Minggu, November 30, 2008

Kematian Seorang Sahabat...

Berharap bisa bangun siang di hari Minggu ini, ternyata hanya menjadi impian. Pukul 06.30 pagi, Mama sudah membuka pintu kamarku, yang memang tak pernah dikunci.

"Sa, kamu mau ke gereja gak?"

Dalam hatiku sempat aku katakan "Gak ada yang lebih subuh apa ya?"

Mata ini baru terpejam kurang lebih 3 jam. Kenikmatan sunyinya malam dalam dunia maya selalu sulit aku tolak. Berjam-jam di depan laptop kesayangan, dan mengutak-atik dunia yang tak berbatas ini hingga pagi menjelang, sepertinya sudah terjadwalkan dengan baik pada metabolisme tubuhku, yang sudah bisa menyesuaikan diri, terutama semenjak kuliah di Fakultas Psikologi.

Akhirnya dengan berat hati, aku beranjak dari tempat tidurku, meraih handuk dan menuju kamar mandi. Rasanya nyawa pun belum terkumpul dengan baik, saat tubuh ini terguyur air. Semakin sulit terkumpul, saat aku mendengar Mama yang memintaku untuk bergegas.

"Cepetan, ini 'dah jam berapa."

"Iya, 'bentar, masih lama, itu jam tengah juga kelewatan 'kan."

Kami bertiga pun berhasil mencapai gereja tepat pukul 07.00.

"Duh, susah banget niy mata kebuka."

Aku rasa, untuk bertahan terjaga sepanjang misa berlangsung adalah perjuangan terberatku hari ini. Sempat beberapa kali aku tidur di pundak Mama, tepatnya hanya memejamkan mata, sementara telinga masih mendengarkan jalannya misa.

Hingga saat Pastor hampir mengakhiri kotbah, aku sedikit kaget dengan bunyi ponsel seseorang. Bunyi ponsel itu sangat familiar untukku. Dan benar ternyata Papa lupa mengubah pengaturan ponsel menjadi pengaturan diam. Aku tahu itu adalah bunyi untuk tanda adanya pesan singkat yang masuk. Aku tahu persis itu, karena ponsel Papa, semuanya aku yang atur, termasuk deringnya. Tak lama dari papa meraih ponselnya dan sepertinya membuka pesan singkat itu, ia mengatakan padaku...

"Cha, Lilur meninggal."

"Ha? Emang sakit, Pa?"

"Lho, 'dah seminggu ini kali."

"Kok, tumben, anak-anak ngga ada yang ngasih tau aku."

Saat itu, umat sudah mulai berdiri, untuk berdoa Bapa Kami, sambil bernyanyi. Aku sempatkan menghaturkan permohonan pengampunan dosa untuk Oom Lilur, yang merupakan teman Papa dari kecil, yang kebetulan juga, anaknya adalah teman satu kelas, teman satu meja selama satu tahun, saat aku dan Tika di kelas 3C1 SMA Tarakanita I.

Saat Salam Damai yang ingin aku berikan pada Papa sambil mencium pipi, aku melihat ia menyeka matanya. Beberapa kali aku mengantarkannya melayat ke keluarga, atau teman-temannya yang meninggal, aku hanya melihatnya menangis saat Eyang Kakung, Eyang Ti, Kakak, dan Adik Papa yang meninggal. Selebihnya aku tak melihat. Rupanya, kali ini ia merasa sangat kehilangan.

Dan sesampainya kami di rumah setelah kami sempat sarapan di sebuah restoran kecil di dekat gereja, Papa mengatakan padaku dan Mama.

"Temenku satu-satu mati. Aku tinggal nunggu giliran."

Sempat terkaget dan sedih. Terlebih saat aku ingat, tahun lalu setelah Papa pulang dari rumah sakit, setelah ia dirawat karena terkena serangan jantung, ia mengumpulkan seluruh keluarganya, untuk membicarakan tentang apa saja yang perlu dilakukan jika kematian menjemputnya, yang tak tahu kapan.

Untuk sedikit menghiburnya, langsung aku tanggapi omongan Papa itu.

"Gak usah elo kali, Pa, semua nunggu giliran."

Walaupun tak terbayang apa rasanya jika kematian itu menjemput Papa atau Mama kelak.

"Love you Dad, Mom."

Separated...

Oh no, no, no, no

If love was a bird
Then we wouldn't have wings
If love was a sky
We'd be blue
If love was a choir
You and I could never sing
Cause love isn't for me and you

If love was an Oscar
You and I could never win
Cause we can never act out our parts
If love is the Bible
Then we are lost in sin
Because its not in our hearts

So why don't you go your way
And I'll go mine
Live your life, and I'll live mine
Baby you'll do well, and I'll be fine
Cause we're better off, separated

If love was a fire
Then we have lost the spark
Love never felt so cold
If love was a light
Then we're lost in the dark
Left with no one to hold

If love was a sport
We're not on the same team
You and I are destined to lose
If love was an ocean
Then we are just a stream
Cause love isn't for me and you

So why don't you go your way
And I'll go mine
Live your life, and I'll live mine
Baby you'll do well, and I'll be fine
Cause we're better off, separated

Girl I know we had some good times
It's sad but now we gotta say goodbye
Girl you know I love you, I can't deny
I can't say we didn't try to make it work for you and I
I know it hurts so much but it's best for us
Somewhere along this windy road we lost the trust
So I'll walk away so you don't have to see me cry
It's killing me so, why don't you go

So why don't you go your way
And I'll go mine
Live your life, and I'll live mine
Baby you'll do well, and I'll be fine
Cause we're better off, separated
(Usher)

Ada kalanya, perpisahan memang yang terbaik...

Dan aku tahu 29 Juli 2008 itu adalah jalan menuju segalanya yang terbaik...

Sabtu, November 29, 2008

Persepsi Bebas # 2

B: Thanks ya hun..lemme knw when u r home..love u..
A: My pleasure. Am thru pdk indah. Found d way. Udh msk toll pdk ind

A: My ym ol now
B: Iya. Tp kamar komputer lg dipake..kangen ama gw ya?
A: I do. Hv a blessed wkend. Bsk malam gue ada acara. Free jam 12 sp sore in case kgn.

B: Ya d. Emang situ g kangen ma gw? Anther hal yang sama dgn ***, acara itu hari sabtu. Kangen ma gw ga?
A: I said i do sweetie
B: He he imu 2.. Dah ampe sayang?
A: Udh. Td mampir atm dl. Ngantuk ilang?
B: Lah dr td jg g ngantuk. Khan ada elo td.

B: Sebel..angen..am i hipnotizd?..
A: Not hypnotized but disoriented a bit. It will disappear later
B: Ahh..ya sudah lah..thank u 4 being there 4 me darling..
A: I'll be there till u find what u r looking for. My thx too.
B: Ya..ga seterusnya..? Ga mau.. Sombong de..

A: I care 4u n dont wanna c u down luv.
B: Ma aci ya cayank...xoxo

A: Miz u sm
B: Miz u so much too..really wish u were here..
A: U know where to find me luv.
B: Ma aci skali lg cinta..

B: Nite2 darling..sleep tite n dream of me..Hehehe..
A: Gd nite sweetie. Will dream of hugging n kissing u. Msh ntn tv kok
B: Hehe ya d. Met menikmati tv..love u my love..

Kamis, November 27, 2008

Persepsi Bebas # 1

A: may i hold n kiss you sweety?
A: i read your blog already.
A: u dont answer my quest dear

B: br ada charger lg cinta...smua sms br pd msuk..
B: the answer is still no

A: thanks for being frank. i respect ur decision. in this situation i just imagine how peaceful it will be to rest my weary head in somebody's arms and kiss her with affection.

B: Ngapain? Pusing dikantorkah?
A: keep thinking abt u
A: ya hectic work n i can't think. God.. all i need now is somebody to hug me and ease me.

B: Kok jd manja. Biasanya bisa handle..
A: I hate this feeling like hell. wish i never met u.

B: Ayo jangan nyesel..maaf ya kalo buat kamu jd kayak gini..
A: It's not your fault that i hv to feel all this again. don't apologize. aku cuma lelah lahir batin dg kerjaan dan serasa tersesat di padang tandus, terbiasa dg dahaga ttp skrg liat sumur air tapi tetap ga bisa meminumnya. rasanya rela minum sekali stlh itu mati.

Rabu, November 26, 2008

Logika Yang Termenangkan...

Aku tak tahu apakah kalian juga pernah mampir dan membaca tulisanku di blog milikku di situs jejaring Friendster atau tidak. Namun saat ini aku akan menceritakan suatu hal yang berhubungan sedikit dengan tulisanku terakhir di blog situs jejaring Friendster.

Tentang logika dan tentang perasaan, tentang cinta, yang kadang kita tak tahu bagaimana harus menautkan, mengsinkronisasikan keduanya. Dan pada akhirnya, kita cenderung untuk memilih salah satu di antara keduanya. Pilihan? Bagiku bukan suatu pekerjaan yang mudah. Bukan pekerjaan yang menyenangkan. Andaikan bisa aku untuk terus dipilihkan seperti saat Yang Di Atas sana mengirimkanku ke dunia ini, aku rasa akan lebih baik. Namun pilihan adalah salah satu pekerjaan utama saat kita diutus menjalani tugas kita di dunia, yang tak pernah akan habis untuk kita telusuri.

Seperti termakan dengan ucapan, pikiran dan tulisanku sendiri. Saat semuanya serasa masuk akal dengan analisa pemikiran canggih yang disajikan oleh otakku, dan saat semua bisa dimaklumi dengan rasa yang mampu menerbangkanmu, bahkan tanpa sayap sekalipun. Ternyata tak semudah itu menautkan keduanya. Sekali lagi, saat semuanya pada akhirnya terasa benar dan baik dari kedua sisi. Dan aku katakan padamu saat ini, aku mungkin akan memutar balikkan kemudi seratus delapan puluh derajat, karena pada akhirnya aku tetap akan memilih. Terbaik bagiku saat ini, kumenangkan logika itu, dan kubiarkan hatiku dalam status idle. Tak tahu sampai kapan.

Karena sakit itu tak ingin kurasakan lagi...

Selasa, November 25, 2008

Chiquitita....

Chiquitita, tell me what's wrong
You're enchained by your own sorrow
In your eyes there is no hope for tomorrow
How I hate to see you like this
There is no way you can deny it
I can see that you're oh so sad, so quiet

Chiquitita, tell me the truth
I'm a shoulder you can cry on
Your best friend, I'm the one you must rely on
You were always sure of yourself
Now I see you've broken a feather
I hope we can patch it up together

Chiquitita, you and I know
How the heartaches come and they go and the scars they're leaving
You'll be dancing once again and the pain will end
You will have no time for grieving
Chiquitita, you and I cry
But the sun is still in the sky and shining above you
Let me hear you sing once more like you did before
Sing a new song, chiquitita
Try once more like you did before
Sing a new song, chiquitita

So the walls came tumbling down
And your loves a blown out candle
All is gone and it seems too hard to handle
Chiquitita, tell me the truth
There is no way you can deny it
I see that you're oh so sad, so quiet

Chiquitita, you and I know
How the heartaches come and they go and the scars they're leaving
You'll be dancing once again and the pain will end
You will have no time for grieving
Chiquitita, you and I cry
But the sun is still in the sky and shining above you
Let me hear you sing once more like you did before
Sing a new song, chiquitita
Try once more like you did before
Sing a new song, chiquitita
Try once more like you did before
Sing a new song, chiquitita
(oleh: ABBA)

Terima kasih untuk semua yang sudah membuatku bisa kembali bernyanyi...

Minggu, November 23, 2008

Rawat Inap yang Menyenangkan...

Hah...Kamis malam lalu, rencanaku ingin menyelesaikan draft skripsi nyaris batal. Namun ternyata akal sehatku tak membiarkan itu terjadi. Draft itu akhirnya aku lanjutkan hingga Jumat siang, dan berhasil aku serahkan pada sore harinya. Meskipun menurutku sendiri, itu jauh dari apa yang aku sendiri harapkan, apalagi yang diharapkan oleh dosen pembimbing skripsiku.

Hari Jumat ini, aku juga sudah punya rencana akhir pekan. Reunian dengan pakar-pakar ahli jiwa yang juga mengalami gangguan jiwa semenjak mereka kecil, jauh, sekali lagi jaaaauuuhhh...sebelum aku lahir; Mas Wawan, Karin dan Yudha. Sudah tahunan sejak terakhir kami nongkrong-nongkrong tanpa tujuan yang jelas. Ya, walaupun satu "anggota lama" tidak lagi hadir di tengah-tengah kami, tapi sama sekali tak membawa suasana jadi hambar.

Jumat malam, Karin masih perlu ke dokter hingga malam hari. Jadi aku pikir lebih baik aku nebeng Mas Wawan ke arah Cibubur. Lagi pula mereka itu bertetangga. Kemacetan Jakarta yang menggila membuat Mas Wawan dan supirnya telat menjemputku di lobi Plaza Semanggi, hingga pukul 19.00.

"My goodness, kamu kurus sekali!"

Komentar itulah yang pertama kali ia ucapkan sesaatku memasuki mobilnya. Dan itu adalah komentar yang sudah biasa aku dengar, saat bertemu teman yang sudah tahunan tidak bertemu denganku. Pertama kali kami berdua bertemu, kira-kira 6 tahun lalu, saat Karin mengenalkanku dengannya, saat aku dan beberapa teman kantorku pergi berlibur ke Anyer. Setelah itu, seingat kami berdua, kami tak pernah bertemu. Dan ternyata salah, setelah diingatkan Karin, kami sempat bertemu, saat aku, Karin datang ke kos-nya Mas Wawan di daerah Kuningan, tahun 2003 lalu. Namun tetap saja, itu sudah 5 tahun yang lalu.

Tak tahu berapa lama waktu yang ditempuh kami hingga sampai ke Citra Grand, setidaknya aku tak memperhatikannya. Sesampainya di sana, kami tak langsung pulang, tapi belanja makanan dan camilan untuk bekal kami kongkow-kongkow. Dan setelah itu, kami langsung pulang ke rumah (Mas Wawan) sambil menunggu Karin, yang masih antri di dokter.

"Nice house Mas!"

Dua hal yang ada dipikiranku, saat aku masuk ke rumah Mas Wawan. Tenang, dan damai. Tak lama kemudian, Mas Wawan memanggil Rangga, putra ke-2nya yang tadi sempat tidur di dalam mobil sebelum supir Mas Wawan mengantarkan kunci rumah, saat aku dan Mas Wawan belanja, karena kunci rumahnya tertinggal.

"Rangga, turun 'Dek, ada tamu."

Dalam waktu kurang dari 5 menit Rangga sudah menuruni anak tangga dan bertemu aku.

"Kenalin nih tante Ocha. Iya, nanti tante Karin juga mau ke sini."

Dalam hatiku "Sial niy Mas Wawan, bikin gue tambah tua."

Padahal melihat Rangga, aku yakin umurnya tak terlalu jauh denganku. Dan yang lebih membuatku semakin terperangah dan kaget adalah saat ia mengucapkan "Malem, Tante" sembari mencium tanganku.

Aku akhirnya sempat mengobrol dengan Rangga, saat papanya sedang membersihkan diri. Aku yakin usiaku dengan Rangga tak terlalu jauh, jadi aku menyebut diriku dengan "gue" saat mengobrol di ruang makan. Aku rasa ia juga sedikit kaget, terlihat dari raut wajahnya yang sempat sedikit berubah.

Setelah Mas Wawan selesai, kami sempat duduk bertiga di meja makan, sebelum akhirnya Rangga membaca novel di sofa depan televisi dan kemudian sekitar 20 menit kemudian ia kembali naik ke kamarnya.

Tinggal aku berdua dengan Mas Wawan di ruang makan itu. Berbekal dengan laptop dan perangkat hard disk eksternal milik Mas Wawan yang penuh dengan lagu yang membuatku kalap ingin memindahkannya semua ke laptopku yang tak aku bawa saat itu.

Sebagai tuan rumah yang baik, Mas Wawan repot mengambilkan ini-itu untuk aku, terutama makanan, yang sebenarnya aku bisa ambil sendiri. Knowing his quality, aku tahu, aku tak perlu merasa terlalu risih untuk menganggap rumahnya seperti rumah sendiri.

Sembari aku melihat-lihat koleksi lagunya, dan ia sibuk mondar-mandir seperti setrikaan yang sedang dipergunakan, kami pun berbagi cerita, ngobrol banyak hal setelah 5 tahun kami tak pernah bertemu. Bahkan bisa dikatakan ini adalah pertama kalinya kami bisa cerita panjang lebar sebebas-bebasnya. Termasuk pertanyaanku tentang usia Rangga, dan ternyata benar, ia hanya terpaut 7 tahun lebih muda dari aku.

"Ahhh, Mas, Rangga ngga usah manggil aku 'tante' lah. Bikin gue tambah tua."

Tak terasa jam dinding saat itu sudah menunjukkan 23.30 dan Karin menelepon.

"Nyet, di mana lu?"

"Di rumah."

"Gue baru keluar dari dokter neh. Rencananya ntar mau nongkrong di rumah Mas Wawan atau di rumah gue?"

"Terserah elu lah. Gue khan juga mau pinjem baju rumah lu."

"Kalo di rumah Mas Wawan, takut Cyrill tengah malem kebangun ntar."

"Ya udah lah, elu ke sini dulu aja."

"Deee."

Aku dan Mas Wawan melanjutkan obrolan tadi, yang jujur sekarang aku lupa saat itu kami sedang membicarakan hal apa. Sampai Karin tiba sekitar pukul 00.15. Karin pun bergabung duduk di meja makan. Saat ia mulai ikut mengobrol mataku sudah tidak kuat untuk terbuka lagi, tapi karena pertemuan ini memang sudah aku nantikan dari beberapa waktu lalu, jadi sayang sekali kalau aku lewati sia-sia.

Pukul 01.30, akhirnya Karin dan aku menuju rumah Karin. Dan tepat sekali Cyrill terbangun dan langsung mencari mamanya yang belum ada di sampingnya saat itu. Anak itu tak takut sama sekali dengan orang baru. Dari Cyrill lahir 3.5 tahun lalu, aku baru 3 kali melihat & bertemu dengannya, yaitu saat ia baru saja lahir, kurang lebih 1 tahun lalu saat di Senayan City, dan akhir pekan ini.

Setelah berganti pakaian dan sedikit membersihkan diri, aku langsung tidur di tempat tidur yang biasa dipakai Cyrill tidur. Ternyata anak kecil itu marah tidak memperbolehkan tempat tidurnya diambil orang lain. Sempat aku juga ikut berusaha membujuknya, tapi tak kunjung berhasil. Hingga alihan perhatian dari sang mama tercinta kembali membuatnya kembali tersenyum. Saat aku tak tahan lagi menahan mata ini terbuka, Karin masih sibuk dengan Cyrill. Tak tahu mereka tidur jam berapa.

Pagi hari, 05.30 aku sudah terbangun, karena kebelet pipis. Lalu aku kembali tidur sebentar, dan pukul 06.00 aku bangun untuk berdoa Malaikat Tuhan, dan langsung bermain dengan Joey. Golden Retriever satu-satunya milik Karin & Yudha. Saat itu tuan rumah belum ada yang bangun tidur.

Yudha pukul 06.30 akhirnya terbangun, karena Sabtu itu ada kuliah. Ternyata dia sedang melanjutkan studi S2-nya, yang juga baru aku ketahui saat itu. Karin dan Cyrill pun tak lama kemudian bangun. Dan langsung Cyrill meminta mama-nya untuk menghidupkan Play Station.

Bermain dengan Cyrill sebentar, lalu aku dan Karin berjalan kaki menuju rumah Mas Wawan. Cyrill kami tinggal dulu di rumah, karena ia harus disuapi makan siangnya terlebih dulu. Sampai rumah Mas Wawan, ia baru saja selesai mandi. Sambil menunggu Cyrill selesai makan, dan menyusul ke rumah Mas Wawan, kami ngobrol bertiga. Lagi-lagi aku lupa apa yang kami bicarakan saat itu.

Setelah "pasukan" lengkap, dan perut sudah merasa keroncongan, karena kita bertiga belum sarapan, kami pun langsung bergegas keluar kompleks dan mencari makanan. Akhirnya kami memutuskan makan siang di Restoran Ny. Suharti, tak jauh dari kompleks. Sekitar pukul 14.30, kami sudah selesai makan, dan akhirnya memutuskan untuk menuntaskan rencana kami berkaraoke. Sebenarnya hal ini ingin kami lakukan beberapa minggu lalu, setidaknya ini yang aku bicarakan dengan Mas Wawan saat kami mengobrol di Yahoo Messanger. 3 jam kami karaoke, lengkap dengan Cyrill yang menyanyikan lagu Balonku, Cicak, Twinkle-twinkle Little Star.

Setelah puas berkaraoke, kami pulang. Kali ini kami mengantarkan Cyrill pulang terlebih dulu. Aku dan Mas Wawan mampir sebentar ke rumah Karin.

"Nanti elu berdua duluan aja pulang ke rumah Mas Wawan, ntar gue nyusul ama Yudha. Gue nidurin ini dulu."

"Yoi."

Begitu Karin bilang ke Abang Cyrill bahwa aku ingin pulang, dia mulai marah.

"Tidak, tidak boleh pulang."

Sambil ia menghalangi pintu dengan kedua tangannya yang direntangkan hingga menyentuh ke dua sisi pintu garasi, yang tak terlalu lebar.

"Bang Cyrill, nanti tante balik lagi. Kemaren khan tante Ocha ngga boleh tidur di tempat tidur Abang."

"Sekarang boleh."

"Oh sekarang udah boleh? Ma aci ya. Kalo gitu, tante makan dulu di rumah Oom Wawan ya."

"Makan di sini aja."

"Nanti makannya Cyrill abis, terus tante tadi 'dah beli makanan di rumah Oom Wawan."

"Ada kok tante, banyak makanan Cyrill."

"Tapi tante khan harus mandi."

"Tante mandi sini lagi aja."

"Baju tante 'dah tante pindahin ke rumah Oom Wawan, Sayang. Tuch Oom Wawan 'dah mau pulang."

"Oom Wawan biar pulang aja sendiri. Hush, hush...", yang ia lakukan sambil berlaga mengusir Mas Wawan pulang.

"Ya udah, nanti tante balik lagi ke sini ya Bang. Boleh ngga?"

"Ya udah deh."

"Dagg, Abang."

Aku dan Mas Wawan kembali di rumah. Pekerjaan utama kali ini adalah membuat duplikat koleksi lagu yang ia miliki. Hal itu aku kerjakan sambil menunggu Mas Wawan selesai mandi. Semua masih aku lakukan di meja makan. Setelah ia selesai mandi, kami kemudian kembali mengobrol. Sampai aku sendiri merasa gerah, dan akhirnya memutuskan untuk mandi. Air hangat, handuk bersih dan sikat gigi, semua sudah disediakan oleh tuan rumah yang baik, di dalam kamar mandi.

Segar betul aku rasa, setelah aku mandi. Sekeluarku dari kamar mandi, aku lihat Mas Wawan sedang menikmati koleksi CD-nya, sambil duduk di sofanya yang super empuk dan enak. Tanpa berpikir panjang aku bergabung di sofa panjang berbentuk L, sambil memeluk bantal-bantal yang semakin membuat orang malas beranjak dari sana.

Obrolan awal kami buka dengan pembicaraan seputar lagu yang kami dengar. Hingga aku sedikit merasa ada satu hal aneh di sana.

"Mas, ini kalo ada orang di belakang ngeliat kita gitu ya, dikiranya lagi nonton tivi. Tapi kok tivinya ngga nyala ya. Yang ada tivinya cuma ada di otak kita masing-masing gituh."

Obrolan berlanjut. Dan akhirnya membicarakan seputar aku, seseorang, dan seputar aku dan orang tersebut. Yang tak tahu bagaimana awalnya hingga bisa sampai ke arah sana. Seru emang ngobrol tentang psikologi dan para psikologi, dengan manusia "sakit jiwa" yang satu ini. Tanggung jawabnya di kantor yang juga mengurusi orang-orang dengan sakit jiwa mereka masing-masing, ditambah dengan kemampuannya "membaca" orang, yang tak dimiliki oleh semua orang. Sebenarnya aku bingung manusia ini benar-benar manusia, dukun, gabungan keduanya atau bukan dua-duanya. Pada akhirnya dari semua obrolan kami berdua saat itu, aku cuma bisa bilang..

"Damn, that's so true, Mas!"

Di tengah obrolan kami saat itu, Karin sempat menelepon kami.

"Nyet, di mana lu?"

"Di rumah."

"Hmm, Cyrill belom tidur nih. Elu pulang malem ini?"

"Rencananya sih gitu."

"Kalo ngga elu pulang besok aja lah. Besok gue mau ke kota juga."

"Elu mau ke tempat RV? Ntar bakal terjadi tragedi Balai Kartini lagi."

"Ya, ngga lah. Ntar elu gue turunin di mana gituh."

"Gampanglah, liat ntar."

Setelah ia menutup telepon, kami berdua kembali melanjutkan obrolan. Hingga Karin dan Yudha sendirilah yang "memaksa" kami berdua pun beranjak dari sofa itu, dan menghentikan obrolan kami, karena mereka berdua datang. Saat itu sekitar pukul 20.30. Yang tadinya aku ingin pulang, tapi akhirnya aku urungkan.

Sepertinya titik favorit di rumah Mas Wawan adalah seputar ruang makan dan dapur. Maklumlah, posisinya dekat dengan lemari pendingin, dan arena penyimpanan bahan-bahan makanan dan minuman enak. Seperti biasa, dari dulu jika kami berkumpul, topik yang paling menarik perhatian adalah dunia seputar perdukunan dan klenik-klenik yang memang tak pernah tak seru. Obrolan itu tak lepas dari tawa lepas kami berempat, seperti tak peduli dengan tetangga di sebelah rumah, yang sudah kami yakini tak akan berani protes dengan kegaduhan 4 orang yang sudah seperti kegaduhan 10 orang ini.

"Shit, I miss this situation. I miss you all guys, where have i been, where have you been?"

Itu salah satu pikiranku saat itu. Aku pun kemudian mantap untuk membatalkan rencanaku pulang ke rumah malam minggu ini, dan memutuskan untuk menghabiskan satu malam lagi dengan mereka.

Kira-kira pukul 00.30, aku bilang ke tuan rumah.

"Mas, mana, keluarkeun kertunya? Main kertu aja kita."

Ia pun langsung bergegas ke atas mengambil kartu remi. Dan dimulailah "pembunuhan berantai" yang dilakukan secara bergantian oleh kami berempat ini. Permainan 7 spade yang kami lakukan memang seru. Ditambah dengan "otak kriminal" kami berempat yang sepertinya tak mau kalah satu dengan yang lain. Intinya seru, dan jelas penuh tawa lepas. Dan ini kami lakukan kurang lebih selama 3.5 jam, yaitu kurang lebih pukul 04.00, bersamaan dengan para maling yang baru memulai aksinya. Dan seri "pembunuhan berantai" itu kami akhiri dengan tawa lepas kami berempat saat Mas Wawan menyarankan Yudha untuk menguruskan badan, dengan melakukan "mutih" selama 12-14 hari. Omongan Mas Wawan itu, langsung aku sahut dengan...

"Kalo gue yang ngelakuin itu, gimana Mas?"

Tiba-tiba malah si laki-laki batak yang menyaut...

"Kalo elu yang njalanin itu 'Cha, terus kalo ada orang yang manggil elu, elu jawabnya bakal tinggal 'pret', alias kentut lu doank."

"Siyal, lu 'Dha."

Anyway...it's great weekend...with you all guys...Cyrill nanti tante main lagi ke rumah Cyrill ya...

Love you all guys...Now I'm more ready to wake up and smell my cappucino...

Jumat, November 21, 2008

Tak Mungkin Cawan Itu Lewat Daripadaku

Mungkin sering kali kamu mendengar pertanyaan seperti ini..

"Kalau kamu ingin memutarbalikkan waktu, kira-kira kamu ingin kembali ke masa hidupmu yang mana?"

Dan jika aku diberikan pertanyaan itu saat ini, aku akan menjawab..

Sama sekali aku tak ingin kembali ke masa lalu, dan tak mungkin. Banyak hal indah memang. Namun tak sedikit pula hal yang menyakitkan hati. Hal yang harus dilalui dengan masa-masa yang tak menyenangkan untuk mengsinkronisasi antara logika dan perasaan. Masa-masa yang diwarnai penyangkalan yang sering timbul dan tenggelam. Tentu banyak sekali mereka yang menjadi bagian hidupku. Ada yang aku cintai, dan sebaliknya aku benci. Entah mana yang terlebih dahulu. Ada yang awalnya sering sekali bercakap-cakap denganku tentang banyak hal, kemudian kami sama-sama tak meninggalkan bekas, menghilang tak tahu ke mana, atau bahkan sebaliknya.

Saat ini yang hanya aku inginkan...

Izinkan aku mampu untuk terus bertahan dalam kancah peperanganku..

Biarkan aku terus berkeras hati untuk mau dan mampu bangkit dari tersungkurnya aku..

Biarkan detik-detik itu berlalu dan mengembalikan senyumanku, yang tak lagi merupakan topeng 1000 wajah..

Walau mungkin semasa itu, aku harus melangkah keluar dari dunia..

Menulikan telinga dan membutakan mata sejenak..

Agar damai hati membawa kaki ini bisa melangkah tanpa goyah..

Selasa, November 18, 2008

Kembali ke Sekolahku Tercinta...

Hari itu 15 November 2008, tepatnya hari Sabtu, aku kembali merencanakan bertemu dengan teman-teman seperjuangan saat kami duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Masa-masa kehidupan yang menurutku selalu penuh dengan sukacita, kebahagiaan dan terutama masa kehidupan tanpa beban yang berarti.

Seperti biasa, pemberitahuan aku sebar melalui milis dan situs jejaring facebook. Cukup banyak tanggapan dan konfirmasi dari teman-teman yang menyatakan akan datang. Namun seperti biasa juga, pada saat hari yang telah ditentukan, mereka yang benar-benar hadir jumlahnya lebih sedikit dibandingkan konfirmasi yang aku terima. Itu semua tak menyebabkan kesenangan menjadi sirna saat kami ber-sebelas berkumpul di sekolah.

Sekolah tak lagi seperti dulu. Gedung sekolah jauh lebih bagus dibandingkan dengan 14 tahun lalu, saat kami sudah dinyatakan berhasil dan laik untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kenangan-kenangan indah yang ada dibenak kami pun kembali muncul seperti film yang sedang diputar. Perubahan gedung, yang juga menyebabkan beberapa ruang kelas yang dulu kami tempati hilang, tak membuat kenangan itu juga hilang.

Satu yang menurutku sangat disayangkan, kami tak bisa bertemu dengan semua guru yang dulu sempat mengajar kami. Sebagian dari mereka sudah banyak yang pensiun atau bahkan sudah selesai menuntaskan tugas hidup mereka di dunia ini. Hanya lima orang guru kami dulu, yang masih mengajar hingga saat ini.

Begitu juga dengan pihak keamanan sekolah. Dari tiga orang satpam, satu diantaranya juga sudah meninggal. Padahal dulu kami banyak sekali dibantu oleh bapak-bapak satpam ini, terutama bagi kami yang langganan datang terlambat ke sekolah. Pintu gerbang yang sudah ditutup pukul 07.00 pagi, sering kali mereka bukakan kembali. Sehingga kami tak perlu kehilangan seluruh mata pelajaran. Mungkin mereka tak tega melihat kami harus pulang, hanya karena telat beberapa menit masuk sekolah. Dan akhirnya mereka meminta kami untuk melapor ke guru piket di perpustakaan untuk mengikuti pelajaran mulai jam ke-2.

Perjalanan utama kami kembali ke sekolah adalah untuk menikmati jajanan-jajanan yang dulu selalu kami serbu sepulang sekolah. Posisi jajanan ini tak lagi sama seperti dulu. Sekarang sudah bertenda, namun pedagang makanan ini kurang lebih masih sama. Kami akhirnya memilih untuk menikmati mie ayam Rus. Senangnya saat kami datang, Rus pun masih mengingat kami. Nikmatnya mie ayam ini juga tak berubah, masih tetap enak. Salah satu dari kami memutuskan untuk menikmati siomay Johni (almarhum) yang sekarang diteruskan oleh anaknya. Rasanya pun masih tetap enak. Sayang, Johni sudah meninggal karena sakit, sehingga kami tak bisa berbincang-bincang dengannya seperti kami berbincang-bincang dengan Rus.

Aku merasa sangat beruntung, karena pilihan tanggal kami berkumpul ini sangat tepat. Hari itu ada penutupan PL CUP X, yang tentunya membuat sekolah meriah dan ramai, karena biasanya hari Sabtu, seluruh kegiatan belajar mengajar ditiadakan, kecuali kegiatan ekstra kurikuler. Setelah puas menikmati jajanan penuh kenangan tadi, kami kemudian kembali ke dalam sekolah, untuk kembali menemui guru-guru kami, terutama mereka yang tadi datang terlambat dan belum sempat bertemu dengan para guru.

Setelah itu, kami ke arena lapangan basket, dan sepak bola belakang, yang letaknya di tengah-tengah antara gedung TK-SD PL dan juga gedung SMP PL. Sudah banyak berubah. Lebih bagus, dan bertribun. Memori yang paling melekat adalah saat pelajaran olah raga. Dulu kami sering sekali disuruh lari berkeliling lapangan tersebut. Jumlah banyaknya putaran yang berhasil kami lakukan menjadi indikator dari nilai yang akan diberikan Pak Diardjo. Otak kriminal kami pun berfungsi dengan baik. Sambil berlari kami membawa satu plastik spidol aneka warna untuk menambahkan turus di kertas penilaian yang kami bawa sambil berlari. Hal ini lama-kelamaan diketahui oleh Pak Diardjo. Ia pun tak mau kalah. Ia juga menyediakan spidol aneka warna. Dan ia menambahkan turus setiap putarannya dengan warna spidol yang berbeda. Jadi para muridnya tak bisa lagi berbuat curang. Guru belajar juga dari muridnya bukan?

Akhirnya perjalanan kami hari ini, kami tutup dengan kongkow-kongkow sambil minum kopi. Tempat yang kami tentukan adalah Pondok Indah Mall. Pusat belanja yang sering kali menjadi tempat nongkrong kami dulu. Bahkan mungkin jadi rumah ke-2. Maklumlah pusat perbelanjaan ini baru dibuka tahun 1991, serasa menyambut dan memeriahkan masa-masa ABG kami dulu. Dan ternyata masih menjadi bagian hidup kami seperti belasan tahun lalu?

Untuk semua guru, karyawan tata usaha, petugas keamanan, pedagang kantin, dan pedagang jajanan di depan sekolah, kami hanya bisa mengucapkan terima kasih telah menjadi bagian hidup kami. Tanpa kalian, kami tak akan bisa seperti sekarang ini. Semoga masih ada kesempatan untuk kita bertemu nanti.

Info terkini tentang SMP PL:

Hari Sabtu libur *udah beberapa tahun ini ternyata*

Gedung sekolah, jelas lebih bagus. Yang dulu deretan ruang kepala sekolah, TU, itu sekarang sudah 3 tingkat. Aula sudah lebih besar dan menyebabkan kelas 3C dan 3D dulu hilang. Kelas 3A dulu sudah menjadi WC wanita. WC pria tetap seperti dulu. Perpustakaan masih di tempat yang sama, walau tak seluas dulu. Ada ruang doa dan ruang musik. Ada laboratorium komputer. Sudah tidak ada lagi ring basket di dalam sekolah, semua fasilitas olah raga dipusatkan di belakang, dan sudah bertribun.

Guru-guru yang sudah meninggal : Pak Aris (dulu mengajar Agama Katholik), Pak Theo (dulu mengajar Sejarah, Menggambar, PSPB), Pak Sutrisno (dulu mengajar Lab. Fisika), Pak Parno (dulu mengajar PMP, beliau meninggal di LA, USA), Bruder Octave (dulu mengajar Aljabar), Bruder Isnaryoto (Kepala Sekolah, meninggal karena sakit gula), Pak Budiono (Wakil Kepala Sekolah).

Guru-guru yang sudah pensiun: Bu Ledjati (dulu mengajar B.Indonesia kelas 1-2), Pak Parsudi (dulu mengajar B. Indonesia kelas 3), Bu Lucy (dulu mengajar B. Inggris kelas 1), Pak Sulis (dulu mengajar B.Inggris kelas 2-3), Bu Eveline (Dulu mengajar Seni Musik kelas 3), Pak Sumantoyo (Dulu mengajar Geografi kelas 2), Pak John (Dulu mengajar Matematika kelas 3).

Guru-guru yang pindah mengajar atau mengundurkan diri: Pak Diardjo (Guru olah raga. Berhenti setelah ia bercerai dengan istrinya dan menikah lagi), Bu Yani (Guru Seni Musik 1-2), Pak Wanto (Guru olah raga. Ternyata Pak Wanto ini dulu hanya guru sementara).

Guru-guru yang masih aktif mengajar : Bu Tuti (Dulu dan sekarang masih mengajar Ekonomi), Pak Kasidjo (Dulu mengajar Tata Buku, sekarang mengajar Akuntansi), Bu Narti (Dulu dan sekarang mengajar Biologi), Pak Harsono (Dulu mengajar Matematika, Fisika, sekarang mungkin masih sama, kemarin aku sedang sibuk mengambil gambar saat yang lain sedang berbincang-bincang tentang ini), Bu Agnes (Dulu dan sekarang masih guru BP), Bu Dewi (dulu tidak sempat mengajar kita, tapi waktu kita kelas 3, ia baru masuk dan mengajar Matematika kelas 1).

Karyawan TU yang masih ada: Pak Wito, dan Bu Ati.

Petugas Satpam yang masih ada: Pak Dominggus, dan Pak Jafet.

Petugas Satpam yang sudah meninggal: Pak Pendi.

Jajanan yang masih ada: Soto, Mie Ayam Rus (yang jualan juga masih sama), Somay Johni (yang jualan sekarang anaknya Johni).

Eh, ngomong-ngomong kemarin Rus nanyain tuch, masih ada yang punya utang? Namun sepertinya dia cukup rela untuk tak dibayar...hahahha...

Ya sudah teman-teman, itu informasi terakhir tentang SMP PL kita tercinta. Mudah-mudahan masih akan terus hidup dan berjaya seperti lagu mars kita dulu....

Hiduplah SPL, Hiduplah SPL, SPL suburkanlah...Harumkanlah namamu, Tunjukkanlah baktimu, Berbakti dengan suka rela hati untuk Tanah Airku.

Jumat, November 14, 2008

Aku Ini Hamba Tuhan, Terjadilah Padaku Menurut Perkataan-Mu

Langkah kaki ini, tiba-tiba kembali lunglai. Langkah pasti yang baru saja mulai kudapatkan lagi, kembali terhenti. Jawaban itu akhirnya kudapatkan, dan kali ini adalah pasti, nyata untuk membuatku kembali tersungkur.

Sudah siapkah aku menurut-Mu? Seperti yang selama ini aku mohon di dalam obrolanku dengan-Mu setiap hari. Apakah ini semua memang hanya tentang kompetisi dan ego, seperti yang ia katakan?

Dalam tersungkurnya aku, aku hanya mencoba meraih harapan. Dan mencoba kembali meraih sebuah tangan yang tak terlihat, namun selalu setia menemaniku. Tangan yang tak henti menuntun langkahku, namun seringkali kuabaikan. Dan aku percaya Ia tak akan tinggalkan diri ini.

Akhirnya aku pun mulai kembali terangkat. Berhasil mengangkat kepalaku. Menyeka tetes peluh dan air mata, yang sudah aku cukupkan. Kembali bisa berdiri dan melangkah menghadapi kancah peperangan sesungguhnya yang sempat kutinggalkan.

"Kamu terlalu hebat untuk kalah dengan semua ini."

Suntikan penambah semangat itu ada di kotak masuk alamat surat elektronik milikku. Dan akan selalu membuatku bernyanyi..."Menarilah dan Terus Tertawa, Walau Dunia Tak Seindah Surga"

Maaf, "medan perang" di depanku terlalu indah untuk tak aku nikmati. Dan aku juga yakin, milikmu tak kalah menarik. Biarkan kaki-kaki ini melangkah ke dalamnya...

Senin, November 03, 2008

Jangan Biarkan Lembar Itu Terbuka...

Ingin berlari...

Lalu menghilang...

Ingin berteriak...

Dan terdiam...

Ingin biarkan ia mengalir...

Tapi cukup sudah tetesannya...

Ingin ku tutup buku ini...

Namun angin membuat lembarannya terbuka...

Ingin berlari...lagi...

Lalu menghilang...lagi...

Tak pernah kembali...

Bahkan menoleh ke belakang...

Jangan berdiri di sana...

Bayangan itu seperti hantu...

Biarkan ku sendiri...

Mengejar pelangiku...