Sabtu, Juli 05, 2008

Arti Di Balik Nama (Episode Cerita Orang Tua)...

Beberapa bulan yang lalu, aku pernah menuliskan nama beberapa orang yang aku anggap penting dalam hidupku. Kali ini aku akan berbagi tentang arti beberapa dari mereka untukku...


Tarcisius Ariono Purnomo

Waduh, jika ditanya arti seorang ayah, papa, atau bapak bagi setiap anak, aku rasa anak itu tak akan kehabisan kata untuk mendefinisikan hal itu. Begitupun denganku, yang tak akan mampu menggambarkan arti pentingnya beliau untukku dengan singkat.


Bahagia tak terperikan, jika aku ingat beliau masih mau mengantarkan aku sekolah, hingga aku SMA, walaupun harus rela berkorban bangun pagi agar aku tak terlambat tiba di sekolah. Bahkan beliau rela pulang kantor lebih cepat, untuk menjemputku di sekolah, saat aku menjalani Ujian Akhir di SMA, katanya agar aku tak lelah, dan bisa ujian dengan baik esok harinya. Undangan pesta-pesta ulang tahun sweet 17th teman-temanku datang silih berganti, saat aku berada di kelas 2 SMA. Sementara teman-temanku yang lain datang diantar supir atau dengan pacar mereka, aku diantar oleh papa. Pacar bertemu di tempat pesta, karena kasihan kalau menjemputku dulu, jarak antara rumahku dan pacar saat itu, cukup jauh, Simprug-Ciledug. 


Namun hubunganku dengan papa sebenarnya dulu tak terlalu dekat. Aku baru bisa bicara panjang lebar, duduk bareng dan mengobrol, saat aku kembali kuliah di Psikologi. Beliau adalah teman ngobrol yang menyenangkan, walaupun kadang aku terpaksa mengobrol seputar dunia politik yang menjadi kesukaannya, tapi hal yang aku benci. 


Tahun 2007, adalah titik balik kedekatanku dengan papa. Saat beliau terbaring lemas di ICCU, karena serangan jantung. 


Satu kejadian paling mengharukan adalah saat beliau diperbolehkan pindah ke kamar biasa dari ICCU, aku menungguinya di rumah sakit, walau badan ini pun sakit tak karuan. Kembali aku tak kuat melihat beliau sulit untuk buang air kecil. Tak kuizinkan beliau turun dari tempat tidur, biar aku layani semua kebutuhannya. Namun karena badanku terlalu lelah, aku pun tertidur dengan posisi duduk di kursi, dan kepalaku di tempat tidur papa. Saat tangannya mengelus kepala dan rambutku, aku terbangun, membuka mata dan sempat menitikkan air mata. Aku tahu beliau ingin mengatakan bahwa beliau sayang padaku, dan ingin menyampaikan rasa terima kasihnya, tapi apa daya, beliau terlalu lemas. Esoknya beliau kembali harus masuk ICCU, karena keadaannya kritis. 


Saat papa kembali dirawat di ICCU, aku semakin dijadikan tameng keluargaku, terutama oleh mama. Tameng sebagai motivasi papa untuk mau melawan penyakitnya itu. Dipaksa untuk kuat menghadapi kejadian itu, oleh setiap anggota keluarga besarku, aku pun mampu bangkit walau tergopoh-gopoh. Remuk dan derai air mata tak kuasa aku bendung di luar ruang ICCU, namun sekembalinya aku bertemu dengan beliau di kamar, senyum lebarku kembali merekah, walau disertai dengan mata yang membengkak. Namun semua itu berhasil aku lalui, berhasil papa lalui. Berhasil kami lalui dengan baik. Dan, semenjak itu kedeketan kami pun semakin berarti. 


Satu catatan khusus dari peristiwa papa sakit itu, baru saat itulah, aku mengatakan "Love you, Dad."


Dan dibalas dengan "Love you too, Nduk."


(Lo, bahasa Inggris yang diakhiri bahasa Jawa)


Emiliana Teta


Mama, ibu, bunda apakah artinya untuk diriku? Singkat, jelas, padat, aku benci, aku cinta, aku bingung. Mungkin anggapan bahwa anak perempuan selalu bermasalah dengan ibunya adalah benar menurutku, berdasarkan pengalamanku. Setidaknya sampai 6 tahun lalu, tak ada satu hari pun kami lalui tanpa adu argumentasi. Enam tahun terakhir ini, protesku tak lagi dengan balasan kata-kata, dan tergantikan dengan perginya aku tiba-tiba ke kamarku saat beliau mengomel tak jelas, atau pergi tanpa tujuan, yang sebenarnya aku malas keluar rumah, atau diam tetap melakukan apa yang aku sedang kerjakan tanpa memperdulikannya, atau sekalian pergi keluar kota. Hal yang terakhir ini, membuatku akhirnya bisa selalu diizinkan pergi ke luar kota tanpa bilang jauh-jauh hari sebelumnya, mungkin karena mama sudah terlalu pasrah dengan anak perempuannya yang satu ini. Contohnya "Besok aku cuti, mau ke Bandung seminggu", atau "Lusa aku ke Manado 4 hari ya" atau yang lebih dahsyat, "Ntar malem aku ke Bali loh."


Kebencianku tak lebih dari seputar mama yang tak mau menerima kritikkan dari anak-anaknya, termasuk aku. Anak adalah tetap anak, yang harus menurut orang tua, katanya seperti cara beliau dididik dulu. Alhasil aku tak pernah bercerita sedikit pun tentang masalah pribadiku sampai sekarang. Lebih baik aku selesaikan sendiri. Lebih baik backstreet, yang ini tentu urusan pacaran yah.


Namun dibalik itu semua, mama tetap mamaku. Tak bisa aku pungkiri, beliau sebenarnya tetap berusaha memberikan yang terbaik untukku, dengan cara yang menurutnya juga yang terbaik, walaupun bukan cara yang baik menurutku. 


But, you know what? Mama adalah talent scout yang handal. Tanpa (lagi-lagi) paksaan dari beliau, aku tak mungkin bisa mencintai musik seperti sekarang. Kepandaianku bernyanyi, karena beliau rela pontang-panting tanpa kenal lelah mengantarku kursus bernyanyi di Bina Vokalia, dari usiaku 8 tahun sampai 5 tahun berikutnya. Belum lagi, beliau memaksa papa untuk membelikanku piano, dari hasil menjual mobil, dan akhirnya Petrof itu pun ada di rumah hingga sekarang.


Acungan jempol yang tak pernah aku nyatakan ke beliau karena tertutup gengsi seribu rasa, aku tujukan untuk rasa banggaku akan jerih payahnya menjemputku ke sekolah, dan mengantarkan aku ke tempat kursus, semuanya dengan angkutan umum. Bahkan saat aku harus menjalani gladi bersih, pentas dan shooting untuk acara di TVRI saat itu, yang kadang tak kenal waktu. Seingatku dulu pernah sampai pukul 01.30 malam saat acara BASF Award, walau saat itu akhirnya papa menjemput kami ke Gedung Kesenian Jakarta. 


Mengapa semua titik balik, sadarnya aku bahwa aku tak ingin kehilangan orang tuaku, adalah di rumah sakit. Perjuanganku mencapai Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Pondok Indah, di tengah malam sudah 2 kali aku lakukan, pada tahun 2005 dan tahun 2007. Mama sudah mengidap penyakit asma lebih dari 10 tahun. Dua peristiwa itu berawal dari firasat tak enakku. Dua malam itu, aku sudah bersiap untuk tidur, tapi tak tahu mengapa, aku tak kunjung bisa tidur, dan sepertinya ada yang menyuruhku datang ke kamar beliau. Beruntunglah, kamar tak terkunci seperti biasanya. Aku melihat beliau duduk di tepi tempat tidur dalam keadaan sulit bernapas. 


Seketika aku berlari ke atas, berganti pakaian dan membangunkan papa yang saat itu sedang tidur di bekas kamar abangku yang letaknya ada di seberang kamarku. Kejadian yang pertama tak terlalu membuatku panik. Kondisi mama dan macetnya jalan walaupun sudah tengah malam, tak separah kondisi pada kejadian yang kedua. Terus terang saat berjuang membawanya ke UGD untuk kedua kalinya, aku sangat takut, jika beliau tak tertolong saat di perjalanan. Ditambah kondisi jalan arteri Pondok Indah, yang kami kira sudah tidak macet pada pukul 01.00 malam, ternyata masih macet karena pembuatan jalur busway. Namun puji Tuhan, aku berhasil mencapai UGD tepat waktu dan mama terselamatkan. Kepanikan tak berhenti di situ. Setelah urusan kamar beres, dan mama sudah masuk ke kamar perawatan, tiba-tiba papa memanggilku "Dah selesai Cha?"

"Bentar lagi paling. Kenapa?"

"Gak, jantungku kok berdebar-debar yah."

Langsung aku tanya pada perawat yang sedang membenahi kamar mama, "Sus, dah selesai kan, mama dah bisa ditinggal?"

"Oh, udah kok, ngga papa ditinggal, dah beres semua."

"Ma, kita pulang ya. Ntar siang ke sini lagi."

Sedikit khawatir, jangan sampai aku berurusan dengan UGD lagi pada hari yang sama. Sampai aku berpikir akan mengambil arah melewati Rumah Sakit Internasional Bintaro, kalau-kalau kemungkinan terburuk itu terjadi. Dengan pertimbangan mencari UGD terdekat dan rumah sakit itu adalah rumah sakit tempat papa dirawat dulu. Namun untunglah, sesaat memasuki mobil aku tanya pada papa "Masih berdebar pa?"

"Udah ngga kok, mungkin tadi di dalem kedinginan kali."

Phewhh, akhirya bisa lega. Nasib jadi anak terakhir.

("Loh, Cha bukannya kamu masih punya abang 1 lagi ya yang masih di rumah?"

"Hmm, excuse me?")

0 komentar: