Setelah sekian lama tak kurasakan pegalnya kaki menginjak kopling akibat macet, barulah hari ini aku rasakan hal itu kembali.
Hujan yang mengguyur Jakarta, membuat rentetan mobil yang berderet, hampir tak berjarak, memadati jalanan ibukota di sore hari ini.
Menemui adik sepupuku yang kebetulah lihai menjahit kebaya, yang sekarang telah bekerja di salah satu butik perancang busana kebaya ternama di Indonesia.
Semua ini aku lakukan untuk persiapan pernikahan sahabatku dari SMP. Ia memintaku untuk memakai kebaya putih di hari pernikahannya nanti. Aneh pikirku, karena biasanya yang memakai baju warna putih adalah si pengantin, bukan tamunya.
Niatku ingin memberikan suatu yang sangat spesial untuk dirinya.
Sudah terbayang perkiraan model kebaya yang ingin aku kenakan nanti. Apalagi setelah aku dan dirinya pergi ke sebuah kafe di bilangan kemang, tempat resepsi nanti, untuk membayar uang panjer, pada hari Senin lalu.
Urusan pakaian yang nanti aku kenakan, bukan hal utama, yang ingin aku ceritakan di sini. Melainkan tentang perbedaan yang menjadikan sebuah cinta.
Pernikahannya nanti, pernikahan yang cukup unik menurutku. Pertautan antara dua agama yang notabene sering sekali dianggap oleh oknum-oknum tertentu, saling bermusuhan. Hal yang sedikit membuatku bingung, karena aku percaya, bahwa tak ada satu agamapun yang mengajarkan untuk saling memusuhi, atau pun menganggap sesama sebagai lawan.
Kejadian apa yang akan dialami oleh sahabatku ini, adalah salah satu contoh kecil dari berjuta kejadian serupa, yaitu pernikahan beda agama.
Suatu hal yang sangat prinsipil bagi banyak orang. Suatu hal yang sangat sensitif untuk dibahas, bagi banyak manusia yang mempunyai iman kepercayaan tertentu.
Resiko yang mereka hadapi bukan baru saja 'hadir' di saat mereka mempersiapkan pernikahan. Semua sudah mulai muncul di permukaan saat segala rasa di tautkan, dalam sebuah kesepakatan untuk menjalin kasih satu sama lain, yaitu sebuah hubungan yang dinamakan dengan pacaran.
Keluarga, adalah rintangan nomor satu yang biasanya dihadapi oleh pasangan yang menjalin kasih berbeda agama. Pertentangan satu sama lain, gambaran-gambaran tidak harmonisnya rumah tangga kelak biasanya menjadi suatu alasan mengapa mereka menentang. Padahal, hal itu belum tertentu akan terjadi, bahkan tak sedikit pernikahan sama agama yang juga mengalami ketidak harmonisan.
Namun semua itu sepertinya akan bisa dilewati dengan adanya komunikasi yang baik. Tidak diwarnai dengan emosi, saling mengerti. Terutama pengertian terhadap mereka yang kelak akan menjalani rumah tangga yang dibangun di atas dasar yang berbeda arah itu.
Keluarga hanya merupakan salah satu PR yang harus dibereskan oleh mereka yang berniat menjalani rumah tangga semacam ini.
Selanjutnya adalah urusan administrasi ke negara. Berdasarkan pengalaman pasangan yang berbeda agama yang telah menikah, sebenarnya prosedurnya tak terlalu sulit, asalkan tahu pihak-pihak mana yang tak akan mempersulit untuk menjalankan prosedur itu. Begitu pun juga
dengan sahabatku ini. Negara pun bisa mereka 'taklukkan' seperti pasangan lainnya yang telah 'berhasil' menyelesaikan PR mereka itu.
Alhasil akad nikah di hadapan penghulu, dan pemberkatan di depan altar gereja, menjadi jalan keluar dari semuanya. Mereka pun akan legal dicatatkan oleh negara.
Kembali cinta membuatku takjub. Kembali cinta menunjukkan kekuatannya yang dahsyat. Kembali cinta tak kenal perbedaan. Kembali cinta berhasil menyatukan.
Akankah mereka yang seharusnya segera menyelesaikan 'PR' serupa di atas, akan mengikuti jejak mereka yang telah berhasil menyelesaikannya?
Jawabannya hanya: tekad, kesiapan hati, dan waktu yang akan berbicara.
Atas nama cinta: Selamat berjuang kawan!
Kamis, Februari 14, 2008
Antara Akad dan Altar
Pikiran seorang Rufina Anastasia Rosarini pada saat 22.27
Kategori tulisan: Jurnal Hidup
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar