Kamis, Mei 08, 2008

Akankah Dunia Berhenti Mengeluh?

Televisi yang menyala dari pagi hari di rumahku tiada henti memberitakan hal-hal yang menyulut kontroversi. Siaran-siaran berita yang mereka sajikan, masih seputar naiknya harga BBM, macetnya kota Jakarta yang kian hari kian tak tentu ujungnya, rencana naiknya retribusi parkir yang menjadi Rp.5.000, arogansi dan keserakahan DPR yang salah satunya tercermin dari kasus-kasus alih fungsi hutan lindung, belum lagi seputar bencana alam yang tidak mungkin dibendung oleh kekuatan manusia, bahkan tak bisa lagi untuk diprediksi.

Tak kalah seru, berita-berita yang merupakan respon dari hal-hal tersebut di atas. Kumpulan keluhan. Keluhan rakyat jelata, termasuk aku dan keluargaku.

Jarak tempuh di kota yang penuh keangkuhan ini rasanya tak sanggup untuk dijalani dengan menggunakan kendaraan umum, yang kondisinya seperti angkutan semen, batubara ataupun barang tambang lainnya. Tak tega aku menyebutnya seperti alat transportasi untuk binatang, karena sepertinya angkutan mereka masih lebih bagus daripada transportasi umum yang katanya untuk manusia, yang ada di Jakarta. Tak ketinggalan polusi yang diakibatkan oleh knalpot-knalpot tak terurus yang mau tak mau terhisap, karena masuk melalui jendela-jendela, atau bahkan masuk di dalam kabin, melalui "pintu" untuk melihat kondisi mesin bus-bus kota, yang pada umumnya berada di bawah tempat duduk pak supir.

Alih-alih kenyamanan, maka terpaksalah aku menyetir mobil saat aku hendak bepergian ke mana pun. "Musuh" pertama para pengendara mobil (terutama) adalah kemacetan. Mengapa aku bilang pengendara mobil, karena bagi mereka pengendara motor sepertinya tak mengenal macet. Tentu karena mereka tak peduli keselamatan diri sendiri, tak peduli keselamatan orang lain, dengan menyerobot, menyalib kiri-kanan, tanpa pernah melihat, bahkan melirik ke kaca spion mereka. Belum lagi ditambah, dengan asumsi mereka bahwa pengendara motor adalah rakyat kecil, dibandingkan para pengendara mobil, yang berarti boleh semena-mena, terus-menerus minta dibenarkan, bahkan kadang oleh polisi yang jelas melihat bahwa pihak motorlah yang salah. Sudah lama aku ingin mengutip omongan seorang temanku saat ia diserempet oleh pengendara motor yang kemudian malah memarahinya. Ya kira-kira beginilah hasil percakapan mereka:
"Mentang-mentang kaya bawa mobil, ngga mau ngalah"
"Eh, emangnya kalo miskin bebas dari aturan apa? Sapa suruh elo miskin."
Aduh sepertinya salah ya kalau aku bilang "musuh" utama pengendara mobil adalah kemacetan, atau ternyata pengendara motorlah yang menjadi musuh (bukan "musuh") utama pengendara mobil? Namun, jangan geram dulu, pengendara motor yang ugal-ugalan (mudah-mudahan tidak banyak ya, yang ugal-ugalan).

Orang Jakarta mungkin perlu memikirkan bagaimana membuat distribusi bensin bisa seperti distribusi air PAM. Tak bisa dipungkiri, bagi pengendara bermotor di Jakarta, minuman mereka tak lagi hanya air, namun juga bensin. Coba hitung-hitung lagi, kira-kira dengan Rp.50.000, yang hanya dapat 11.11 liter premium atau bensin bersubsidi (saat ini), bisa bertahan berapa hari ya di Jakarta, jika mobil kita pakai setiap hari? Keluhan berikutnya, "Buset dah, duit gue abis di POM bensin."

Rencana menaikkan harga BBM, karena harga minyak mentah yang sudah lebih dari USD100 per barelnya, bisa dipastikan diikuti dengan kenaikkan harga-harga lainnya. Termasuk sayur-mayur, SEMBAKO, yang biasanya merupakan urusan ibu-ibu rumah tangga dalam belanja. Deretan keluhan seperti
"Saya khan ngga bisa naikkin harga barang jualan saya, nanti ngga ada yang beli."
atau "Duh, duit dah gak ada rupanya. Cuma beli cabe, bawang merah secimit ama roti tawar aja, dah abis segitu."

Duhhh, duhhhh, aku benar-benar tak kebayang, apa rasanya jadi Pak SBY. Menampung ratusan keluhan setiap hari, dari berbagai tempat. Mungkin beliau tak bisa berbuat banyak karena terbentur dengan sistem yang terkunci, bagai lingkaran setan, yang memang dibuat oleh setan yang berwujud manusia. Menurutku, siapa pun yang akan terpilih tahun depan aku ucapkan "Selamat" yang berarti bukan ucapan selamat sesungguhnya. Namun aku acungi jempol karena kenekatannya untuk bersedia mencoba menjadi ujung tombak manajemen negara yang sudah buruk ini.

Kembali ke masalah keluhan, sebagai manusia memang tak lepas dari mengeluh, karena kita bukan sapi yang tak mungkin lepas dari melenguh. Namun kadang kita lebih buruk dari sapi. Semelenguhnya seekor sapi, namun ia tetap rela dibawa kepenjagalan, walau dengan derai air mata (ini adalah kejadian sesungguhnya, sapi memang menangis saat melihat temannya mati dipenjagalan, dan mereka mengerti nasib yang sama akan menimpa mereka), agar dagingnya bisa dikonsumsi oleh manusia, atau lenguhan yang mereka keluarkan saat mereka di perah, yang mungkin tanda ucapan "Selamat menikmati segarnya susuku yang akan membuatmu sehat."

Mengeluh adalah hal yang sangat manusiawi, namun bagaimana jika hal itu sering kita lakukan? Pernahkah terpikirkan oleh kita bahwa dengan terus menerus mengeluh, orang malah akan melihat kita sebagai tukang tadah?

"Loh, kok tukang tadah, Cha?"

Tukang tadah penerimaan bantuan dari orang lain, tukang tadah bagai pengemis yang malas bekerja, tukang tadah seperti orang yang tanpa mimpi dan hanya menunggu nasib.

Mungkin jika ada pengendara motor yang menyerobot kiri kanan, kasihanilah mereka, karena mungkin cita-citanya sebagai pembalap F1 atau Moto GP tak tercapai, yang dikarenakan tak ada biaya.

Jika mereka menyerempet mobil yang kamu kendarai, setidaknya premi asuransi yang dibayarkan tiap tahun, tidak terbuang percuma.

Jika harga bensin naik, anggaplah kemampuan kita membayar sudah dianggap sama dengan negara lain yang lebih maju.

Jika melihat para koruptor bisa berpesta pora dan belum tertangkap atau belum terbukti bersalah, berdoalah agar semua indah pada waktunya.

Jika ternyata kita mengalami kemacetan, berpikirlah untuk bangun, berangkat dan sampai tempat tujuan lebih pagi, agar bisa melanjutkan tidur di mobil setelah sampai tempat.

Jika mendapat banyak kerjaan, berarti kamu masih dipercaya untuk mampu menyelesaikannya semua.

Selamat memulai hari barumu, esok, esok, esok dan seterusnya, dengan senyuman, dan bukan dengan keluhan. Satu perubahan di pagi hari, akan bersinar siangmu, dan menjadikan damai malammu. AMIN.

0 komentar: