Berharap bisa bangun siang di hari Minggu ini, ternyata hanya menjadi impian. Pukul 06.30 pagi, Mama sudah membuka pintu kamarku, yang memang tak pernah dikunci.
"Sa, kamu mau ke gereja gak?"
Dalam hatiku sempat aku katakan "Gak ada yang lebih subuh apa ya?"
Mata ini baru terpejam kurang lebih 3 jam. Kenikmatan sunyinya malam dalam dunia maya selalu sulit aku tolak. Berjam-jam di depan laptop kesayangan, dan mengutak-atik dunia yang tak berbatas ini hingga pagi menjelang, sepertinya sudah terjadwalkan dengan baik pada metabolisme tubuhku, yang sudah bisa menyesuaikan diri, terutama semenjak kuliah di Fakultas Psikologi.
Akhirnya dengan berat hati, aku beranjak dari tempat tidurku, meraih handuk dan menuju kamar mandi. Rasanya nyawa pun belum terkumpul dengan baik, saat tubuh ini terguyur air. Semakin sulit terkumpul, saat aku mendengar Mama yang memintaku untuk bergegas.
"Cepetan, ini 'dah jam berapa."
"Iya, 'bentar, masih lama, itu jam tengah juga kelewatan 'kan."
Kami bertiga pun berhasil mencapai gereja tepat pukul 07.00.
"Duh, susah banget niy mata kebuka."
Aku rasa, untuk bertahan terjaga sepanjang misa berlangsung adalah perjuangan terberatku hari ini. Sempat beberapa kali aku tidur di pundak Mama, tepatnya hanya memejamkan mata, sementara telinga masih mendengarkan jalannya misa.
Hingga saat Pastor hampir mengakhiri kotbah, aku sedikit kaget dengan bunyi ponsel seseorang. Bunyi ponsel itu sangat familiar untukku. Dan benar ternyata Papa lupa mengubah pengaturan ponsel menjadi pengaturan diam. Aku tahu itu adalah bunyi untuk tanda adanya pesan singkat yang masuk. Aku tahu persis itu, karena ponsel Papa, semuanya aku yang atur, termasuk deringnya. Tak lama dari papa meraih ponselnya dan sepertinya membuka pesan singkat itu, ia mengatakan padaku...
"Cha, Lilur meninggal."
"Ha? Emang sakit, Pa?"
"Lho, 'dah seminggu ini kali."
"Kok, tumben, anak-anak ngga ada yang ngasih tau aku."
Saat itu, umat sudah mulai berdiri, untuk berdoa Bapa Kami, sambil bernyanyi. Aku sempatkan menghaturkan permohonan pengampunan dosa untuk Oom Lilur, yang merupakan teman Papa dari kecil, yang kebetulan juga, anaknya adalah teman satu kelas, teman satu meja selama satu tahun, saat aku dan Tika di kelas 3C1 SMA Tarakanita I.
Saat Salam Damai yang ingin aku berikan pada Papa sambil mencium pipi, aku melihat ia menyeka matanya. Beberapa kali aku mengantarkannya melayat ke keluarga, atau teman-temannya yang meninggal, aku hanya melihatnya menangis saat Eyang Kakung, Eyang Ti, Kakak, dan Adik Papa yang meninggal. Selebihnya aku tak melihat. Rupanya, kali ini ia merasa sangat kehilangan.
Dan sesampainya kami di rumah setelah kami sempat sarapan di sebuah restoran kecil di dekat gereja, Papa mengatakan padaku dan Mama.
"Temenku satu-satu mati. Aku tinggal nunggu giliran."
Sempat terkaget dan sedih. Terlebih saat aku ingat, tahun lalu setelah Papa pulang dari rumah sakit, setelah ia dirawat karena terkena serangan jantung, ia mengumpulkan seluruh keluarganya, untuk membicarakan tentang apa saja yang perlu dilakukan jika kematian menjemputnya, yang tak tahu kapan.
Untuk sedikit menghiburnya, langsung aku tanggapi omongan Papa itu.
"Gak usah elo kali, Pa, semua nunggu giliran."
Walaupun tak terbayang apa rasanya jika kematian itu menjemput Papa atau Mama kelak.
"Love you Dad, Mom."
Minggu, November 30, 2008
Kematian Seorang Sahabat...
Pikiran seorang Rufina Anastasia Rosarini pada saat 22.35
Kategori tulisan: Merenungku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar