Jumat, Februari 29, 2008

Informasi Klinik Hewan, Dokter Hewan, Toko dan Salon Hewan...

Informasi Rumah Sakit, Klinik dan Dokter Hewan (Jakarta Selatan, Barat, Utara)

Rumah Sakit Hewan Jakarta: JL. Harsono RM No.28, Kompleks Ragunan. Telp: 021-7891091-95. Fasilitas: Emergency Room 24 Hours, Rawat Inap, Rawat Jalan, Ruang Operasi, USG, dll.

Praktek Dokter Hewan Bersama Drh. Cucu Kartini, dkk (Sunter 24 Jam): Jl. Sunter Permai Raya Ruko Nirwana, Sunter Asri Tahap III Blok J-I No.2 Jakarta Utara Telp: 021-6515261-62.Fasilitas: Rawat Inap, Rawat Jalan, Dokter Jaga 24 Jam, Klinik khusus bersalin dan penitipan hewan sehat, salon hewan, ruang operasi, laboratorium, apotik, dll. Berdasarkan pengalaman pribadi, saya pernah bawa anjing saya yang sedang sakit dan darurat ke klinik ini jam 2 pagi, dan langsung ditangani dokter yang bertugas di sana. Untuk hewan yang memerlukan operasi cukup berat atau penanganan yang ekstra, biasanya pemilik hewan memilih Drh. Cucu sendiri yang menangani hewan peliharaannya tersebut. Kalau jadwal belum berubah, di Sunter Drh. Cucu praktek pada hari Senin sore, dan Rabu pagi yang dikhususkan untuk jadwal operasi yang masih bisa dijadwalkan.Praktek Dokter Hewan Bersama Drh. Cucu Kartini, dkk (Green Garden, TIDAK 24 Jam). Jam Praktek : Senin-Sabtu 09.00-20.00. Minggu 16.00-20.00. Jl. Panjang Ruko Green Garden Blok I No. 9 Jakarta Barat (Ruko tepat di belakang Mc. Donald's Jl. Panjang) Telp: 021-58302918-19. Fasilitas: Rawat Inap, Rawat Jalan, ruang operasi, apotik, penitipan hewan sehat. Informasi tambahan mohon lihat informasi pada poin sebelumnya. Sedangkan jadwal praktek Drh. Cucu di Green Garden, pada hari Selasa jam 09.00-15.00. Pemilik dimohon langsung datang ke klinik untuk mendaftar. Tidak ada perjanjian lewat telepon. Biasanya saat Drh. Cucu praktek, antriannya sangat panjang, jadi saya sarankan untuk datang pagi, apalagi di Green Garden jadwal operasi yang di pegang Drh. Cucu juga dilakukan pada hari yang sama, di jam praktek beliau. Jadi kalau beliau ada jadwal operasi otomatis akan menunggu lebih lama. Antrian dibatasi hanya sampai 15-20 pasien. Jika kuota habis, maka akan ditangani oleh Drh. Suswanto. Informasi ini berdasarkan pengalaman pribadi saya.

Drh. Rini S. Dharsana: Jl. Tanjung Duren Barat II/60. Tomang Barat Jakarta Barat. Telp: 021-5684683. (Baik untuk vaksinasi hewan yang bisa dipastikan dalam kondisi sehat, karena harganya terbilang cukup murah. Sedangkan untuk hewan sakit, dianjurkan untuk diperiksakan ke klinik hewan yang fasilitasnya lebih lengkap.)

Drh. Gustaf: Saya tidak tahu alamat persisnya, namun rumah tinggal beliau di daerah Larangan Ciledug Tangerang. Beliau bisa dipanggil ke rumah, jika pemilik tidak bisa membawa hewan peliharaannya ke klinik atau dokter hewan terdekat. Telepon Drh. Gustaf yang saya punya, adalah nomor telepon seluler beliau, tidak etis rasanya kalau mencantumkan nomor beliau di blog saya ini. Namun jika memerlukannya bisa kirim surat elektronik ke alamat saya, nanti akan langsung saya balas, lewat jalur pribadi.

Drh. Iwan: Sama halnya dengan Drh. Gustaf, dan tempat tinggal beliau di Komp. Palem Ganda Asri, Karang Tengah Ciledug Tangerang. Bisa dipanggil, jika ada yang memerlukan nomor telepon beliau, bisa kirim surat elektronik ke alamat saya.

Pondok Pengayom Satwa: Jl. Harsono No: 1. Namun letaknya ada di daerah Komp. Kebun Binatang Ragunan. Dekat Rumah Sakit Hewan Jakarta. Telepon: 021-7805280. Fasilitasnya: rawat inap, rawat jalan, penitipan hewan sehat, adopsi binatang (Terus terang saya lupa ada biayanya atau tidak, namun jika ada, sepertinya biaya yang dikenakan tidak semahal kalau kita beli anjing atau kucing di toko hewan. Pihak pondokan akan memeriksa dahulu calon pemiliknya. Dulu waktu saya bertanya langsung ke mereka, salah satu prosedur adopsi, mereka akan mengunjungi rumah keluarga yang akan mengadopsi (dan diutamakan mereka yang sudah pernah memelihara binatang), kompleks pemakaman hewan kesayangan(dari binatang yang besar termasuk kuda, sampai binatang kecil, pondokan hewan (untuk hewan liar, yang tidak tega untuk ditelantarkan, tetapi kita tak sanggup memeliharanya. Sebaiknya telepon terlebih dahulu, biasanya binatang yang ingin diberikan ke pondokan ini, harus masuk ke daftar tunggu terlebih dahulu). Dengan senang hati menerima sukarelawan yang ingin ikut merawat hewan-hewan di sini. Begitu pula dengan sumbangan uang maupun makanan hewan, karena sebagian besar, biaya operasional ditanggung oleh pendiri pondokan ini (informasi saya dapatkan pada tahun 2005, saat saya berkunjung ke sana. Jika ada informasi baru, bisa tolong dibagikan juga di sini). Informasi lainnya juga bisa didapatkan dengan mencari di search engine, dengan kata kunci: pondok pengayom satwa Jakarta.

Informasi Toko Perlengkapan dan Salon Hewan (Jakarta Selatan, Jakarta Barat)

Pets Mart Pet Shop dan Grooming Salon: Jl. Kemang I No. 9. Kemang Jakarta Selatan. Telp: 021-71791363. Menyediakan pakan hewan lengkap, kandang, perlengkapan, menjual hewan peliharaan, jasa salon hewan. Menerima pembayaran dengan kartu kredit. Bisa pesan melalui telepon dan diantar.

Gracia Pet Shop: ITC Kuningan Lt. 4. Telp: 021-57934796

Kebon Jeruk Pet Shop: Jl. Lapangan Bola No. 34 G Kebon Jeruk Jakarta Barat. Telp: 021-5327648 (dekat pertigaan relasi Jl. Panjang). Menerima pembayaran dengan kartu kredit dan debit. Menyediakan pakan hewan (beberapa merk di antaranya Pro Plan, Science Diet, Eukanuba, Royal Canin, Alpo), kandang hewan, perlengkapan dan asesoris, shampo, vitamin, obat kutu, dan jasa salon hewan. Juga menjual hewan peliharaan (umumnya anjing jenis kecil). Pesanan bisa diantar, ada batas daerah pengiriman, jika terbilang cukup jauh, akan dikenakan ongkos antar. Berdasarkan pengalaman harga pakan hewan di sini sangat kompetitif dibandingkan tempat lain, dari dua tempat lain yang telah saya bandingkan, perbedaan harganya sekitar 20-25 ribu. Apalagi jika di rumah, koran bekas sudah menumpuk, toko hewan ini menerima koran bekas, dan akan dibeli dengan harga Rp.1.000/kg. Menurut saya lumayan untuk mengurangi harga pakan hewan yang kita beli. Kalaupun hanya ingin menjual koran bekas ke mereka juga diperbolehkan.

Sejauh ini, informasi mengenai klinik dan toko hewan yang saya dapatkan baru yang tertera di atas, jika ada informasi baru nanti akan saya informasikan kembali. Ini semua memang seperti iklan, namun bagi saya, pencinta binatang, informasi ini saya rasa akan ada manfaatnya bagi mereka yang mempunyai binatang peliharaan di rumah.Semoga bermanfaat.

Kamis, Februari 28, 2008

Seperempat Manado, Tiga Perempat Jawa...

Terlahir dari ayah seorang Jawa tulen, dan ibu yang merupakan campuran Jawa dan Manado. Itulah aku.

Ibuku yang sangat pandai memasak, walau semakin beliau tua, semakin jarang ia memasak untuk kami. Kami berlangganan katering untuk keperluan makan sehari-hari. Namun katering itu biasanya hanya bertahan sampai sore hari, sedangkan malam mau tidak mau ibu menyediakan makanan untuk kami sekeluarga, walau sangat sederhana.

Tak diragukan, masakan beliau, sangat lezat. Apapun yang dimasaknya, sesederhana bahan-bahan dan bumbu yang diolah, tetap akan terasa lezat. Ya, mungkin karena masaknya juga dengan cinta, jadi rasanya pun berbeda.

Apalagi jika menjelang hari raya natal. Saat hari besar itu, dulu, semua adik-adik ibu yang berada di Jakarta, datang ke rumah kami. Maklum, ibuku anak paling tua di keluarganya, jadi rumah kami, biasanya jadi kunjungan utama tali silaturahmi semua keluarga yang ada di Jakarta. Hampir tidak ada yang absen pada acara itu, dan sebelumnya mereka sudah menelepon menanyakan masak apa di hari natal itu.

Jika dilihat dari garis keturunan ibuku, sebenarnya beliau lebih sering mengaku orang Jawa, karena ayah beliau yang orang Jawa tulen, barulah ibu beliau orang Manado tulen. Namun tak tahu mengapa, dari waktu ibu masih di rumah orang tua beliau, masakan yang sering menjadi menu utama di rumah adalah masakan Manado. Jarang sekali mereka memasak masakan Jawa, padahal mereka saat itu masih tinggal di Magelang, Jawa Tengah. Kebiasaan inilah yang juga turut dibawa saat ibu pindah ke Jakarta.

Dari kecil di rumahku sering sekali tersedia masakan Manado, dari pada masakan Jawa. Semua menu masakan Manado ini, lengkap hadir di meja, saat perayaan Natal di rumah. Sebut saja ayam rica-rica, sup kacang merah dan 'daging' kecap yang keduanya mengandung daging haram bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bubur manado lengkap dengan ikan asinnya, ikan roa, tinorasak, kecuali RW, karena kami sekeluarga pencinta dan memelihara binatang yang dagingnya menjadi bahan utama masakan ini. Oh ya tak ketinggalan sambal dabu-dabu. Sayang klaper tart tak pernah dibuat oleh ibu, padahal aku juga suka.

Waktu kecil aku tidak suka masakan pedas. Ayam rica yang diolah, biasanya aku makan tanpa cabai-cabai yang bertebaran di atasnya, jadi rasanya tak terlalu pedas. Begitu pun juga dengan sambal dabu-dabu, dulu aku tak berani menyentuhnya, tak tahan lidah ini menggigit cabai rawit, cabai merah, yang dilengkapi dengan bawang merah, tomat hijau dan merah ini. Namun karena masakan-masakan seperti itu sering tersedia di rumah, dan saat aku melihat orang-orang menyantapnya tampak menggugah selera, aku jadi berani mencoba makanan yang menggunakan bumbu-bumbu super pedas itu dan juga sambal dabu-dabu. Terbakar memang lidah ini saat menyantap makanan-makanan tersebut. Namun rasa enaknya menghapus penderitaan terbakarnya lidah.

Sambal, pedas, sambal, pedas, sekarang tak ragu lagi aku santap. Penggugah selera, penambah napsu makan, enak, dan yang jelas merupakan salah satu bukti cinta ibuku kepada keluarga.

Besok bikinin sambal dabu-dabu lagi ya maaa...heheheh...nyam-nyam-nyam...

Kusebut Perjalanan Menuju Surga

Kusyuk doa, yang jarang aku lakukan, terucap dari hati..Saat aku berada antara langit dan bumi..Saat 'burung besi' bersayap nan kokoh dan 'berkaki' roda membawaku menuju tempat istimewa..

Bali?

Tak pernah mengecewakan aku..
Ratusan tempat belanja, berjuta sajian menu makanan, rasa senang yang tak ternilai, daftar aneka hiburan, serta pengalaman berjuta rasa. Membuatnya cukup pantas disebut dengan surga dunia..

Nuansa magis tak pernah lekang terkikis kejamnya dunia..Magis membuat diri lena terhipnotis..Terpanggil menujunya..

Teriknya matahari takkan pernah meringkukkan badan ini..Terbakarnya kulit oleh-oleh istimewa darinya..

Bulan cinta ini belum berakhir..Cinta akan dirinya juga belum berakhir..Ini kali ke tiga dalam satu tahun terakhir, aku mencari kesenangan sesaat di sana..Ia tak pernah membuatku bosan..
Bali tak pernah ada habisnya melenakan diriku..Kantong-kantong belanjaan yang aku bawa pulang dan menambah penuh gantungan bajuku, takkan pernah kusesali..

Duduk sendiri di pesawat, disuguhi pemandangan langit terang, putihnya awan atau kelamnya malam dan mendung, tak henti membuatku kagum akan dahsyatnya semesta..

Sapaan ramah, senyum manis dari orang yang berpapasan, membuatku tersentak sebentar..Menyadari hal yang hilang di kehidupanku di Jakarta..

Seakan larangan di sini sirna..Tubuh seakan dijajakan..Dibiarkan menerima hamparan sinar mentari..Tak aneh..Seolah tak ada yang peduli..Walau tak jarang dosa terjadi di sana..

Bukan berarti tanpa aturan, bukan berarti tanpa norma, bukan berarti religi terhapus..Hamparan sesajen berderet di sepanjang rumah, toko, membuat semerbak kendaraan..Langkah kaki pun mencoba memberi hormat untuk sebokor aneka sesaji itu..

Kecap lidah ini ingin selalu dipuaskan..Sepiring makanan enak tak henti dicari dan disajikan..Pegal kaki berkeliling tak kuhiraukan lagi..Bagiku memilih satu dari ratusan tempat makan di sana, bagai memilih pasangan hidup..

Sinting aku dibuatnya..Menu-menu yang disediakan di depan restoran selalu membuatku tergiur..Surga kuliner aku temui di sini..Kembali tak satupun dari kecap lidah ini, membuatku kecewa..Kembali membuatku memanggil Sang Pencipta..Lagi syukurku terucap..

Pasir putih yang menyelimuti kaki..Birunya laut dihadapanku..Serta langit terang bertebar sinar mentari di atasku..Semilir angin yang menerpa wajah..Membuatku selalu terpana..Dan meminta mereka agar jangan murka..

Akhir pintaku..Biar kaki kembali berjalan menuju surga..Hingga syukur itu dapat membawaku menuju surga sesungguhnya..

Rabu, Februari 27, 2008

Cinta dari Segala Cinta...

Tak tahu mengapa setelah aku pulang berlibur, baru hari ini aku kembali duduk berjam-jam memainkan piano dan bernyanyi. Sedikit aneh memang, karena biasanya tidak ada satu hari pun aku lewatkan untuk jariku 'berdansa' di atas tuts, dan mulut ini mulai mengeluarkan nada yang terharmonisasikan dengan baik, sehingga menjadi sebuah lagu.

Dari sekian banyak part lagu dari berbagai genre, lagu berjudul "The Greatest Love of All" yang dinyanyikan dan dipopulerkan oleh Whitney Houston, merupakan salah satu lagu kesukaanku.

Whitney..hmm..perempuan yang memiliki suara emas ini, memang tak diragukan lagi untuk urusan menyanyi. Lagu apapun bisa sukses ia nyanyikan dan akan terdengar indah. Apalagi lagu dengan judul yang aku tulis di atas itu. Bagiku lagu itu mempunyai nilai lebih. Lirik lagu itu mempunyai makna yang sangat dalam, dari kata pertama hingga kata di akhir lagu.

"....i decided long ago, never to walk in anyone's shadows, if i failed if i succeed, atleast i live in i believe. No matter what they take from me they can't take away my dignity...."

Akhirnya aku sadari, tak semua orang seberuntung aku.

Aku masih diberi rasa bangga dan percaya diri sendiri oleh orang-orang yang berada di sekitarku, untuk dapat melangkah memasuki masa depanku.

Walau kadang aku merasa ditinggalkan, namun ternyata cinta mereka ada dihadapanku, jika aku mau mencoba membuatnya tak lagi tampak samar.

Tangan mereka seakan tak ada untuk menolongku, tetapi saat diri ini terjatuh, dan tergopoh-gopoh untuk bangkit, uluran mereka ada meraih lemahku.

Ya, diri ini semakin dibuat dewasa oleh mereka yang ada untuk aku, yang pernah mengisi lembaran hidupku, yang mencintai ataupun membenci diri ini.

'Kertas putih' yang aku bawa saat lahir, makin hari semakin banyak 'tulisan'. Kelamnya dunia di hari esok, akan secerah mentari berkat torehan 'tinta emas' dari mereka.

Akan kucoba membuat langkah kaki ini seringan kapas yang tertiup angin, saatku berjalan di jalanan penuh kerikil tajam.

Akan terus kuhindari seribu bayang, sehingga aku bisa tentukan langkahku sendiri.

Dan aku akan terus belajar bersandar pada diriku sendiri, sampai 'kertas putih' yang aku bawa telah penuh terisi.

Sampai kaki ini harus berhenti melangkah. Sampai harus kuakhiri perjalananku. Sampai aku harus bersimpuh, meringkuk, dan menjadi debu.

Senin, Februari 25, 2008

Jurnal Si Anak Hilang...

Sabtu ini, aku bangun bukan di tempat biasanya, bukan di kamarku, bukan di rumahku, dan bukan di Jakarta...
Pagi-pagi benar makhluk yang aku kenal, telah sibuk dengan pekerjaan masing-masing...
Mata ini pun belum sepenuhnya terbuka, saat aku berjalan menuju kamar mandi...
Membasuh muka dan membersihkan gigi serta mulut akhirnya membuatku benar-benar terbangun dari tidur nyenyak semalam...
Sembari memandangi diri di hadapan cermin, aku memikirkan apa yang hendak aku lakukan hari ini...
Ini bukan kota di mana biasanya aku tinggal, dan tak biasanya aku sendirian...
Otakku kemudian berpikir keras berusaha mencari cara agar diri ini sibuk hari ini...

Tak ambil pusing, aku pun langsung menuju ruang makan, untuk makan pagi...
Nasi goreng sebanyak satu setengah sendok nasi, dua potong croissant, dadar goreng, buah-buahan adalah menu makananku pagi ini...
Tak lepas dari pengamatanku apa yang ada di sekeliling...
Tamu, adalah sebutan untuk turis, yang biasa digunakan orang Bali, yang menginap di hotel itu cukup ramai...
Tak cuma tamu lokal, tamu mancanegara pun juga banyak aku jumpai di sana...
Dari Asia, yang paling banyak adalah tamu dari Jepang, dan kebanyakan mereka sekitar usia 20-30an tahun...
Sedangkan tamu bule, berasal dari banyak negara, baik dari Eropa maupun Amerika...

Satu jam aku habiskan duduk sendiri di meja makan...
Aku pun mulai beranjak dari sana menuju ke kamar...
Brosur layanan spa hotel yang tergeletak di meja kamar, menarik perhatianku...
"Sudah lama aku tak memanjakan diri di spa."
Namun hal itu aku kesampingkan...
Aku memilih untuk nyemplung ke kolam renang, dan berenang...
Aku pun langsung berganti pakaian renang, dan menuju kolam, yang hanya empat langkah di depan kamarku...
"Brrr...dingin deh nih air, mana anginnya kenceng pulakh."
Maklum Bali baru saja berhenti diguyur hujan sesaat sebelum aku mendarat di sana...
Dinginnya air akibat angin tak lama kurasakan...
Gerakan renang dan mulai bersinarnya matahari menghapus itu semua...

Jam 10.30 waktu setempat, aku keluar dari kolam renang menuju ke kamar yang sudah dibersihkan oleh House Keeping...
Aku berencana untuk menelepon ke bagian spa, untuk membuat perjanjian...
Namun sayangnya, siang itu, semua ruang sudah penuh, dan akhirnya aku mendapat jadwal jam 16.30...
Dan setelah telepon aku tutup, aku kembali menuju kolam renang, dan melanjutkan berenang...

"Hmmm..jam berapa siy kok laper yaa."...
Akhirnya aktivitas di kolam renang sepenuhnya aku akhiri...
Kembali ke kamar, dan mandi. Eh bukan...tepatnya berendam di bath tub...
Selama berendam, aku berpikir "Enakan jalan sendirian, atau tilpun temen SMP-ku ya?"
Dilema memang, karena ia pernah berpesan padaku "Kalo ke Bali, telpon gue ya."
Tapi "Wah ini kesempatan gue jalan-jalan di Bali sendirian, jarang-jarang bisa kayak gini."
Hal itu belum aku putuskan saat aku telah selesai mandi, dan telah selesai berdandan...

Melangkahkan kaki keluar kamar, masih sambil berpikir..."Sendiri atau ada temen?"
"Good Morning."
"Morning."

Duhh..aku lupa kalau aku lagi di Bali...
Hal seperti itu yang tak aku jumpai di Jakarta sehari-hari...
Berpapasan dengan orang lain, sama saja berpapasan dengan tembok...
Namun tidak di Bali, sapaan ramah, dari siapapun sudah bukan hal asing...

Sesampai di gerbang hotel, aku akhirnya berhasil memutuskan bahwa aku akan berjalan sendiri, dan tanpa teman...
Berbekal sebuah peta, yang menurutku kurang lengkap dari peta Bali yang dulu aku gunakan saat liburan, aku pun memberanikan diri untuk melangkah...
Hal pertama yang aku cari, yaitu tempat makan...
Menyusuri sepanjang jalan Padma Utara, aku pun telah menemukan beberapa tempat makan...
Dan tak tahu mengapa, kaki ini tiba-tiba berbelok di sebuah restoran di sudut perempatan jalan tersebut...
Aku pun memesan semangkok pasta, yang menurutku porsinya tidak terlalu besar...
Duduk sendiri, menunggu makanan sambil bengong, sepertinya sedikit menarik perhatian orang lain...
Saat aku melemparkan pandangan ke sekeliling ruangan, ternyata ada beberapa pasang mata, yang kepergok sedang memperhatikan aku...
"Hmm..jalan sendirian di Bali bukan hal aneh khan?" Itu yang aku pikirkan...

Makanan yang aku pesan, sudah tersedia di depan mata, tak lama kemudian...
Ternyata aku tertipu, porsi pasta itu, cukup besar untuk aku sendiri...
Menyuap dan mengunyah makanan secara perlahan, disisipi saat-saat bengong dan mengkhayal...
"Are Singaporean?"
Tanya salah seorang penjual jasa padaku...
Restoran itu hanya dikelilingi dengan pagar kayu di sekelilingnya, dan tanpa penutup...
Mengakibatkan orang-orang yang nongkrong ataupun berjalan di trotoar bisa langsung berkomunikasi dengan para pengunjung restoran...
Para penjual jasa itu, adalah orang lokal...
Selama aku di sana, aku mendengar mereka berbincang-bincang dengan bahasa Bali, yang tak aku mengerti sama sekali...
Sapaan salah satu dari mereka itu, sama sekali tak aku gubris, karena terus terang aku takut...
Tapi pertanyaan tadi membuatku berpikir "He...emang muka gue kayak orang Singapur ya? Sesipit itukah gue?"
Menyendok dan mengunyah makanan secara perlahan ternyata tak ada pengaruhnya untukku... Sepiring pasta itu tak dapat aku habiskan...

Melanjutkan perjalananku setelah makanan selesai aku bayar...
Arah yang aku tuju pun tak jelas...

Aku hanya mencoba mengikuti arah ke mana mayoritas para tamu pergi...
Dan ternyata tebakanku tak mengecewakan aku...

Berjalan sepanjang jalan Legian menuju ke kawasan Seminyak aku menemukan deretan toko, yang merupakan surga belanja...
Menyusuri trotoar yang masih berfungsi dengan baik, kurang lebih 5 kilo meter pulang pergi...
Satu kantong belanjaan berisi baju akhirnya aku dapatkan...
"Lumayan, harusnya 2 potong rok terusan itu seharga Rp.740.000, tapi karena butik merk terkenal itu sedang ada potongan harga, aku cuma harus membayar Rp.230.000."

Pegalnya kaki, membuatku menemukan satu dilematik lagi...
"Pulang naik taksi atau tetap jalan kaki ya?"...
Akhirnya aku memutuskan untuk tetap jalan kaki...
"Toh, nanti aku khan ada janji spa."...

Sampailah di potongan jalan Padma Utama dengan Legian...
Tapi aku tak memutuskan belok kanan dulu...
Namun aku memutuskan untuk terus berjalan menyusuri sisi lain jalan Legian itu...
Tak berapa lama, kaki ini sudah tak tahan...
Akhirnya aku berbalik arah menuju hotel tempat aku menginap...

Di sepanjang jalan Padma juga terdapat beberapa toko, yang menjual suvenir khas Bali...
"Hmmm, nanti malem pake rok yang item ahh. Eh tapi, sepatu yang aku bawa warna putih lagi. Nyari sendal item dulu kalo gitu, lagi pula sendalku di rumah sudah mulai rusak."
Akhirnya aku membeli sepasang sandal Bali bewarna hitam, dan sandal warna biru untuk keponakanku...

"Hmmm...bukan seharusnya dah deket ya, kok ngga nyampe-nyampe ya All Seasons."
Akhirnya aku sampai...
Begitu sampai di lobi, aku telah melihat makhluk yang aku kenal...
"Hah, senangnya udah ngga jadi anak ilang."

Minggu, Februari 17, 2008

Kamu Ajarkan Diriku Cinta Tanpa Syarat...

Saat pertama kali aku melihatmu berdiri di depanku, aku tahu bahwa ada sesuatu di sana. Sesuatu yang belum bisa aku jelaskan apa artinya.

Berjalan seiring waktu, kita menghabiskan waktu bersama. Bukan tawa yang selalu tercipta di sana. Bukan cerita lucu nan seru saja yang ada di antara kita. Bukan timangan manja yang sering kamu hadiahkan untuk aku, melainkan membangunkanku dari tidur dan terlenaku yang terlalu lama.

Aku bukanlah selamanya ratu. Aku bukanlah seorang yang harus dituruti semuanya. Kamu kikis arogan diri ini. Kamu perlihatkan kejamnya dunia, dan membuatku tergopoh-gopoh untuk tetap mencoba bangun dan berdiri menghadapi kenyataan.

Seolah kamu membiarkanku berjalan sendiri, namun hadirnya tanganmu disaatku lemah selalu aku temukan. Kamu menjagaku dengan sempurna. Memberiku sepenuhnya segala rasa percaya yang kau miliki. Dan tak ada sedikitpun kamu minta balas. Namun semua itu aku sia-siakan begitu saja.

Maaf dan sesalku tak cukup untuk menghapus segala kesalahanku itu. Dan kamu kembali tanpa lelah berada di sampingku, menjagaku, dengan segala kesempurnaan. Kembali mempersiapkan aku untuk menatap langkah di kemudian hari.

Terima kasih kamu telah menjadikanku lebih dewasa...

Terima kasih untuk segala pengorbananmu...

Terima kasih untuk tujuh tahun tanpa lelah kamu ada untuk aku...

(didedikasikan untuk rh)

Semuanya Itu Memang Indah, Dan Kusadari Semua Tentang Kamu Begitu Menakjubkan...

Hari ini adalah hari terakhirku di usia 28 tahun. Berarti sisa hidupku telah berkurang lagi satu tahun. Di antara 10220 hari yang telah aku lewati, ada beberapa masa yang memang aku lewati dengan kamu. Aku menjadi bagian dari hidup kamu, dan tentunya kamu menjadi bagian hidup aku.

Tak sedikit kejadian, tak cuma satu atau dua detik yang kita habiskan bersama. Canda kita, gelak tawa yang tercipta saat kita bersama, ungkapan cinta yang sama-sama kita sampaikan, sedih, pertengkaran yang membuahkan air mata, juga perpisahan kita sulit untuk lepas dari ingatan.

Sesalku tak pernah kuucapkan, tertutup dengan seribu gengsi. Kata maaf itu tak pernah keluar dari mulut ini. Terutama saat aku kirimkan permintaan untuk berpisah. Derai air mata saat itu, takkan mungkin lagi mengubah semuanya.

Langkah kita pun berbeda kemudian. Kamu temukan cinta dan citamu yang baru, begitu pun juga dengan aku. Kebahagiaan lainnya kita temui.

Tak terhitung berapa langkah masing-masing yang telah kita buat. Sampai akhirnya, langkah kaki ini kembali bertemu. Semuanya tak ada beda, sama seperti saat aku temukan dirimu dulu. Dan apa yang dulu pernah ada, masih terlihat, walau dengan cara berbeda.

Rasa sayang sebagai seorang teman, rasa sayang yang sempat berubah menjadi cinta dan menjadikan kita berdua saling memiliki, sebagai seorang sangat spesial, juga sebagai sahabat..rasa sayang..yang pada akhirnya telah menciptakan hubungan kita saat ini jauh lebih indah dan berarti...

Saat kamu bersimpuh di sampingku, kuucap harapan dan doa. Pintaku, biar kamu dapatkan cinta harapanmu. Meraih mimpi, dan wujudkan semua anganmu. Biarlah itu semua dapat menghapus sesalku, atas segala bodoh perlakuanku terhadapmu dulu.

Namun satu yang tak pernah aku sesalkan, bahwa aku dulu menemukanmu, berada di pelukanmu dan merasakan kebahagiaan bersamamu, juga melihat sedih dan bahagiamu.

Dan walau nanti langkah kaki ini kembali berpisah untuk waktu yang lama, namun aku yakin mereka akan membawa mempertemukan kita lagi, yang mungkin akan membuatku kembali takjub.

Ya, kamu sangat indah.
Ya, itu semua sangat indah.
Terima kasih telah menjadi bagian hidupku.
Terima kasih telah menjadi bagian dari proses pendewasaanku, yang pada akhirnya membawaku menjadi seperti sekarang ini.

(didedikasikan untuk dk)

Kamis, Februari 14, 2008

Antara Akad dan Altar

Setelah sekian lama tak kurasakan pegalnya kaki menginjak kopling akibat macet, barulah hari ini aku rasakan hal itu kembali.

Hujan yang mengguyur Jakarta, membuat rentetan mobil yang berderet, hampir tak berjarak, memadati jalanan ibukota di sore hari ini.

Menemui adik sepupuku yang kebetulah lihai menjahit kebaya, yang sekarang telah bekerja di salah satu butik perancang busana kebaya ternama di Indonesia.

Semua ini aku lakukan untuk persiapan pernikahan sahabatku dari SMP. Ia memintaku untuk memakai kebaya putih di hari pernikahannya nanti. Aneh pikirku, karena biasanya yang memakai baju warna putih adalah si pengantin, bukan tamunya.

Niatku ingin memberikan suatu yang sangat spesial untuk dirinya.

Sudah terbayang perkiraan model kebaya yang ingin aku kenakan nanti. Apalagi setelah aku dan dirinya pergi ke sebuah kafe di bilangan kemang, tempat resepsi nanti, untuk membayar uang panjer, pada hari Senin lalu.

Urusan pakaian yang nanti aku kenakan, bukan hal utama, yang ingin aku ceritakan di sini. Melainkan tentang perbedaan yang menjadikan sebuah cinta.

Pernikahannya nanti, pernikahan yang cukup unik menurutku. Pertautan antara dua agama yang notabene sering sekali dianggap oleh oknum-oknum tertentu, saling bermusuhan. Hal yang sedikit membuatku bingung, karena aku percaya, bahwa tak ada satu agamapun yang mengajarkan untuk saling memusuhi, atau pun menganggap sesama sebagai lawan.

Kejadian apa yang akan dialami oleh sahabatku ini, adalah salah satu contoh kecil dari berjuta kejadian serupa, yaitu pernikahan beda agama.

Suatu hal yang sangat prinsipil bagi banyak orang. Suatu hal yang sangat sensitif untuk dibahas, bagi banyak manusia yang mempunyai iman kepercayaan tertentu.

Resiko yang mereka hadapi bukan baru saja 'hadir' di saat mereka mempersiapkan pernikahan. Semua sudah mulai muncul di permukaan saat segala rasa di tautkan, dalam sebuah kesepakatan untuk menjalin kasih satu sama lain, yaitu sebuah hubungan yang dinamakan dengan pacaran.

Keluarga, adalah rintangan nomor satu yang biasanya dihadapi oleh pasangan yang menjalin kasih berbeda agama. Pertentangan satu sama lain, gambaran-gambaran tidak harmonisnya rumah tangga kelak biasanya menjadi suatu alasan mengapa mereka menentang. Padahal, hal itu belum tertentu akan terjadi, bahkan tak sedikit pernikahan sama agama yang juga mengalami ketidak harmonisan.

Namun semua itu sepertinya akan bisa dilewati dengan adanya komunikasi yang baik. Tidak diwarnai dengan emosi, saling mengerti. Terutama pengertian terhadap mereka yang kelak akan menjalani rumah tangga yang dibangun di atas dasar yang berbeda arah itu.

Keluarga hanya merupakan salah satu PR yang harus dibereskan oleh mereka yang berniat menjalani rumah tangga semacam ini.

Selanjutnya adalah urusan administrasi ke negara. Berdasarkan pengalaman pasangan yang berbeda agama yang telah menikah, sebenarnya prosedurnya tak terlalu sulit, asalkan tahu pihak-pihak mana yang tak akan mempersulit untuk menjalankan prosedur itu. Begitu pun juga
dengan sahabatku ini. Negara pun bisa mereka 'taklukkan' seperti pasangan lainnya yang telah 'berhasil' menyelesaikan PR mereka itu.

Alhasil akad nikah di hadapan penghulu, dan pemberkatan di depan altar gereja, menjadi jalan keluar dari semuanya. Mereka pun akan legal dicatatkan oleh negara.

Kembali cinta membuatku takjub. Kembali cinta menunjukkan kekuatannya yang dahsyat. Kembali cinta tak kenal perbedaan. Kembali cinta berhasil menyatukan.

Akankah mereka yang seharusnya segera menyelesaikan 'PR' serupa di atas, akan mengikuti jejak mereka yang telah berhasil menyelesaikannya?

Jawabannya hanya: tekad, kesiapan hati, dan waktu yang akan berbicara.

Atas nama cinta: Selamat berjuang kawan!

Rabu, Februari 13, 2008

Kembali ke Tahun 90-an (Bagian I)...

Biarkan aku membawamu ke era tahun 90an…

Aku mulai era ini, dengan memasuki tahap perkembanganku yang lebih tinggi, yaitu beranjak masa remaja. Sekitar usia dua belas tahun, aku memasuki jenjang pendidikan SMP, di salah satu sekolah ternama di daerah Haji Nawi, selatan Jakarta. Jujur, aku tak mudah masuk ke sekolah ini. Aku hanya cadangan, dan dengan masa percobaan, jika tahun pertama aku tak bisa menyesuaikan diri, aku harus pindah sekolah. Mama yang mengatur semuanya, karena saat itu, seingatku, papa masih di Australia. Padahal sebelumnya aku sudah diterima di sekolah yang juga ternama di daerah Barito, dengan mulus, dan sudah membayar uang muka, buku dan seragam. Entah mengapa, aku tak ingin sekolah di sana. Alasan utamaku adalah karena kedua kakakku, juga sekolah di sekolah yang aku inginkan itu. Hasilnya aku berhasil masuk ke sana, walaupun dengan sedikit beban.

Berasal dari sekolah yang tak mengenal adanya senioritas, aku tak memperdulikan hal ini di sekolah yang baru. Alhasil, banyak senior yang sepertinya tak suka denganku, namun aku tetap tak peduli. Aku tetap jajan di kantin yang saat itu dipenuhi dengan gank senior kelas tiga, yang ditakuti anak-anak kelas satu. Berjalan ke kamar mandi tak mau berputar, agar tak melewati kelas-kelas senior. Tetap aku tak peduli.

Adaptasi dengan mata pelajaran, sempat membuatku merasa kaget. Terutama pelajaran bahasa Inggris. Maklum di sekolah yang sebelumnya, bahasa Inggris belum diajarkan, dan rata-rata temanku, mereka sudah mendapat pelajaran itu dari mereka di kelas 5 SD. Merasa sedikit minder, karena nilaiku jauh di bawah mereka. Selain itu, aku juga lemah di Matematika, namun pelajaran ini masih lebih baik dari pada bahasa Inggris. Dua semester berlalu. Aku pun dinyatakan naik kelas. Seingatku rata-rataku saat itu pas mencapai angka 7.

Sahabatku tahun pertama ini bernama Vita (btw, kemane ya dia?). Aku tak ingat bagaimana kami bisa kenal, padahal ia di kelas yang berbeda. Aku 1C dan ia di kelas 1D, dan kelas kami saat itu bersebelahan. Kami sering bepergian bebarengan. Terutama ke gramedia Blok-M sepulang sekolah, sebelum menuju ke terminal bis. Ada satu kejadian lucu, saat pulang sekolah, hujan sangat deras. Kami tak ingin sampai sore di sekolah, dan sialnya kami tak ada yang membawa payung. Akhirnya kamipun memutuskan untuk berhujan-hujanan keluar dari sekolah. Seragam kami pun otomatis basah kuyub, begitu juga dengan tas kami. Namun kami tetap tertawa-tawa menembus hujan. Kalau tak salah, Vita ini juga yang mengenalkanku dengan seseorang yang menjadi pacar pertamaku. Siapa haaayyyyoooo…?

Tahun pertama aku di SMP diakhiri dengan berdirinya Pondok Indah Mall. Pusat perbelanjaan canggih dan keren, dan tempat hangout paling digemari. Fenomenal banget dech. Aku ingat, waktu itu bioskop 21 baru buka di sana. Aku janjian dengan teman-teman lamaku untuk menonton My Girl. Saat aku mengantri, hanya beberapa orang temanku yang datang, dan akhirnya mereka memutuskan untuk tak jadi menonton. Aku tetap ingin menonton, karena aku sudah mengantri. Saat itu panjangnya antrian dari depan loket sampai keluar pintu masuk bioskop. Hmm, akhirnya aku nonton dengan temanku, yang kemudian jadi pacar pertamaku itu. Kasian dia datang telat, dan tak dapat tiket, sedangkan temanku tadi tak jadi menonton. Akhirnya tiket yang tadinya untuk temanku, aku berikan padanya.

Tahun kedua. Nilai-nilaiku rusak total. Aku lebih mementingkan kegiatan menyanyi dari pada sekolahku. Semester tiga, rekor terburuk nilaiku, urutan 40 dari 45 siswa di kelas. Aku tetap tak ambil pusing. Persiapan lomba paduan suara ITB saat itu, tetap menjadi prioritasku. Usaha yang aku lakukan, hanya seadanya, termasuk les bahasa Inggris di International Language Program di Panglima Polim. Namun buruknya nilaiku, bisa aku perbaiki di semester empat.

Teman-teman sekelas, lebih menyenangkan, yang jelas ada Anna dan Shima, Eki, Deni, Maya, itu yang aku ingat. Tahun ke dua ini, aku dekat dengan Eki (Alyssa Ardiati) dan juga Shima (Andreas Charisma). Kami sekelas dan juga duduk berdekatan. Selain dengan mereka, aku juga dekat dengan Rissa, Adita, dan Ningrum, karena kami berempat anggota paduan suara yang akan berlomba di Festival Paduan Suara ITB. Hmm, satu lagi di tahun kedua ini aku punya pacar pertama kali.

Lomba paduan suara ITB ini adalah yang pertama untuk sekolah kami. Kami pun ingin tampil dengan maksimal. Latihan kami lakukan setiap hari, sepulang sekolah. Sekolah, kelas, terpaksa kami tinggalkan selama 3 hari. Karena kami harus melakukan persiapan-persiapan di ITB, termasuk gladi bersih dan lomba itu sendiri. Berangkat sore hari dari Jakarta, dengan menggunakan KA Parahyangan. Rombongan kami memenuhi satu gerbong kereta. Mama tak bersamaku saat itu, namun akan menyusul menjelang akhir pekan. Sesampainya di St.Hall, Bandung, ternyata kakak pertamaku, yang sedang kuliah di Bandung, bersama pacarnya saat itu menjemputku di sana. Terus terang aku lupa di mana kami menginap. Aku tak tahu apakah itu hotel atau rumah salah satu kenalan rombongan kami. Pastinya rumah itu besar, dan mempunyai kamar banyak sekali. Aku tidur di kamar yang berada di depan, merupakan paviliun sendiri, yang dilengkapi dengan kamar mandi dalam. Teman sekamarku saat itu, Fritta, Tessa, Ningrum, dan Bu Yani kalau tak salah.

Namun kekecewaan kami alami saat itu, kami bahkan tak masuk final. Menyedihkan memang, akhirnya kami menangisi kekalahan kami bersama-sama malam itu. Pelampiasan rasa kecewa itu, kami tutup dengan makan di KFC, yang kami capai hanya dengan berjalan kaki, dengan jaket atau sweater, karena Bandung saat itu, jauh lebih dingin, dibanding Bandung saat ini. Esoknya kami pun masih menonton sang juara bertanding. Setelah itu bukan berarti kami pulang ke Jakarta. Kami tetap di Bandung sampai semua rencana yang telah disiapkan terlaksana, termasuk acara belanja dan jalan-jalan.

Memasuki tahun ke tiga di sekolah ini, kegiatan paduan suara jauh berkurang. Rencanaku adalah memperbaiki nilai-nilaiku yang rusak. Teman-teman sekelasku sangat menyenangkan. Ada Rissa, Irma, Deni, Yocky, Nuki, Pandu, Indra, Shima, Anna. Itu sebagian yang aku ingat.
Dua orang yang aku sebut terakhir ini, adalah dua temanku yang selalu sekelas dari tahun pertama.

Acara jalan-jalan dengan teman-teman sekolah tahun terakhir ini tak hanya satu kegiatan, tapi dua. Retret pada bulan September dan study tour pada bulan Januari.

Acara pertama yaitu retret, yang bertempat di Civita. Acara penuh tangis. Acara penuh rasa penyesalan, yang tak bertahan lama. Aku sekelompok dengan seseorang yang sebenarnya sudah mencuri hatiku dari kelas dua akhir. Otaknya yang encer, alias pandai, juga ia seorang yang menyenangkan untuk diajak mengobrol. Tiga hari aku berinteraksi dengannya, membahas semua materi retret. Yang aku ingat saat retret tersebut, adalah saat aku menatap mata sipitnya yang makin sipit dan merah karena menangis pada sesi saat teduh. Ia terbalut jaket jeans, kami tiduran tengkurap di lantai, berhadapan, membahas tentang materi sesi. Menggemaskan melihatnya. Namun itu berlalu begitu saja. Tak aku hiraukan, karena rasanya aku tak mungkin bisa dekat dengannya, walau di kelas, aku semakin sering berinteraksi dengannya, hanya sekedar motivasi untukku dalam belajar.

November tahun yang sama, teman sekelasku, naksir dengan seseorang yang cukup dekat denganku, yaitu Maya. Temanku ini menumpahkan perasaannya terhadap Maya padaku, dan memintaku untuk mencomblanginya. Mereka sudah cukup dekat, namun Maya menolak cinta teman sekelasku ini. Entah mengapa, setelah cintanya ditolak, ia malah mengungkapkan perasaan sukanya padaku, dan memintaku menjadi pacarnya. Bingung harus jawab apa, tanpa pikir panjang aku jawab dengan “ya”. Hari itu adalah hari Jumat. Sepulang sekolah, aku sakit, esoknya aku tak masuk sekolah. Di rumah aku hanya memikirkan kejadian Jumat itu, rasanya ada sesuatu yang salah. Hari Minggu aku menelepon pacarku ini, dan mengatakan esok aku ingin bicara dengannya di sekolah. Esok harinya, Senin, tepatnya di Laboratorium Fisika, aku memanggilnya. Belum selesai aku bicara, ia sudah mendahului, dengan mengatakan “Elo mau mutusin gue khan?” Aku langsung jawab tanpa banyak basa-basi ”Iya, sori ya, kayaknya ngga bener deh, kita jadian.”. Hasilnya kami putus, dan hubungan itu hanya bertahan 3 hari.

Perjalanan berikutnya study tour. Januari 1994. Ke Jogjakarta. Di bis 2, bis yang mempunyai nilai magis untukku. Ingat cerita seseorang yang tadi aku bilang? Seseorang yang telah mencuri hatiku dari saat kelas dua akhir, dan juga ceritaku di tulisan di blog ini yang judulnya “Pertama Kali”? Kami berada di bis yang sama. Genggaman tangan kami berdua adalah suatu titik awal dari kedekatan kami. Sering pergi bersama, ia menghampiriku ke ILP, walaupun saat itu ia sedang postponed, dan lebih memilih ikut bimbingan belajar di Teknos, kami sering curhat, ia pertama kali mengirimiku surat curhat, saling mengungkapkan rasa sayang, ke gereja bareng, berangkat farewell party bareng.

Setelah acara jalan-jalan itu, aku semakin dekat dengannya. Apalagi ditambah dengan ia duduknya dipindahkan ke samping kananku. Yang jelas sering tuch kerjasama saat ulangan, dia jadi bahan contekkan atau nyontek bareng, bahkan sampai yang namanya tes IQ. Kegiatannya di OSIS cukup menyita waktunya. Saat ia keluar kelas, aku inisiatif membongkar tasnya, dan mencari buku catatannya, untuk aku tuliskan catatan pelajaran saat itu. Padahal aku juga harus mencatat catatanku sendiri saat itu. Begitupun juga sebaliknya, catatanku pernah ditulis olehnya, karena biasanya aku diminta untuk mencatat di papan tulis, untuk satu kelas.

Mc. Donalds saat itu sedang marak. Restoran burger asli Amerika ini baru di buka di Jakarta. Termasuk di daerah Melawai. Dengan harga double cheese burger yang kurang dari Rp.3000, dan masih menyediakan menu apple pie. Restoran ini sangat digemari oleh gerombolan ABG waktu itu. Berusaha mengikuti tren, aku pun mengundang teman-teman dekatku makan malam, merayakan ulang tahunku ke-15. Adita, Rissa, Ekasari, Irma, Deni, Yocky, Nuki, Gatot, Hanz, dan Dimas, datang ke acaraku itu.

Karena ada motivator, pelajaranku di kelas tiga ini, bisa dibilang paling bagus. Dua semester terakhir aku berhasil mencapai rata-rata di atas 7. Semester lima nilai rata-rataku berada di posisi urutan 21, dan ia 19. Rencana menyainginya, namua sayangnya, semester berikutnya, aku berada di posisi 15 dan ia di posisi 9. Sial…

Selesailah hidupku di sekolah itu. Tak pedulikan nilai sekolah, lebih mementingkan kegiatan-kegiatan di luar mata pelajaran, ikatan dengan peers sangat erat, mulai tertarik dengan lawan jenis, ingin sedikit menjauh dari orang tua, bingung mencari dan membangun jati diri. Gejala-gejala itulah beberapa ciri khas seseorang yang sedang berada pada tahap perkembangan remaja (adolescent). Erik Erikson (yang sebenarnya aku bingung, dilihat dari namanya, jangan-jangan dia orang Sunda) fase perkembangan ini di namakan tahap perkembangan identity vs identity confussion. Tahap ini di alami seseorang saat mereka berusia 12-20.

Loh kok chaaa…jadi ngomongin kuliah perkembangan sih…Ah ya udah dech…itu sepenggal kisahku saat masa SMP. Di mana kejadian fenomenal saat itu adalah berdirinya Pondok Indah Mall, yang kebetulan tak jauh dari sekolahku, tinggal selemparan kancut (ngga tahu kancut sapa), juga restoran burger merah kuning itu (yang sepertinya bukan makanan sehat yak)..

Yang jelas hidup percintaan aku di sekolah ini penuh warna, karena banyak pengalaman yang di alami untuk pertama kali pada saat itu.

Ini baru bagian pertama trilogi ini lo…tunggu tulisanku berikutnya ya…