"Yah, seperti biasa, internet masih mampus. Ya sudah lah, ga boleh ilang lagi moodnya."
09.15...
"Nyetel lagu ah."
Dan aktiflah Windows Media Player di laptop ("Enakan kasih nama apa ya? Hehehehe, terinspirasi sama si MbakDos di seberang sana."), dan lagu yang saya dengarkan berdasarkan abjad judul lagu yang dimulai dari abjad A.
Tak lama kemudian, mulailah telinga ini menangkap lagu-lagu "sumbang".
Di mulai dengan...
And I Love Her, yang dulu terkenal karena Beatles. Tak perlu repot-repot mencari tahu lagunya seperti apa. Hanya tinggal menggerakkan kursor komputer/laptop kamu sedikit ke bawah, kamu sudah tahu lagu yang saya maksud.
Tak perlu repot-repot juga bagi seseorang ("Saya bukan ya?") untuk dapat memanggil kembali "hantu" di kepala, alias memori tentang sesuatu. Dan sampailah pada kejadian di hari pertama tahun ini, karena ada "Beatles" The 2nd yang lagi pentas.
Namun seketika? Gone! ("Yay!")
Kembali ke pekerjaan yang tiba-tiba sedikit lebih banyak dan dapat membahagiakan, karena sudah barang tentu itu akan menyibukkan.
Windows Media Player pun masih sibuk bernyanyi dan terus bernyanyi.
Kira-kira sekitar pukul 09.45, suara "sumbang" kembali terdengar. Kali ini...
And Aubrey was her name, a not so very ordinary girl or name, but who's to blame for a love that wouldn't bloom...and bla, bla, bla...
What the...Ya, ya, kembali ke awal Desember, lebih tepatnya 4 Desember, saat dua orang di ruang itu, memegang microphone, sibuk memilih-milih daftar lagu apa yang akan digilir untuk dinyanyikan.
Dan saat seseorang memilih lagu yang mempunyai lirik di atas...
Bukan yang memilih lagu: "Ya ampun Aubrey"...(sambil tertawa kecil)
Orang yang memilih lagu: "Tau lagunya khan?"
Bukan yang memilih lagu: "Ya, tau lah!"
Orang yang memilih lagu: "Suka?"
Bukan yang memilih lagu: "Aku suka banget sama Bread. Jaman-jamannya aku ngamen, lagunya Bread itu lagu andalan."
Sekali lagi, "tongkat ajaib" dapat bekerja dengan baik, yang membuat semuanya hilang dari pikiran seketika.
Kembali serius dengan pekerjaan, yang sudah mendapatkan dukungan koneksi internet dengan baik. Melirik ke arah penunjuk waktu di sudut kanan bawah laptop tercinta, telah menunjukkan pukul 10.11 ("Hmmm, do I have a damn good photographic memory?").
Dan "hantu" lain terpaksa terpanggil kembali untuk keluar, karena lagu yang satu ini...
When you weary, feeling small, when tears are in your eyes, I will dry them all...
Menunggu di dalam mobil saat ia membeli sebungkus, dua bungkus rokok murahan, serta beberapa botol minuman ringan di mini market di depan kompleks rumah, dan sekembalinya ia masuk ke dalam mobil, suaranya menggantikan suara si penyanyi asli,...
Sail on silvergirl, sail on by. Your time has come to shine. All your dreams are on their way.
"Ah cupu. Pergi luuu!"
Ketak-ketik lagi, sibuk lagi. Sambil diiringi lagu-lagu indah dari Windows Media Player, yang ternyata kembali menyanyikan lagu "sumbang"...
Sahabatku, usai tawa ini, izinkan aku bercerita...
"Hantu" yang nongol baru sedikit nih, baru saat dia menanyakan "Just tell me, lagu ini tentang apa?", saat salah seorang di sana sedang duduk, dengan kepala dan arah mata tertuju ke seseorang yang letaknya sedikit di bawahnya; dan salah seorang lagi berlutut, dengan tangan kirinya diletakkan di atas sofa, tepat di samping kaki kanan seorang lainnya, sehingga sikunya bersisian dengan dengkul orang yang duduk, dan tangan kanannya ia letakkan di atas sofa tepat di samping kaki kiri seorang lainnya itu, juga menjadikan siku dan dengkul kedua orang itu bersisian, dan mengakibatkan kedua tangan orang yang berlutut tadi mengapit ke dua kaki seseorang yang sedang duduk itu.
"Mari lewwaaatttiiiii..."
Mulai merasa "terancam", akhirnya metode terakhir tersebut kembali terulang, kembali melewati suara-suara "sumbang" yang bisa membuat siang hari menjadi melankolia.
Namun jiwa masokis yang tak pernah bisa/ingin terbunuh dengan sukses ini, kembali menikmati salah satu suara "sumbang" yang ada di deretan daftar lagu itu, dengan sukarela.
I could build a mansion, that is higher than the trees...
Dan malahan menikmati "hantu" yang muncul ("Hyaaahhhh...!!!")
Namun semuanya itu tak menjadikan mood ini berubah. Tetap sibuk, tetap ceria, tetap menyenangkan.
Sampai saatnya tiba di rumah, dan memeriksa isi si Bébé. Terteralah di sana sebuah pesan singkat dari si Krempeng.
"Calling him because I miss him so. Now I miss him even more."
Dan balasan pesan itu terkirim, yang intinya untuk tidak terus-menerus meng-IYA-kan suara hati untuk mengiriminya pesan singkat atau bahkan meneleponnya.
Tttaaaaapppiiii, hari ini gagal, akhirnya satu pesan singkat terkirim sudah, setelah sekian lama tak terjadi. Hanya satu kata sangat singkat yang diketikkan...
"Tega!"
----
"Krrreeemmmpppppeeeennngg, byengsyek lu ya! SMS lu stimulus buruk deeee!"
----
Dari sekian banyak lagu "sumbang" yang diputar oleh Windows Media Player hari ini, inilah juaranya (meskipun dengan video klip yang monoton)...
Dan dengan lirik lengkap...
When you're weary, feeling small, When tears are in your eyes, I will dry them all I'm on your side. When times get rough And friends just can't be found, Like a bridge over troubled water I will lay me down. Like a bridge over troubled water I will lay me down.
When you're down and out, When you're on the street, When evening falls so hard I will comfort you. I'll take your part. When darkness comes And pains is all around, Like a bridge over troubled water I will lay me down. Like a bridge over troubled water I will lay me down.
Sail on silvergirl, Sail on by. Your time has come to shine. All your dreams are on their way. See how they shine. If you need a friend I'm sailing right behind. Like a bridge over troubled water I will ease your mind. Like a bridge over troubled water I will ease your mind.
Yang telah berhasil meruntuhkan tembok pertahanan yang dikira oleh orang yang membangunnya sudah cukup kuat dan tak dapat runtuh. Ternyata asumsinya salah total. Setidaknya untuk hari ini.
----
I hate my nites, and my early mornings, times I remember you at the most.
Walaupun tradisi ini tak dirayakan di Indonesia,...
Namun saya pribadi ingin mengungkapkan rasa syukur saya, karena diberi kesempatan untuk merasakan kasih, cinta dan seluruh perhatian, dari seorang ayah yang luar biasa...
Dan juga sebagai ungkapan apresiasi bagi seluruh ayah di luar sana, yang telah berusaha sekuat tenaga untuk menjadi ayah yang baik untuk anak-anak mereka...
To all fathers in this world...Happy Father's Day...
Jadi teringat perbincangan saya dengan papa, beberapa bulan lalu, saat mengetahui ada seorang anak pejabat yang mendapat banyak suara dan terpilih menjadi anggota legislatif...
Saya: "Padahal anaknya kayak ngga ada otak gitu pa, cuma ndompleng nama bapaknya!"
Papa: "Ya, namanya bapak bisa kayak gitu, Sa. Mau kata anaknya salah, nalurinya bisa mbuat dia bela anaknya dulu, baru mikir."
Saya: ........ (tak tahu harus berkata apa)
----
"Ayo dounks di Indonesia bikin tradisi hari ayah. Masakh cuma hari ibu!!!???"
Membuka laptop, menyalakannya dan menemukan satu hal yang semakin mendukung pikiran saya tadi...
"Hyaaahhh...internet down terusssss! Otomatis belum bisa memeriksa e-mail dah!"
Rutinitas itulah yang pertama kali biasanya saya lakukan begitu memasuki ruang kerja saya. Memeriksa seluruh akun surat elektronik yang saya miliki, baik akun surat elektronik kantor maupun akun surat elektronik pribadi, walaupun semua surat elektronik sudah masuk ke si Bébé, tapi tetap tidak senyaman membaca dengan layar laptop yang lebih besar.
Saya tambah kehilangan mood baik hari ini. Dan mulailah saya menyelesaikan pekerjaan yang bisa dilakukan tanpa harus menggunakan media internet.
Berkali-kali melihat ke arah jam, adalah sebuah indikator yang sangat buruk bagi seorang Ocha. Meskipun indikator buruk ini mempunyai dua kemungkinan, yaitu Ocha yang merasa bosan, atau Ocha yang lagi dikejar waktu seperti saat-saat ia masih kuliah dulu.
Dan saat itu, kesekian-kalinya ia melirik ke arah kanan bawah di sudut layar laptopnya.
"Anjrit masih jam 10.00."
Keluar-lah saya dari ruangan...
"Minta tolong bikinin kopi dounk."
Ternyata belum membantu. Pekerjaan yang sedang saya kerjakan terasa sangat lamban untuk saya bisa selesaikan. Dan terasa semakin lamban dengan hadirnya salah satu sapaan teman saya di YM yang saat itu sedang saya aktifkan dengan menggunakan si Bébé. Beginilah kira-kira sapaannya...
"Baru jam 11, sore masih lama ya."
Dan saya pun membalas...
"Sama aja lu sama gue..."
Saya pun kembali ke pekerjaan saya, sambil berharap kopi yang sudah setengah gelas saya habiskan, akan memberi sedikit pencerahan bagi saya, untuk hari ini.
Saat di tengah saya mengetik, tiba-tiba tanda koneksi internet sudah berfungsi dengan baik, sudah muncul. Dan mulailah saya membuka akun surat elektronik yang belum saya periksa hari ini, juga menyalakan YM.
Kembali saya melirik ke arah jam, yang sudah menunjukkan pukul 11.50. Dan hati masih tak karuan karena moody saya sedang kumat.
Saya semakin memantapkan niat saya, untuk makan siang di luar kantor hari ini, dengan teman ataupun sendirian, saya tak peduli lagi. Jenuh ini harus dibunuh segera, tak bisa dibiarkan.
Melihat jejeran teman-teman yang aktif di YM, saya melihat salah satu teman yang menyapa saya dengan panggilan sayangnya untuk saya, yaitu sarap, beberapa hari yang lalu. Dan berikutnya yang terjadi adalah...
"Ke P.S yuk."
Saya pikir ia akan berpikir banyak hal dulu sebelum menjawab. Ternyata...
"Yuk. Kapan?"
"Sekarang."
"Elo ampe P.S jam berapa? Gue paling 15 menitan."
"10 menit gue juga nyampe. Gue brangkat sekarang."
Begitu saya sampai Plaza Senayan,...
"Zara, Cuy."
"Okay."
Tak lama saya mengitari butik kesayangan saya itu, tiba-tiba teman saya sudah datang.
"Mau makan atau ngga?"
"Makan boleh, ngga makan juga boleh. Tapi makan lah."
"Okay. Di mana?"
"Nyushi?"
"Sushi Tei yah."
Akhirnya kami berdua makan dengan anteng di restoran favorit kami berdua, walaupun ini kali pertamanya kami makan berdua di sana.
Mulailah semua pembicaraan seputar kehidupan kantor, dan urusan percintaan yang tak pernah habis kami bahas, baik secara obrolan atau sahut-sahutan di komentar Note Facebook, yang sebagian besar isinya merupakan pindahan dari Introverto ini ("Hihihihihi, that's why Facebook gue masih tertutup untuk banyak orang neh. Aib gue bisa kebongkar gara-gara tulisan komentar makhluk-makhluk tak bertanggung jawab di Note gue, termasuk komentar pengakuan gue sendiri seh").
Ketawa sana-ketawa sini, mentertawakan diri sendiri, mentertawakan mereka yang kami anggap lucu dan pantas untuk ditertawakan tidak di depan orangnya.
Melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan, membuat saya sedih. Sedih karena harus kembali ke kehidupan nyata. Mencari sesuap nasi, dan bekal untuk beli berlian ("Heh? Berlian? Lebbbaayyy?").
Ternyata sushi tak pernah mengecewakan saya. Termasuk untuk menaikkan mood saya yang dari tadi hilang tak tahu kemana.
Surat elektronik yang perlu dikirim, sudah berhasil terkirim dengan baik semua. Dan pekerjaan saya yang tadi saya coba kerjakan setengah mati, akhirnya berhasil saya kebut, walaupun belum tenggat waktu ("Tumben 'Cha, ga jadi deadliner?").
Taaapiiii sekitar pukul 17.00, dan giliran Windows Media Player yang saya aktifkan memainkan sebuah lagu, lagu yang dikirimkannya melalui YM, saat kami berdua masih sering mengobrol di sana hingga subuh menjelang. Dan aku masih ingat betul apa yang ia tuliskan di jendela saat itu.
"Dengerin deh, kata-katanya bagus banget!"
Dalam hati saya...
"Dan lagunya kamu banget. Gitaran!"
Memang dasar masokis, lagu itu malah beberapa kali saya putar, hingga setelah putaran kesekian-kalinya saya katakan pada diri saya sendiri...
"Udah, udah, cukup hobi masokis loe 'Cha, hobi nyiksa diri sendiri. Pulang-pulang, dah waktunya pulang ke gereja!"
Dan kembali mata ini melirik ke arah jam...
"Pas, udah pukul 17.55, mari menenangkan diri, pulang."
----
"Damn I hate to admit it, I do miss you, as always!!!"
Berpredikat sebagai seorang Sarjana Psikologi, atau mungkin psychologist wanna be ternyata tidak selamanya menyenangkan ("Hyyaaiyalah! And damn this title! hehehehe"). Dan terkadang ingin sekali saya melepaskan predikat itu dari diri saya, namun ya itu hanya terkadang, tidak selalu.
Seseorang dengan latar belakang pendidikan psikologi, memang dilatih, dididik dan mungkin juga dibentuk sedemikian rupa agar mereka lebih mampu memahami orang lain. Memahami manusia yang katanya merupakan makhluk termulia di muka bumi ini, makhluk yang unik dan tak ada yang sama persis, dari isi pikiran, isi perasaan, isi hati dan pastinya secara fisiknya.
Tidak tahu apakah memang benar, manusia ini (termasuk saya), adalah makhluk paling mulia di muka bumi, jika dilihat dari masih adanya manusia yang mampu menghabisi nyawa manusia lainnya.
Dalam kasus seperti pembunuhan, memang seringkali psikolog diperlukan di sana, agar dapat memahami latar belakang dari tingkah laku membunuh yang dimunculkan oleh pelaku. Yang menjadi pertanyaan saya adalah jika dalam kasus besar seperti kasus pembunuhan itu saja seorang psikolog diharap untuk dapat memahami si pelaku, apalagi untuk kasus-kasus yang lebih kecil?
Saya memang belum mempunyai gelar sebagai psikolog di tangan, tapi setidaknya orang lain telah melihat saya sebagai seseorang yang cukup terlatih untuk dapat lebih memahami orang lain, termasuk memahami kalian. Dan hal itu tidak hanya sebagai pandangan orang lain terhadap saya, tapi lebih sering sebagai keharusan bagi saya. Keharusan untuk memahami orang lain, memahami kalian.
Keharusan untuk memahami sekecil apapun hal yang kalian lakukan. Keharusan untuk dapat menalar alasan dibalik segala ucapan kalian, yang sebenarnya terkadang juga menyakiti saya. Tak sadarkah kalian, bahwa seringkali pun saya telan mentah-mentah sakit hati saya akibat tingkah kalian?
Namun apa yang kalian lakukan saat saya kehilangan kontrol seujung jari saja atas tingkah laku saya? Kalian bisa memperlakukan saya seenak kalian, meninggalkan sejuta kebingungan dan rasa penasaran yang disertai usaha keras untuk menerka, memilah, menyambung hingga menjadikan satu hal yang cukup masuk akal, yang pada akhirnya saya juga-lah yang harus memahami kalian?
Saya bukan mesin yang bisa memindai kalian hanya dengan satu kali lihat, dua kali sentuh, atau mungkin tak cukup dengan sejuta kata yang sudah terlontar dari mulut kita, karena kalian, dan karena saya bukanlah orang yang akan mengeluarkan tingkah laku yang sama persis setiap harinya.
Saya mungkin bisa menjadi sebuah tembok dingin yang tak peduli apa yang kalian lakukan terhadap saya, dan dengan amat menyesal saya katakan bahwa saya akan betah bertingkah seperti itu. Namun kenapa ada saja dari kalian yang meminta saya untuk mulai mengubah diri. Kenapa harus saya lagi yang mempunyai kewajiban untuk memahami kalian?
Mungkin kalian saat ini sedang berpikir bahwa saya sedang menggerutu, tapi saya katakan pada kalian bahwa jika itu yang ada di pikiran kalian, kalian salah. Saya sedang mendaftar, apa yang membedakan saya dengan orang lain, jika dilihat dari pengambilan spesialisasi proses langkahan kaki menuju ke kedewasaan. Dan hal-hal telah saya sebutkan di atas tadi adalah suatu tanggung jawab, juga rasa sakit yang harus saya jalani akibat dari saya memilih terjun ke dunia yang ternyata lebih "sakit jiwa" daripada dunia nyata yang kasat mata, yang kita tinggali ini.
Mungkin ada sebagian dari kalian berpikir bahwa saya sedang menyesal karena merelakan diri terjerumus di dunia "sakit jiwa" yang saya pilih untuk saya lakukan. Sayangnya, jika memang itu yang kalian pikirkan, pikiran kalian salah untuk kesekian-kalinya.
Bagaimana saya bisa menyesal, jika saya teringat bahwa ternyata saya juga terlatih untuk dapat "menghancurkan" pikiran orang lain? Dibentuk untuk dapat "mempermainkan" hati orang lain, walaupun tak jarang saya "memainkan" hati saya sendiri. Belum lagi pengalaman keberhasilan saya dalam "memporakporandakan" seluruh diri kalian yang bisa membuat kalian menjadi linglung luar biasa, hingga mampu membuat kalian tersungkur dan berlutut di depan saya.
Saya hanya perlu memasang ribuan tembok di depan saya, jika kalian saya pilih menjadi orang yang tidak laik untuk mengisi satu titik kecilpun yang masih kosong, di hidup saya. Dan kalian semakin tak bisa memahami saya, karena saya telah membangun dunia dengan tingkat kenyamanan luar biasa, yang sudah barang tentu, kenyamanan untuk diri saya sendiri.
You can take me for granted, ooo..absolutely you can, but just remember one thing that I have a lot of ways to destroy you, even worse than what you did to me.
Especially how to destroy your heart, leave pains and scar on it!!!
----
Dan suatu pagi di obrolan YM:
Saya: "Morning psycho!"
Seorang teman: "Morning sarap."
Dan suatu sore di obrolan YM:
Saya: "Hooorreee dah mati..."
Seorang teman: "Apaan mati?"
Saya: "Elu."
Seorang teman: "Hahahaha, gue seharian sibuk. Sibuk baca buku."
Saya: "Kerja Nyet!!!!"
Seorang teman: "Gaaaaak ada kerjaan nyeeeeeeetttt...! Ngapain lu, masih idup?"
Saya: "Yah. Need a psychologist who's not a psycho badly!"
Seorang teman: "You come to wrong place."
Saya: "I know. None of us!!!!"
----
"At the end of the day we are all weirdos for others...isn't it lovely?"
Andaikan aku bisa memutar waktu dan menghentikannya... Aku akan kembali ke saat itu... Saat aku masih hampa tanpamu... Saat jiwa ini masih terapung berkelana arungi samudera nan luas...
Andaikan aku bisa memutar waktu dan menghentikannya... Mohonku pada-Nya... Tak bertemu hidupmu... Tak berada di pelukmu untuk nikmati cium mesra darimu...
Andaikan aku bisa memutar waktu dan menghentikannya... Aku akan kembali ke saat itu, di ruang itu... Hanya kamu, hanya aku... Kembali berdua...
Andaikan satu kali lagi... Aku bisa memutar waktu dan menghentikannya... Aku tak akan membuatnya berhenti... Dan biarkanmu berjalan bersama sang waktu...
----
Why you are so complicated and ignorant, yet so attractive and loveable...
----
Thanks to my old friend, PV who let me use that quote.
Menjelang pukul 17.00. Si Bébé berkedip-kedip, bermain mata, itulah salah satu akibat dari saya "membungkam" suaranya. Begitu saya periksa, ada berita apakah yang masuk ke dalamnya...
"Ntar pulang bareng?"
"Gak deh. Mau misa harian dulu."
Kembali saya merelakan diri ditinggal oleh tebengan saya. Dan dengan demikian, saya harus pulang sendiri dengan kendaraan umum.
Tepat pukul 18.30, misa sudah selesai, "Andaikan, misa hari Minggu secepat ini, setengah jam selesai."
Sepulang dari gereja, saya mampir belanja ke supermarket yang lokasinya tak jauh dari gereja, dan juga terminal untuk saya mencari kendaraan umum, yang belum saya tentukan kendaraan umum apakah yang nanti saya tumpangi.
Akhirnya saya sudah menentukan jenis kendaraannya. Kendaraan umum yang memang sudah sering saya gunakan dari dulu sejak saya masih di sekolah dasar. Apalagi kalau bukan bis kota. Kendaraan ini memang mempunyai kenangan tersendiri untuk saya. Dari kenangan bersama mama saat beliau masih mengantarkan saya ke tempat-tempat kursus yang saya ikuti dulu, sampai kenangan bagaimana saya terharu dan kasihan melihat mantan pacar, saat saya ajari naik bis. Maklum, dia selalu dijemput supir pribadi sepulang sekolah, "Ahhh, cian keringetan, kepanasan ya? Lucuuuu."
Well, saya tak ingin bercerita tentang si mantan pacar, tapi tentang liputan hasil observasi saya selama saya di bis ini.
Namanya juga bis kota, siapa saja boleh naik, termasuk antrian para pengamen yang berlomba-lomba unjuk gigi.
Pengamen pertama, secara keseluruhan berhasil membuat saya terkesima. Mereka berduet dan satu orang bernyanyi sambil memainkan gitar. Dari intro yang dimainkan oleh si pemain gitar yang merangkap penyanyi itu, saya sudah bisa menebak, bahwa mereka tak akan membuat saya menggerutu dalam hati, karena suara sumbang yang dihasilkan baik dari kord gitar maupun vokal mereka. Ternyata benar, kord mereka tidak ada yang sumbang, dan saat mereka bernyanyi pecah suara maupun bersaut-sautan sama sekali tidak ada yang membuat saya mengernyitkan dahi sambil menatap penuh protes, sebagai respon seketika yang biasanya saya keluarkan, jika saya menemukan nada-nada sumbang saat seseorang bermusik.
Akhirnya mereka berhasil membuat saya mengeluarkan dompet dan mengambil sejumlah uang dari sana, dan memasukkan ke dalam kantong yang disodorkan pada para penumpang. Hampir saya katakan pada mereka, "Bagus suaranya!", hehehehe sayangnya kata-kata itu saya urungkan untuk terucap.
Baru beberapa meter setelah pengamen tadi turun, ada pengamen lain yang naik. Kali ini mereka bertiga. Dua orang membawa gitar dan merangkap sebagai penyanyi, dan satu lagi memainkan pianika.
Kelompok pengamen ini juga berhasil mencuri perhatian saya, tapi tidak dengan kualitas "jualan" yang sesungguhnya mereka tawarkan. Perhatian saya tercuri kepada salah satu dari tiga orang pengamen itu. Beginilah komentar dalam hati yang saat itu secara tiba-tiba muncul, "Weeeiitttsss, kok lucu.", hahahahaha komentar itu benar-benar secara harafiah. Dilihat dari fisiknya, pengamen yang bersuara menye-menye nan sumbang ini, memang tak seperti pengamen lainnya. Berwajah putih, mulus, tanpa keringat dan tanpa minyak di wajah yang diperindah dengan dua lesung pipit, bertopi, berkaos merah nan trendi, mata berbinar, bulu mata panjang dan lentik. Dan ia pun berhasil membuat kedua mata saya ini malas untuk berpaling.
Namun sayangnya, dari hasil pengamatan, orang yang memberikan sebagian kecil isi dompetnya, hanya berjumlah sedikit. Saya termasuk kelompok orang kebanyakan, tidak memberi mereka. Meskipun salah satu dari mereka dapat mencuri perhatian saya, bukan berarti saya harus memberi sesuatu imbalan atau reward dari hasil performa yang tidak baik 'kan? "Maaf ya Si Lucu, teteup aja suara lu sumbang+menye-menye, walaupun gue ga menunjukkan raut wajah protes gue ke elu."
Tadi saya bilang antrian pengamen 'kan? Dan sampailah pada pengamen ketiga yang naik ke bis yang saya tumpangi. Kali ini, saya menyebutnya sebagai pengamen yang membuat saya terenyuh. Terenyuh dengan isi puisi tentang kondisi negara, dan harapannya akan masa depan negara ini.
Pengamen ini memang "menjual" hal yang berbeda dari "jualan" pengamen kebanyakan, yang mungkin dianggapnya sebagai "peluang bisnis" baru.
Wow, puisi yang ia bawakan, saya akui bermutu dan menggunakan bahasa tingkat tinggi. Ia banyak menggunakan bahasa implisit dan kiasan ini-itu, yang dapat memunculkan banyak persepsi bebas dari orang yang mendengarnya. Ditambah lagi dengan gaya membawakannya yang penuh penghayatan dan suara merdu nan "empuk" bak news anchor stasiun televisi terkenal.
Namun sayang, sejauh mata memandang, hanya sedikit orang yang memerhatikannya. Bahkan ada sepasang penumpang yang bercerita sampai terbahak-bahak, hampir mengalahkan suara si pengamen puisi itu. Dan sayangnya lagi...
"Duh, duit kecil gue abis lagi. Siyal. Masakh gue kasih 20 ribu. Maaf ya, gue suka puisi, dan gue suka puisi loe, gue bukannya ngga menghargai sastra seperti yang tadi elo bilang sebelum elo mulai, bahwa banyak yang tidak menghargai sastra, tapi masakh gue minta kembalian sama elo."
Itulah hasil perbincangan saya dengan diri saya sendiri, di dalam hati. Perasaan bersalah tak bisa memberinya uang imbalan walaupun sedikit, semakin besar, ketika ia menyanyikan sebuah lagu, sambil menyodorkan kantong kecil bekas bungkus permen ke para penumpang. Lagu yang dulu sering saya nyanyikan ketika masih sering manggung dengan paduan suara yang saya ikuti, lagu yang cukup menyayat hati saya saat-saat ini, dan membuat saya berpikir "Akankah Indonesia bisa lebih baik dari sekarang, dan membuat masyarakatnya senang, bangga dapat menutup mata di sini, pada akhirnya?"
Terenyuhnya perasaan tak berhenti di sana. Kali ini perhatian saya tertuju pada kondektur bis yang saya tumpangi, yang terdiri dari dua orang, tepatnya dua orang anak, satu perempuan dan satu lagi laki-laki. Keberadaan mereka sesungguhnya baru saya sadari ketika mereka sedang melakukan tugas utama mereka, yaitu menariki ongkos para penumpang.
Di lihat dari tinggi badan, dan raut mukanya, menurut saya, kondektur yang perempuan, kira-kira berusia 11 hingga 12 tahun. Namun tidak berusia seperti itu, jika dilihat dari bentuk dada yang mendekati ukuran dada wanita dewasa secara normal. Dan saat itu yang ada di pikiran saya adalah...
"Duh, 'dek, mudah-mudahan ngga ada yang niat jahat ngumbar napsu sama kamu ya. Jangan pulang malam-malam."
Rasa khawatir saya itu, belum seberapa. Namanya juga bis kota di Indonesia, sangat jarang yang tertib berkendara. Slonong boys, termasuk urusan menerabas lampu merah, "Udah lampu merah diterabas, belok pula ke kanan, motong jalan sana yang lagi lampu ijo!"
Si Kondektur Bocah Perempuan ini yang jadi "tameng", berusaha menghalau laju kendaraan dari seberang sana, yang baru saja menancap gas, karena izin berjalan dari lampu lalu lintas yang sudah berganti menjadi warna hijau baru didapati. Untung kendaraan-kendaraan lain, yang sepertinya berpikir lebih baik mengalah pada bis, mau mentaati halauan dari si "tameng" ini.
Cerita masih berlanjut, Cuy. Lain cerita tentang si kondektur satu lagi, yang anak laki-laki. Dari perawakannya, ia berusia lebih muda dari kondektur yang perempuan. Mungkin usianya sekitar 10 tahun, dan sudah dengan bangga menghisap rokok, sambil bergelantungan di pintu bis, "Miris 'kan?" Di tengah perjalanan yang macet, saya melihatnya dihampiri oleh satu orang pria dewasa, yang menadahkan tangannya, tanda ia meminta sesuatu dari Si Kondektur Kecil. Dan omongan Si Kondektur Kecil pun terdengar sampai ke telinga saya, "Masakh elo malak gue", bisa dipastikan bahwa mau tidak mau Kondektur Kecil memberikan uang kepada tukang palak itu.
Tidak bisa dipungkiri, mereka memang masih anak-anak. Jalan raya saja, mereka anggap sebagai lapangan bermain. Tak peduli bis lain yang hampir menghimpit tubuh mereka di antara dua badan bis, tak hiraukan selap-selip motor yang bisa dibilang lebih sering hanya Tuhan yang tahu apa yang ingin pengendara motor itu lakukan, belum lagi klakson-klakson kendaraan pribadi yang memekakan telinga, mereka berdua tetap berlari-lari ke sana kemari, mengiringi laju bis yang tersendat karena macet, sambil berteriak-teriak, bercanda dan tertawa.
Dan ternyata Si Kondektur Kecil yang perempuan ini, masih mempunyai sisi feminin, atau mungkin lebih tepat dikatakan sisi centil seorang ABG. Saat bis berhenti mengisi bensin, dan Pak Supir terpaksa turun, Si Centil (Si Kondektur perempuan) ini berlari dari belakang, ke arah bangku supir, dan berkaca dengan spion, memainkan rambutnya sambil menyanyikan sebuah lagu cinta zaman sekarang, yang saya tak tahu judulnya apa. "Percaya diri luar biasa anak ini", pikir saya saat itu.
Bis pun tak lama kemudian melanjutkan perjalanan, dan tiba-tiba ada satu lagi kondektur yang tidak seumuran dengan mereka naik ke bis, duduk di samping Pak Supir yang sedang mengendarai bis ("Bukan kuda. Ya iya lah!"), dan mengobrol. Tak berapa lama kemudian orang itu berteriak.
"Ta, woi, Ta!"
Yang dipanggil tidak merespon. Dan menurut saya Si Kondektur Centil itulah yang dipanggil, karena kondektur yang laki-laki sedang di depan saya, jadi tak mungkin tak mendengar panggilan itu, dan juga arah mata si pemanggil menuju ke arah di belakang saya. Ia pun mengulangi panggilan itu.
"Ta, Ta."
"Apa?"
"Besok narik loe!"
"Hah, ga denger!"
Berhubung posisi duduk saya berada di tengah antara dua orang itu, jadi saya bisa mendengar seluruh percakapan mereka dengan jelas.
Tak lama kemudian, Si Centil pun menghampiri yang memanggilnya.
"Napa?"
"Besok loe narik pagi."
"Jam berapa?"
"Ya, pagi."
Dan perbincangan mereka selanjutnya tak dapat saya dengar.
Tak terasa, saya sudah sampai ke tujuan, dan tibalah saya untuk turun. Si Centil sudah berada di pintu belakang lagi ketika saya berdiri, bersiap-siap untuk turun, dari pintu depan.
"Mau turun, Kak?"
Saya hanya membalasnya dengan anggukkan kepala, sambil tersenyum.
Saat bis berhenti, dan sebelum saya menginjakkan kaki di atas aspal, Si Centil itu dululah yang malahan turun dari atas bis. Tadinya saya tak mengerti apa yang sedang ia lakukan, tapi setelah saya amati, ia sedang menghentikan laju motor yang malas berhenti, dari arah sisi kiri bis. Ternyata ia kembali menjadi "tameng", dan kali ini menjadi "tameng" khusus untuk saya.
Dan begitu injakkan kaki saya di aspal sudah sempurna, saya berteriak padanya...
"Ma kasih ya!"
Ia pun mengangguk sembari tersenyum pada saya.
Well, this is my Indonesia, dan ini baru sebagian kecil dari segudang permasalahan di negeri ini.
Dan lagi, pertanyaan itu muncul di dalam pikiran saya, "Akankah Indonesia menjadi lebih baik dari sekarang, dapat membuat masyarakatnya senang dan bangga berada di sini hingga akhir hayat?"
Video diambil dari sini, yang diunggah bukan oleh orang Indonesia. Dan inilah quote darinya: This clip is made from videos and photos taken in Indonesia when I was studying there. I'm not an Indonesian, but so in love with Indonesia, by: Vnuk2212
And do we love our Indonesia?
----
Hyaaahhh...I hate Wednesday, hate weekly meeting on it.
Salah satu manusia dari kalangan introversi, yang sulit mengungkapkan rasa dan pikirannya secara verbal. Dipadukan dengan karakteristik Aquarius yang penuh dengan kejutan..