Biarkan aku membawamu ke era tahun 90an…
Aku mulai era ini, dengan memasuki tahap perkembanganku yang lebih tinggi, yaitu beranjak masa remaja. Sekitar usia dua belas tahun, aku memasuki jenjang pendidikan SMP, di salah satu sekolah ternama di daerah Haji Nawi, selatan Jakarta. Jujur, aku tak mudah masuk ke sekolah ini. Aku hanya cadangan, dan dengan masa percobaan, jika tahun pertama aku tak bisa menyesuaikan diri, aku harus pindah sekolah. Mama yang mengatur semuanya, karena saat itu, seingatku, papa masih di Australia. Padahal sebelumnya aku sudah diterima di sekolah yang juga ternama di daerah Barito, dengan mulus, dan sudah membayar uang muka, buku dan seragam. Entah mengapa, aku tak ingin sekolah di sana. Alasan utamaku adalah karena kedua kakakku, juga sekolah di sekolah yang aku inginkan itu. Hasilnya aku berhasil masuk ke sana, walaupun dengan sedikit beban.
Berasal dari sekolah yang tak mengenal adanya senioritas, aku tak memperdulikan hal ini di sekolah yang baru. Alhasil, banyak senior yang sepertinya tak suka denganku, namun aku tetap tak peduli. Aku tetap jajan di kantin yang saat itu dipenuhi dengan gank senior kelas tiga, yang ditakuti anak-anak kelas satu. Berjalan ke kamar mandi tak mau berputar, agar tak melewati kelas-kelas senior. Tetap aku tak peduli.
Adaptasi dengan mata pelajaran, sempat membuatku merasa kaget. Terutama pelajaran bahasa Inggris. Maklum di sekolah yang sebelumnya, bahasa Inggris belum diajarkan, dan rata-rata temanku, mereka sudah mendapat pelajaran itu dari mereka di kelas 5 SD. Merasa sedikit minder, karena nilaiku jauh di bawah mereka. Selain itu, aku juga lemah di Matematika, namun pelajaran ini masih lebih baik dari pada bahasa Inggris. Dua semester berlalu. Aku pun dinyatakan naik kelas. Seingatku rata-rataku saat itu pas mencapai angka 7.
Sahabatku tahun pertama ini bernama Vita (btw, kemane ya dia?). Aku tak ingat bagaimana kami bisa kenal, padahal ia di kelas yang berbeda. Aku 1C dan ia di kelas 1D, dan kelas kami saat itu bersebelahan. Kami sering bepergian bebarengan. Terutama ke gramedia Blok-M sepulang sekolah, sebelum menuju ke terminal bis. Ada satu kejadian lucu, saat pulang sekolah, hujan sangat deras. Kami tak ingin sampai sore di sekolah, dan sialnya kami tak ada yang membawa payung. Akhirnya kamipun memutuskan untuk berhujan-hujanan keluar dari sekolah. Seragam kami pun otomatis basah kuyub, begitu juga dengan tas kami. Namun kami tetap tertawa-tawa menembus hujan. Kalau tak salah, Vita ini juga yang mengenalkanku dengan seseorang yang menjadi pacar pertamaku. Siapa haaayyyyoooo…?
Tahun pertama aku di SMP diakhiri dengan berdirinya Pondok Indah Mall. Pusat perbelanjaan canggih dan keren, dan tempat hangout paling digemari. Fenomenal banget dech. Aku ingat, waktu itu bioskop 21 baru buka di sana. Aku janjian dengan teman-teman lamaku untuk menonton My Girl. Saat aku mengantri, hanya beberapa orang temanku yang datang, dan akhirnya mereka memutuskan untuk tak jadi menonton. Aku tetap ingin menonton, karena aku sudah mengantri. Saat itu panjangnya antrian dari depan loket sampai keluar pintu masuk bioskop. Hmm, akhirnya aku nonton dengan temanku, yang kemudian jadi pacar pertamaku itu. Kasian dia datang telat, dan tak dapat tiket, sedangkan temanku tadi tak jadi menonton. Akhirnya tiket yang tadinya untuk temanku, aku berikan padanya.
Tahun kedua. Nilai-nilaiku rusak total. Aku lebih mementingkan kegiatan menyanyi dari pada sekolahku. Semester tiga, rekor terburuk nilaiku, urutan 40 dari 45 siswa di kelas. Aku tetap tak ambil pusing. Persiapan lomba paduan suara ITB saat itu, tetap menjadi prioritasku. Usaha yang aku lakukan, hanya seadanya, termasuk les bahasa Inggris di International Language Program di Panglima Polim. Namun buruknya nilaiku, bisa aku perbaiki di semester empat.
Teman-teman sekelas, lebih menyenangkan, yang jelas ada Anna dan Shima, Eki, Deni, Maya, itu yang aku ingat. Tahun ke dua ini, aku dekat dengan Eki (Alyssa Ardiati) dan juga Shima (Andreas Charisma). Kami sekelas dan juga duduk berdekatan. Selain dengan mereka, aku juga dekat dengan Rissa, Adita, dan Ningrum, karena kami berempat anggota paduan suara yang akan berlomba di Festival Paduan Suara ITB. Hmm, satu lagi di tahun kedua ini aku punya pacar pertama kali.
Lomba paduan suara ITB ini adalah yang pertama untuk sekolah kami. Kami pun ingin tampil dengan maksimal. Latihan kami lakukan setiap hari, sepulang sekolah. Sekolah, kelas, terpaksa kami tinggalkan selama 3 hari. Karena kami harus melakukan persiapan-persiapan di ITB, termasuk gladi bersih dan lomba itu sendiri. Berangkat sore hari dari Jakarta, dengan menggunakan KA Parahyangan. Rombongan kami memenuhi satu gerbong kereta. Mama tak bersamaku saat itu, namun akan menyusul menjelang akhir pekan. Sesampainya di St.Hall, Bandung, ternyata kakak pertamaku, yang sedang kuliah di Bandung, bersama pacarnya saat itu menjemputku di sana. Terus terang aku lupa di mana kami menginap. Aku tak tahu apakah itu hotel atau rumah salah satu kenalan rombongan kami. Pastinya rumah itu besar, dan mempunyai kamar banyak sekali. Aku tidur di kamar yang berada di depan, merupakan paviliun sendiri, yang dilengkapi dengan kamar mandi dalam. Teman sekamarku saat itu, Fritta, Tessa, Ningrum, dan Bu Yani kalau tak salah.
Namun kekecewaan kami alami saat itu, kami bahkan tak masuk final. Menyedihkan memang, akhirnya kami menangisi kekalahan kami bersama-sama malam itu. Pelampiasan rasa kecewa itu, kami tutup dengan makan di KFC, yang kami capai hanya dengan berjalan kaki, dengan jaket atau sweater, karena Bandung saat itu, jauh lebih dingin, dibanding Bandung saat ini. Esoknya kami pun masih menonton sang juara bertanding. Setelah itu bukan berarti kami pulang ke Jakarta. Kami tetap di Bandung sampai semua rencana yang telah disiapkan terlaksana, termasuk acara belanja dan jalan-jalan.
Memasuki tahun ke tiga di sekolah ini, kegiatan paduan suara jauh berkurang. Rencanaku adalah memperbaiki nilai-nilaiku yang rusak. Teman-teman sekelasku sangat menyenangkan. Ada Rissa, Irma, Deni, Yocky, Nuki, Pandu, Indra, Shima, Anna. Itu sebagian yang aku ingat.
Dua orang yang aku sebut terakhir ini, adalah dua temanku yang selalu sekelas dari tahun pertama.
Acara jalan-jalan dengan teman-teman sekolah tahun terakhir ini tak hanya satu kegiatan, tapi dua. Retret pada bulan September dan study tour pada bulan Januari.
Acara pertama yaitu retret, yang bertempat di Civita. Acara penuh tangis. Acara penuh rasa penyesalan, yang tak bertahan lama. Aku sekelompok dengan seseorang yang sebenarnya sudah mencuri hatiku dari kelas dua akhir. Otaknya yang encer, alias pandai, juga ia seorang yang menyenangkan untuk diajak mengobrol. Tiga hari aku berinteraksi dengannya, membahas semua materi retret. Yang aku ingat saat retret tersebut, adalah saat aku menatap mata sipitnya yang makin sipit dan merah karena menangis pada sesi saat teduh. Ia terbalut jaket jeans, kami tiduran tengkurap di lantai, berhadapan, membahas tentang materi sesi. Menggemaskan melihatnya. Namun itu berlalu begitu saja. Tak aku hiraukan, karena rasanya aku tak mungkin bisa dekat dengannya, walau di kelas, aku semakin sering berinteraksi dengannya, hanya sekedar motivasi untukku dalam belajar.
November tahun yang sama, teman sekelasku, naksir dengan seseorang yang cukup dekat denganku, yaitu Maya. Temanku ini menumpahkan perasaannya terhadap Maya padaku, dan memintaku untuk mencomblanginya. Mereka sudah cukup dekat, namun Maya menolak cinta teman sekelasku ini. Entah mengapa, setelah cintanya ditolak, ia malah mengungkapkan perasaan sukanya padaku, dan memintaku menjadi pacarnya. Bingung harus jawab apa, tanpa pikir panjang aku jawab dengan “ya”. Hari itu adalah hari Jumat. Sepulang sekolah, aku sakit, esoknya aku tak masuk sekolah. Di rumah aku hanya memikirkan kejadian Jumat itu, rasanya ada sesuatu yang salah. Hari Minggu aku menelepon pacarku ini, dan mengatakan esok aku ingin bicara dengannya di sekolah. Esok harinya, Senin, tepatnya di Laboratorium Fisika, aku memanggilnya. Belum selesai aku bicara, ia sudah mendahului, dengan mengatakan “Elo mau mutusin gue khan?” Aku langsung jawab tanpa banyak basa-basi ”Iya, sori ya, kayaknya ngga bener deh, kita jadian.”. Hasilnya kami putus, dan hubungan itu hanya bertahan 3 hari.
Perjalanan berikutnya study tour. Januari 1994. Ke Jogjakarta. Di bis 2, bis yang mempunyai nilai magis untukku. Ingat cerita seseorang yang tadi aku bilang? Seseorang yang telah mencuri hatiku dari saat kelas dua akhir, dan juga ceritaku di tulisan di blog ini yang judulnya “Pertama Kali”? Kami berada di bis yang sama. Genggaman tangan kami berdua adalah suatu titik awal dari kedekatan kami. Sering pergi bersama, ia menghampiriku ke ILP, walaupun saat itu ia sedang postponed, dan lebih memilih ikut bimbingan belajar di Teknos, kami sering curhat, ia pertama kali mengirimiku surat curhat, saling mengungkapkan rasa sayang, ke gereja bareng, berangkat farewell party bareng.
Setelah acara jalan-jalan itu, aku semakin dekat dengannya. Apalagi ditambah dengan ia duduknya dipindahkan ke samping kananku. Yang jelas sering tuch kerjasama saat ulangan, dia jadi bahan contekkan atau nyontek bareng, bahkan sampai yang namanya tes IQ. Kegiatannya di OSIS cukup menyita waktunya. Saat ia keluar kelas, aku inisiatif membongkar tasnya, dan mencari buku catatannya, untuk aku tuliskan catatan pelajaran saat itu. Padahal aku juga harus mencatat catatanku sendiri saat itu. Begitupun juga sebaliknya, catatanku pernah ditulis olehnya, karena biasanya aku diminta untuk mencatat di papan tulis, untuk satu kelas.
Mc. Donalds saat itu sedang marak. Restoran burger asli Amerika ini baru di buka di Jakarta. Termasuk di daerah Melawai. Dengan harga double cheese burger yang kurang dari Rp.3000, dan masih menyediakan menu apple pie. Restoran ini sangat digemari oleh gerombolan ABG waktu itu. Berusaha mengikuti tren, aku pun mengundang teman-teman dekatku makan malam, merayakan ulang tahunku ke-15. Adita, Rissa, Ekasari, Irma, Deni, Yocky, Nuki, Gatot, Hanz, dan Dimas, datang ke acaraku itu.
Karena ada motivator, pelajaranku di kelas tiga ini, bisa dibilang paling bagus. Dua semester terakhir aku berhasil mencapai rata-rata di atas 7. Semester lima nilai rata-rataku berada di posisi urutan 21, dan ia 19. Rencana menyainginya, namua sayangnya, semester berikutnya, aku berada di posisi 15 dan ia di posisi 9. Sial…
Selesailah hidupku di sekolah itu. Tak pedulikan nilai sekolah, lebih mementingkan kegiatan-kegiatan di luar mata pelajaran, ikatan dengan peers sangat erat, mulai tertarik dengan lawan jenis, ingin sedikit menjauh dari orang tua, bingung mencari dan membangun jati diri. Gejala-gejala itulah beberapa ciri khas seseorang yang sedang berada pada tahap perkembangan remaja (adolescent). Erik Erikson (yang sebenarnya aku bingung, dilihat dari namanya, jangan-jangan dia orang Sunda) fase perkembangan ini di namakan tahap perkembangan identity vs identity confussion. Tahap ini di alami seseorang saat mereka berusia 12-20.
Loh kok chaaa…jadi ngomongin kuliah perkembangan sih…Ah ya udah dech…itu sepenggal kisahku saat masa SMP. Di mana kejadian fenomenal saat itu adalah berdirinya Pondok Indah Mall, yang kebetulan tak jauh dari sekolahku, tinggal selemparan kancut (ngga tahu kancut sapa), juga restoran burger merah kuning itu (yang sepertinya bukan makanan sehat yak)..
Yang jelas hidup percintaan aku di sekolah ini penuh warna, karena banyak pengalaman yang di alami untuk pertama kali pada saat itu.
Ini baru bagian pertama trilogi ini lo…tunggu tulisanku berikutnya ya…
Rabu, Februari 13, 2008
Kembali ke Tahun 90-an (Bagian I)...
Pikiran seorang Rufina Anastasia Rosarini pada saat 23.29
Kategori tulisan: Jurnal Hidup
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar