Saat itu, kalau aku tak salah ingat, di salah satu hari di tahun 2003, hujan mengguyur kota Jakarta dengan sangat deras, aku sedang berkendara pulang dengan Rully Hariwinata dari tempat kami mencari nafkah. Kebetulan kami berdua memang bekerja pada perusahaan dan kantor yang sama, bahkan divisi yang sama pula.
Arah menuju rumahku memang melewati rumahnya, walau perlu sedikit memutar. Dan saat itu memang aku sedang sering mengendarai mobil sendiri ke kantor. Aku ingat benar, kira-kira saat itu, jam mobilku menunjukkan sekitar pukul 21.30, dan Rully sedang membantuku mengendarai si Panther yang biasa aku kendarai waktu itu.
Tak tahu mengapa kami tidak melewati Slipi seperti biasanya. Kali ini kami memilih untuk lewat Tomang. Jalanan sudah cukup sepi saat itu. Padahal belum terlalu malam, dan biasanya Jakarta jika hujan deras, pasti sudah mengalami kemacetan yang sangat parah.
Saat di perempatan Tomang, kami hendak berbelok ke kanan, ke arah Tanjung Duren. Lampu lalu lintas saat itu sedang menyala merah. Pasti hal itu membuat kami harus berhenti. Di saat Rully sudah mengurangi laju kendaraan, dan saat kami sedang berbincang-bincang, tiba-tiba aku dikejutkan dengan sebuah pemandangan, yang sangat menyedihkan, yang pada akhirnya sangat membuat aku dan Rully, berdua dilema. Dan pemandangan itu terpaksa kami "nikmati" beberapa saat, karena mobil harus berhenti. Berhenti tepat di sebelah pemandangan itu ada.
Seorang anak kecil, perempuan, kira-kira belum genap lima tahun. Merangkul tiang lampu lalu lintas, meringkuk, ketakutan, basah kuyub terguyur hujan, yang terkadang ia menengadahkan kepalanya menatap langit yang sedang "berlinang air mata". Kami tak tahu ia menangis atau tidak, karena derasnya hujan menghalangi kami untuk dapat mencari tahu hal itu. Tak ada seorang pun di luar sana, di sekitar tiang lampu lalu lintas atau pun di pembatas jalan itu. Dan orang yang berada di dekat anak tadi, hanya kami berdua, hanya aku dan Rully.
Dua atau tiga menit menunggu lampu merah berganti menjadi hijau saat itu, serasa setahun. Mengacaukan pikiran kami berdua.
Sedih kami dibuatnya, tentu. Rasa cinta dan logika sekali lagi tak bisa dipertemukan kali ini. Berbaur sedikit egoisme diri, yang setidaknya untukku, aku jadikan sebagai pembenaran.
Bukan hati tak berkata meminta kami turun dari mobil dan membantu anak itu. Namun tak lama kemudian logika pun berkata lain. Tak ada seorang pun di sana, bahkan polisi, yang bisa membantu kami, jika ada hal yang tak diinginkan terjadi. Andaikan itu tak terjadi, dan anak itu berhasil kami ajak, tapi akan kami bawa ke mana? Dan bagaimana kami merawat anak itu?
Maafkan kami yang pada akhirnya lebih memilih untuk menatap arah depan, menatap jalanan di depan kami, dan akhirnya melaju, sesaat lampu lalu lintas berganti hijau.
Gas yang diinjak oleh Rully pun akhirnya sedikit melemah. Aku tahu, Rully pun merasakan hal yang sama denganku. Rasa sesal meninggalkan gadis kecil itu sendiri. Tersirat amarah akan ketidak-berdayaan kami berdua untuk membantu anak itu.
Hanya perlu waktu dua menit. Untuk membuat kami bimbang. Dua menit yang setidakya bagiku bisa menggantikan posisi arsip lain di memoriku, yang sudah diatur sedemikian rupa berdasarkan skala prioritas.
Dua menit yang membuatku belum juga menemukan jawabannya bagaimana seharusnya aku bertindak saat itu, atau mungkin kelak aku atau Rully, atau kami menemukan hal yang sama seperti itu.
Rasa kemanusiaan kami diuji. Tulusnya cinta kami sedang dipertaruhkan dengan logika yang tak kalah masuk akalnya.
Tidakkah kamu akan bertindak seperti itu, Teman?
1 komentar:
Gosh Cha...I've felt the same way, not only small child but also whe I saw the elderly still have to worked so hard, I mean hard in physically way. I just felt that I must do something yet I don't know what I'm supposed to do. after that all I did just pray to God, ask Him to give them some blessing (Rezeki in Indonesia) and give them healthy condition fot them to live their life.
Posting Komentar