangan boong."

"Pulangnya abis gue selesai ngunyah."

"Iya, gue tungguin elo selese makan."

Aku lihat makanannya juga sudah habis. Kebetulan aku membawa Air Suci Lourdes, aku tuangkan sedikit di tutup botol Air Suci itu, aku tuangkan ke tanganku, dan aku oleskan ke wajahnya.

"Ini biar elo ngga semakin gila ya, Rin. Biar normal dikit. Terus sisanya diminum nih."

Ia pun langsung menghabiskan hampir satu botol kecil air itu.

"Oh gak ding, nanti kalo gue pulang mudah-mudahan elo yang semakin gila. Gue yang semakin normal. Gue khan paling normal ya Rin, di antara temen-temen loe and elo?"

Tau tidak teman-teman, apa yang Karin lakukan? Knock on wood...seketika aku ngakak, dan Karin melihatku dengan tampang pasrah tanpa ekspresi dan menghela napas 10 ton, lalu ia berbicara padaku...

"He? Tunggu, gimana?"

"Gue yang normal, elo yang gila."

"Gue dari dulu normal."

"Menurut elo iye normal. Rin, mungkin sekarang elo agak kesel kali, elo biasanya kemana-mana sendiri, apa-apa mandiri banget, dan sekarang apa-apa harus tergantung sama orang lain. Tergantung sama orang bukan hal buruk juga loh. Sekali-kali kamu emang harus istirahat, dan sekali-kali lah kita bikin repot orang lain, jangan kita muluh yang direpotin, hehehhehe. Kamu lagi diminta istirahat sebentar, leyeh-leyeh ama Tuhan, jadi Ratu Sejagad, apa-apa diurusin, karena untuk jadi kuat lagi setelah sakitmu kemarin emang kayak gini. Prosesnya gini sayang, kayak bayi aja, saat persiapannya udah ready untuk jalan, berdiri, dan lari, ia akan bisa. Sekarang tinggal semangat loe ajah kalo gituh. Okay."

"Okay. Gue mau ke toilet."

Oh, elo mau ke toilet, bentar gue panggilin Bu Siti. Sekalian gue pamit lah.

"Bener ya, nanti gue ke sini lagi, senyum loe, ketawa loe, semangat loe dah harus lebih gede dari sekarang. Jangan keok."

"Okay."

"Sini cium pipi dulu."

Sebelum aku berpindah mencium pipi kanannya, setelah yang kiri aku cium, dia menghentikan gerakku dengan tangannya, dan mencium pipiku. Senangnya...

Dan aku ulangi mencium pipinya, lalu...

"Cium gue lagi dounks."

Karin mencium pipiku kembali.

"Terus senyumnya untuk gue mana?"

Dan ia pun tersenyum lebar untukku...

And that's all my journey, 3 days with Karin...

Doanya jangan lupa ya teman-teman, nanti aku sampaikan salam-salam dari kalian, saat aku bertemu dengannya lagi.

Terima kasih juga atas komentar-komentar yang kalian tulis di note-ku, jadi terharu..hehhehe

Love you all...

-Karin & Ocha-

Kamis, Maret 05, 2009

Day 2 With Karin In Singapore...

Alarm dari ponsel yang aku nyalakan sekitar pukul 06.00 pagi, sudah sibuk membangunkanku dengan bunyinya yang laknat itu. Namun tak apalah, pagi ini aku tak menggerutu dan jengkel saat alarm itu berbunyi membangunkanku tiada henti, dan tak kenal lelah. Perbedaan waktu 1 jam, baru terasa saat pagi hari. Ya, ya manusia ini, Ocha adalah manusia paling malas bangun pagi.

Begitu aku buka mata, aku lihat Bu Siti baru saja memasuki kamar. Ternyata ia baru selesai mandi. Dan si nona cantik, Karin, masih terlelap dengan nyenyak.

"Bu Siti, aku masak sarapan dulu ya buat bertiga."

"Gak kepagian?"

"Gak lah. Biar ngga buru-buru."

"Ya udah."

Berangkatlah aku menuju dapur. Menu sarapan yang cukup mudah, tapi tetap tidak mengabaikan asupan gizi untuk Karin, sudah aku pikirkan saat aku berbelanja kemarin malam. Scrambled egg dengan campuran jamur, wortel dan kol. Ya setidaknya lebih banyak sayurnya. Di tengah-tengah aku masak, aku mendengar suara Bu Siti yang sedang memandu Karin berjalan. Aku yakin Bu Siti sedang memandunya untuk menuju kamar mandi, untuk dimandikan.

Pukul 07.00 sarapan sudah siap, dan Karin juga sudah selesai mandi. Tinggal disuapi. Kami bertiga akhirnya menikmati sarapan. Dan karena hanya aku yang belum mandi, 07.30, aku pun pergi mandi, sehingga pukul 08.00 nanti aku dan Bu Siti bisa mengantar Karin untuk tes darah lagi ke laboratorium. Harap-harap cemas dengan hasil pemeriksaan darah kali ini. Kemarin dokter mengatakan jika sel darah putih Karin masih terlalu rendah, kemoterapi akan diundur hari Jumat, yang berarti kami harus menambah 1 hari lagi di Singapura.

Sebelum pergi berangkat, aku mencubit gemas pipinya, seperti sedang menyubit anak bayi, tentu tanpa tenaga. Dan langsung aku memutarbalikkan badan mencari sesuatu di meja. Lalu Bu Siti tiba-tiba teriak, "Hei, kenapa, Bu? Mau apa."

Sontak aku pun melihat ke belakang.

"Mau apa, Sayang?"

"Sakit, Monyong."

"Hahhahahah."

Selesai pemeriksaan laboratorium, kami bertiga kembali ke rumah kost. Pikirku, agar Karin dapat istirahat sembari menunggu hasil pemeriksaan darahnya tadi. Aku melihat ke arah jam di kamar kost, yang sudah menunjukkan pukul 10.00 dan belum ada telepon dari rumah sakit, tentang hasil pemeriksaan darah tadi. Baru saja aku selesai membatin, tiba-tiba ponsel yang ada di tanganku, berbunyi.

"Hah, it's the girl from Doctor Pritam's clinic."

"Yes."

"Rosa, you already bring Karin to blood test ha?"

"Yupe, already, at 8 a.m. You've got the result?"

"No, no, oh wait, already."

"Is it still low?"

"Ya, but I'd like to ask Doctor Pritam first. So I'll call you back."

"Okay."

Lebih cemas daripada tadi, aku menunggu keputusan dokter. Namun tak berapa lama...

"Rosa, ya, ya, you can go to admission now. The chemo can be proceeded today."

"Should I go to your clinic after the admission?"

"No, no need, just bring her to the ward."

"Okay."

Phewwwhhh Puji Tuhan, kemoterapinya bisa dijalankan hari ini. Melihat di kamar kost, Karin masih tidur dengan nyenyak, aku tak tega membangunkannya. Jadi aku putuskan untuk mengurus administrasi rumah sakit terlebih dahulu, lalu kembali ke kost, baru membawanya untuk opname hari ini.

Akhirnya urusan administrasi selesai, dan Karin sudah berada di kamar pukul 11.40. Aku dan Bu Siti sudah merasa lapar. Namun aku menunggu hingga urusan paper work di kamar beres. Dan pukul 13.30, aku memutuskan untuk ke bawah mencari makan siang. Tentu Karin ditunggui oleh Bu Siti.

Aroma kopi dari Coffee Bean sudah mengundangku sejak kemarin aku tiba, namun aku terus menahannya, hanya karena aku ingin sedikit mengurangi kafein. Ternyata aroma kafein itu tak berhasil menahanku, untuk tak menyentuhnya dalam jangka waktu yang lama. Begitu aku keluar dari elevator, aku langsung berlari menuju Coffee Bean dan memesan secangkir Belgium Chocolate dan Chicago Cheesecake, sebelum aku menuju ke kafetaria di lantai bawah.

Setelah selesai dengan belanjaan makanan. Aku kembali ke kost, untuk menyantap makan siangku dan mengambil ranselku, yang berisi laptop tercinta, dan segera kembali ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, dokter yang merawat Karin, ternyata baru akan memulai kemoterapi, setelah Karin diberikan cairan intra vena untuk anti muntah selama 1 jam. Dokter menanyakan jam berapa kami harus tiba di Bandara Changi, esok hari, sehingga jadual kemoterapi bisa disesuaikan dengan jadwal penerbangan, tanpa mengganggu proses pengobatannya Karin. Lalu ia memberi instruksi tentang obat-obatan apa saja yang harus ia minum setelah ia tiba di Jakarta nanti.

Setelah dokter selesai dengan seluruh proses awal dari kemoterapi yang harus dijalani oleh Karin, Bu Siti aku minta untuk kembali ke kost, agar ia bisa makan siang. Aku pun duduk manis di sebelah Karin, dengan ditemani laptopku ini.

Ia berkali-kali terbangun dari tidurnya. Sampai ia benar-benar bangun dan membuka matanya lebar-lebar.

"Hai, ngapain bangun?"

"Mau ke toilet."

"Ngga boleh Sayang, khan lagi kemo. Gak papa ya."

Lalu ia pun terdiam.

"Hei, gue baru aja buka facebook. Kau dapet salam dari Eline. Masih inget Eline ngga?"

"Masih. Rosaleini Verieta khan?"

"Hahahah, hebat, hebat, kau hebat ingat nama lengkapnya Eline."

"Terus kalo gue?"

"Anastasia Rosarini."

"Ma kasih juga masih inget nama lengkap gue. Terus Rin, tadi your mama telepon."

"Bilang apa?"

"Siapa?"

"Nyokab."

"Oh, dia nanyain kita besok jadi pulang atau ngga, bakal telat ngga sampai airport, terus terakhir dia bilang kangen sama kau."

Ia kemudian tertidur kembali. Hingga aku lihat jam, yang sudah menunjukkan pukul 17.00, dan ia sudah terbangun. Tiba-tiba ia bertanya padaku.

"Cyrill demam ngga?"

"Oh, iya agak demam."

"Berapa Cyrill?"

"Hah? Cyril atau kamu?"

"Cyrill."

"Oh, aku tadi dengernya kok kamu ya. Cyrill baik-baik aja sayang. Diurus Linda."

"Soalnya tuch anak ngga tidur sama sekali."

"Belum tidur?"

"Iya."

"Tahu dari mana? Tadi elo mimpi?"

"Feeling aja."

"Oh ya udah, nanti gue tanyain Yudha ya, Bang Cyrill baik-baik aja atau ngga. But I know him Rin, Mamanya aja kuat, anaknya juga pasti kuat-lah. Kau yang ngajarin khan?"

Bu Siti sudah kembali ke rumah sakit, saat aku harus kembali mencari makan malam untuk aku dan Bu Siti, sekitar pukul 19.00. Dan setelah aku selesai memeriksa akun-akun surat elektronikku, aku memutuskan untuk mencari makanan yang ada di pusat perbelanjaan di sepanjang Orchard Road.

"Rin, aku belanja makanan dulu ya. Kamu ditungguin Bu Siti. Don't step down from bed ya Hon, promise me."

"Okay. Dagg, ati-ati ya. Jangan lama-lama."

"Yupe. Nanti aku balik lagi."

Kali ini aku ke Food Court yang ada di Takashimaya. Lumayan juga ada kedai masakan Indonesia, dan kelihatannya enak, daripada aku pusing mencari menu lainnya, akhirnya aku memutuskan untuk membeli makanan di kedai itu. Kembali ke kost sebentar, berganti baju, lalu aku segera kembali ke rumah sakit.

Karin ternyata sudah tidur. Aku dan Bu Siti akhirnya menikmati makan malam kami. Tak berapa lama, Bu Siti aku minta untuk istirahat sebentar ke kost. Saat itu jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.30. Dan tak lama dari Bu Siti meninggalkan aku dan Karin untuk pulang ke kost, Karin terbangun.

"Hei, gue dah nyampe lagi khan. By the way, tadi Mamamu nitip peluk cium untuk kamu."

"Iya, aku belum sempet ngobrol banyak lagi ama nyokab dari ke Medan terakhir. Gara-gara sakit."

"Oh, rencananya kamu itu waktu sebelum sakit itu mau ke Medan? Terus ngga jadi gara-gara sakit?"

"Iya."

"Emang Karin mau ngobrolin apa siy sama nyokab?"

Aku menunggu responnya...

"Mau ngobrol apa sayang ama nyokab? Mau cerita banyak apa? Cerita-ceritalah ke aku, biar berguna dikit gue jadi teman loe."

Aku kembali menunggu, dan kembali tak ada respon.

"Kalo mau cerita bilang-bilang ya. Kalo belom mau cerita, ga papa juga."

Maaf ya Tante Titung, hehehe sampai sekarang, Karin belum mau cerita.

Karin terus menatapku. Daripada aku mulai lepas kendali menitikkan air mata melihatnya, akhirnya...

"Eh Rin, sumpah ya, kalo bukan manusia seperti elo nih, yang sakit kayak gini, beneran deh, dah keok dari dulu-dulu. Dah lewat. Ini cuma gara-gara elo, bisa sampe ke step sekarang. Tinggal dikit lagi Rin. Kau udah banyak ditunggu temen-temenmu di Jakarta, and di Medan. Now you have to prove it, doa mereka ngga sia-sia untuk elo, Karin yang mereka kenal ngga berubah. Mereka n gue ngga minta apa-apa kecuali senyum loe, ketawa loe lagi. Nyanyi-nyanyi lagi. Doa mereka pasti terus kok untuk nyempurnain usaha loe. Anak psikologi harus bisa lah atur2 otak and gimana ngatur semangat diri sendiri. Percuma kita sekolah payah-payah kalo keok juga. Ya gak?"

"Okay."

"Let me tell you something, gue dulu juga sempet nungguin bayi ampe remaja, yang kena penyakit sama kayak elo, di rumah sakit. You know what, semangat mereka gede loh. Padalah mereka umurnya jauh lebih kecil dari elo. So elo jangan mau kalah ya. Kemo, bolak balik sini Jakarta, hal kecil lah buat elo Rin, knowing you, you're quality. Hayooo berapa manusia yang di Danamon yang udah elo train? Termasuk gue. Training-an loe ke gue yang super duper "laknat" selama 7 taon gue kenal elo? Damn, it's beyond compare my dear. You're such a good trainer, ya even ada trainer "laknat" di jalur yang berbeda lainnya yang gue kenal juga sih, selain elo. Sekarang tinggal elo train diri elo sendiri ya. Biar semangat loe ngga mandeg. Do it for Cyrill terutama. By the way, rasanya apa siy di kemo? Sakit tak? Cerita-cerita dounks, biar aku tau yang kamu rasain."

"Biasa aja."

"Gak ada rasanya? Gak sakit?"

"Gak."

"Kalo rasa apa-apa, ngomong aja loe. Gue siap jadi tong sampah nampung cerita loe Cut. Eh kita doa dulu yuk."

Akhirnya kami berdua berdoa. Dan setelah kami selesai,...

"Kok, kriyep-kriyep Non? Ngantuk ya?"

"Ngantuk."

"Dah ya bobokh."

Saat ia sudah tertidur, aku kembali duduk manis di kursi sebelahnya, dan kembali membuka laptop. Dan tak lama Bu Siti datang, dan kami sedikit berbincang-bincang. Begitu aku melihat ke arah Karin, ternyata ia sudah kembali terbangun...

"Eh Cut, tadi gue lupa bilang sama elo. Tadi gue dah telepon Yudha, tanyain Bang Cyrill sehat-sehat atau ngga. Dia bilang sehat kok. Ngga demam, pinter makannya, kayak elo khan, sakit-sakit tapi makannya tetep canggih."

"Okay."

Lalu aku kembali berbincang dengan Bu Siti.

"Bu, besok sepertinya aku harus ke ATM dulu, takut depositnya untuk Karin kurang."

"Di klinik, bisa gesek kartu kok. Biasanya Bapak gitu."

"Ya biar ngga ribet tagihannya aja. Atau aku minta Yudha sekalian bayarin tagihan gue aja ya."

Aku dan Bu Siti sama-sama tertawa. Lalu Karin menyaut.

"Mentertawakan apa?"

"Gak, tadi gue bilang, besok gue harus ke ATM dulu, takut deposit rumah sakitmu kurang. Terus si ibu bilang, bisa gesek kartu. Aku bilang lagi, ya biar ga ribet tagihannya, terus aku juga bilang, apa biar Yudha sekalian bayar tagihan kartu gue yang lain ya. Terus kita berdua tertawa."

Dan guess what Karin bilang apa teman-teman?

"Kok enak di elo, ngga enak di gue."

Aku dan Karin sama-sama tertawa...

"Gak gitu ya Rin? Payah deh lo."

Senang rasanya Karin masih bisa menimpali dengan gaya cela-celaan kami seperti biasanya.

Lalu aku sedikit menyanyikan lagu untuk Karin. Lagu favorit kami berdua, yang sering kami nyanyikan saat karaoke. Dan tak terasa sudah pukul 00.30, aku putuskan untuk kembali ke kost.

"Rin, aku tidur di kost ya. Kau baik-baik aja ama Bu Siti. Don't step down from bed okay."

"Okay."

"Kalo mau minta apa-apa bilang Bu Siti."

"Okay, ati-ati ya. Daggg."

Aku mencium pipinya dan membalas lambaian tangannya, sambil berjalan meninggalkan kamarnya.