Sabtu, Mei 10, 2008

Aku...

Apa arti kata "aku"? Bisa kata ganti orang pertama, yang tidak terlalu formal, biasanya digunakan dalam percakapan dengan orang yang ingin kita ajak untuk lebih dekat, dan bisa sedikit mengurangi kekakuan dalam percakapan. Kata itu bisa juga menunjukkan sebuah egosentrisme diri, atau narsistik, atau malah arogansi seseorang.

Namun "aku" ini bisa menjadi sebuah cermin diri yang sangat besar dan mengelilingi dengan sempurna diri seseorang. Coba saja kamu ucapkan dalam hati, "Siapakah aku ini?"

Aku yakin pikiranmu langsung melanglang buana tanpa batas, mengkhayal seluas langit lepas. Dan inilah aku........

Bukan congkak, bukannya sombong. Syukurku pada Sang Pencipta untuk pemberian-Nya atas kondisi fisikku yang tak ada cacat saat aku dilahirkan, walau terlahir prematur. Ditambah dengan penampilan fisik yang kata banyak orang di atas rata-rata. Pujian seperti cantik, awet muda, badannya bagus, suaranya bagus, fashionable (a.k.a akan pantas-pantas saja memakai baju dengan model apapun), berotak encer, tak jarang dilontarkan orang kepadaku, bahkan orang yang belum aku pernah aku kenal sebelumnya. Pujian itu hanya bisa aku tanggapi dengan ucapan terima kasih, dan pernyataan tidak percaya, yang hanya aku ucapkan dalam hati "Masakh siy."

Namun asal kamu tahu, sempat ada masanya, di mana aku benar-benar merasa kebalikannya dari semuanya itu. Cantik? Wah, aku pikir orang yang mengatakan aku cantik, ia telah salah lihat. Belanja banyak baju, sepatu, tas dan barang-barang fesyen lainnya, apalagi dengan merek terkenal, baru bisa aku lakukan, setelah aku bisa menghasilkan uang sendiri. Mungkin selera pemilihan baju yang bagus, memang sudah ada sejak kira-kira aku SMP. Namun selera cara berpakaian dan berdandan aku, benar-benar berubah, sejak 2002, karena aku punya fashion advisor sendiri. Kami berdua pun sering belanja bersama. Untuk urusan otak encer, alias pintar, punya kisah sendiri. Coba kamu tanya kedua orang tua dan kedua kakakku yang selalu khawatir aku tidak naik kelas, setelah aku menginjak kelas 5 SD, sampai kelas 3 SMA. Aku pun hanya menargetkan, bahwa aku bisa naik kelas, tak peduli dengan angka berapa. Aku ingat betul, semester 3, kelas 2 SMP (kalau sekarang kelas 8), aku pernah berada di peringkat posisi 40 dari jumlah siswa 45 dalam satu kelas, dan prestasiku paling baik selama SMP adalah semester 5, dengan rata-rata 7.00 dan peringkat kelas 19, dan semester 6, dengan rata-rata 7.16 dan peringkat kelas 15. Itu pun bisa demikian, karena aku berusaha saingan dengan gebetanku waktu itu.

Aku, jika dilihat dari peranku sebagai seorang anak. Jelas aku bukan anak yang baik. Tak terhitung berapa kali aku berbohong dan tak berkata jujur pada orang tuaku. Omongan mereka sering tak aku anggap, dan bagai angin lalu. Kekesalan demi kekesalan muncul di benakku, bahkan terlontar dari mulutku, saat harapan dan permintaanku tak terpenuhi. Namun, bayangan kematian mereka yang menghantuiku dan membuatku takut, saat mereka sakit, terkulai lemah di rumah sakit, bahkan di ruang ICCU, barulah membuatku bangun dan tersadar. Bagai tamparan keras di pipi. Tak sanggup rasanya hidup tanpa mereka. Tak tahu bagaimana harus menjadi anak yatim atau piatu, saat diri ini TERNYATA masih sangat membutuhkan mereka. Syukur langsung aku haturkan pada sang pemilik jiwa dan raga ini, terima kasih karena mereka masih Ia izinkan hadir untukku. Terima kasih karena aku masih boleh merasakan cinta mereka hingga sekarang, yang tak mungkin dialami oleh teman-temanku yang sudah ditinggal mati oleh salah satu atau kedua orang tua mereka, di usia yang lebih muda daripada aku saat ini.
Terlahir sebagai seorang Katholik, dibaptis dan dipercayakan kepada perlindungan St. Anastasia, bukan merupakan jaminan bahwa hidupku akan menjadi seorang Katholik sejati. Lihat saja Injil yang masih rapi, yang aku simpan di rak buku di kamarku. Tanda bahwa Injil ini tak pernah tersentuh oleh tangan pemiliknya. Pembenaran-pembenaran dari malasnya diri ini, menyempatkan sedikit waktu untuk berbincang denganNya, juga sering muncul di otak licik manusia ini, pun di saat diri ini sadar bahwa aku hanya debu yang tak berdaya sama sekali.

Topeng perempuan mandiri, bisa aku kenakan dengan sangat sempurna. Sempurna menutupi lemahnya aku sebagai perempuan. Kadang tak tahu harus berlari ke mana, aku hanya bisa terduduk lunglai di kasur kamar tidurku, bahkan dulu sempat sesekali ditemani oleh si mungil ramping, langsing, panjang, bewarna putih, bernama Capri. Namun kembali "baju kebesaran" itu pun berhasil kembali aku kenakan. Mereka tak akan melihat derai air mata ini. Mereka tak akan pernah tahu bagaimana aku tergopoh-gopoh mencoba bangun, bangkit, berdiri, berjalan bahkan berlari kembali. Kesempatan itu hanya aku berikan kepada orang-orang terpilih, yang aku izinkan, untuk melihatku tanpa topeng.

Sebagai seorang teman ataupun sahabat, aku tak seperti yang diharapkan. Kata-kata sinis, jutek, tanpa basa-basi dan dipikir lebih lanjut, sering terlontar dari mulutku. Aku tak ingin menjadi sumber pembenaran mereka yang mencari hal itu. Tak akan kutampik, debat argumentasi, dan derai air mata yang membasahi pipi temanku, pernah terjadi karena hasil mulutku berkata-kata.

Aku sebagai aku, yang tak akan mungkin sama dengan orang lain.

Aku sebagai aku, yang tak ada duanya di belahan dunia manapun.

Aku adalah aku, yang mungkin akan mendengar langkah kaki yang berbeda dengan apa yang kamu dengar, yang mungkin akan mengikuti langkah itu, walau kamu katakan jangan.

Aku adalah hanya onggokkan tulang yang awalnya kokoh.

Aku adalah tubuh yang kencang walau tanpa operasi plastik dan sedot lemak.

Aku adalah balutan kulit halus, elastis dengan warna yang menarik dan tanpa keriput.

Aku, yang kemudian akan renta dan mati, akhirnya...

0 komentar: