Sabtu, Oktober 18, 2008

Cogito Ergo Sum...

Saya berpikir maka saya ada. Ya, begitulah kira-kira terjemahan dari judul tulisanku kali ini.


Manusia yang diciptakan pada hari terakhir dari seluruh rangkaian penciptaan dunia oleh Sang Maha Dahsyat, Agung dan Kuasa, yang kita sebut dengan Tuhan, memang merupakan makhluk yang idealnya merupakan paling spesial, dari semua makhluk yang ada di dunia ini. Aku rasa Tuhan mungkin meluangkan waktu, tenaga, pikiran-Nya yang paling optimal untuk menciptakan seonggok daging yang berjiwa, berotak, berbudi pekerti, berperasaan, dan ber-ber-ber yang lainnya. 


Idealnya manusia mempunyai segudang prestasi hidup yang membanggakan di mata Sang Penciptanya, di mata sesama manusia, bahkan makhluk lain, walau tanaman dan binatang itu, mereka sering "berbicara" dengan bahasa yang tak bisa dipahami oleh manusia. 


Sebagai "arsitek" manusia, Tuhan pasti juga mempunyai blue print yang berbeda untuk tiap ciptaan-Nya. Dan perlu diingat, blue print itu adalah misteri, yang pasti akan terlaksana, dengan cara apa pun. Cara yang kita pilih dan gunakan, selama berjalan meniti langkah di dunia. 


Pilihan itu semua berawal dari pikiran manusia. "Kertas putih" yang kita bawa dari rahim ibu, hanya bisa bertahan sekian detik setelah kita lahir. Itu sudah tercoret semenjak kita berinteraksi dengan orang lain, dengan lingkungan, dengan semesta. Termasuk tercoret oleh pikiran orang lain. 


Mungkin adalah awal yang buruk, bahwa pikiran kita ini bukanlah terisi oleh pemikiran orisinil kita sendiri, melainkan orang lain. Orang lain yang meminta kita melakukan suatu hal, memberitahu kita untuk menggunakan cara yang dianggap oleh mereka adalah baik. Pilihan yang akhirnya mereka ambil untuk jalan hidup mereka, dan mereka minta untuk juga diterapkan pada jalan hidup kita. Terdengar menyedihkan memang. 


Beranjak dewasa, sebagai manusia normal secara fisiologis dan psikologis, pasti mengalami perkembangan pada seluruh organ tubuhnya, hingga di titik tertentu, mereka tak lagi berkembang, malah mengalami penurunan yang pada akhirnya manusia itu akan menemui kematian. 


Termasuk pola pikir manusia, yang akan berkembang dan mati. Lagi-lagi kita diminta untuk memilih cara, kita diberi kebebasan seluas-luasnya oleh Tuhan untuk menentukan sendiri titian langkah kita. Sampai pada akhirnya titian itu mungkin akan diganti oleh-Nya, jika menurut-Nya blue print kita tak akan bisa terlaksana.


Tak terhitung jumlahnya pemikiran-pemikiran orang lain yang telah diserap oleh indera, dan otak kita setiap harinya. Pilihan yang sulit memang, untuk bisa memilih, menggabungkan, dan mungkin menjadikannya sebagai sebuah pola atau sistem yang pada akhirnya bisa menjadi pemikiran orisinil kita sendiri, menjadi solusi masalah yang kita hadapi. 


Namun dari pikiran itu pula lah, manusia bisa menjadi kejam, jika ia salah memformulasikan, apa yang ia terima selama ini. Ia akan menjadi predator terburuk, bagi makhluk yang lebih lemah dari ia sendiri, bahkan dari kalangannya sendiri. 


Kadang manusia harus belajar dari mereka yang mempunyai pemikiran yang tak sesempurna pemikiran manusia. Seekor anjing misalnya, yang tak mungkin tak beranjak mendekati tuannya saat mereka tiba di rumah, saat ia sakit sekali pun, bahkan jika ia tak bisa beranjak karena sakitnya, ia tak lupa untuk mengibaskan ekornya, tanda bahwa ia bahagia, tuannya telah tiba, dan bertemu dengannya. Seekor kura-kura yang tak lagi bersembunyi di tempurungnya saat ia di angkat dari air oleh sang pemiliknya, karena ia percaya diri bahwa ia tak akan disakiti.


Sederhana, mereka memberikan cinta tanpa syarat. Bahkan saat kita sedikit melupakan mereka, mereka akan perlahan menghampiri dan menyapa, seolah bertanya kabar terbaru. Sederhana, pikir mereka adalah cinta tanpa syarat. Dan itu sudah tersistematisasikan di otak mereka, tanpa henti. 


Namun manusia, yang memang notabene mempunyai pemikiran yang luar biasa, sampai terkadang luar biasa kompleks, dan tak karuan. Apakah saat hal itu terjadi, manusia itu bisa dikatakan ada sebagai manusia? Apalagi tanpa cinta.

0 komentar: