Rabu, April 15, 2009

Jendela Semu...

Tak ingat lagi kapan terakhir kali ia membuka media ruang mengobrol salah satu situs ternama itu. Apalagi semenjak ia dan kekasihnya tak lagi mempunyai daya fisik untuk sama-sama merelakan jam tidur mereka, demi bertemu di ruang maya itu hingga subuh menjelang seperti biasanya. Itulah saat-saat terindah untuk mereka berdua, atau setidaknya untuk dirinya. Untuk Rana, sang penulis.

Hidupnya memang dipenuhi dengan taburan "bunga". Dari "bunga bangkai" sampai "bunga mawar" berwarna nan indah, yang hadir selalu di kehidupannya. Namun itulah yang membuat Rana tetap menjadi seorang Rana. Termasuk kejadian yang menimpa dirinya bulan lalu, yang tak terlalu ia pedulikan. Setidaknya berhasil ia kesampingkan dan tidak berada di dalam daftar prioritas investigasi lebih lanjut "sang detektif" yang penuh rasa penasaran itu.

Suara perempuan di ujung telepon di pagi hari telah membuat harinya sedikit berwarna, tepatnya berbunga. Perempuan dengan suara getir, yang menurutnya akibat ia menahan amarahnya. Perempuan yang dengan segala itikad baik mencurahkan segala rasa penasarannya dengan mengajukan beberapa pertanyaan pada Rana.

Dua perempuan itu pun sempat berbicara beberapa menit di telepon. Sepertinya keduanya berhasil mengikat diri di balik seribu topeng tebal, atau lebih tepatnya kedewasaan dan pertaruhan kredibilitas diri. Mereka tak saling menyakiti, berusaha untuk tak saling menyakiti, dan berhasil.

"Hmmm, So? Resiko seorang penulis", pikirnya saat itu. Ia pun kembali sibuk dengan segala pekerjaan yang dibuatnya ada.

Ya, perbincangan dua perempuan itu hadir karena tulisan Rana di sebuah media. Tak ada niat apapun saat ia tuliskan semuanya. Pikirnya, tak ada yang akan tersakiti, karena memang itulah yang diketahuinya. Hanya ada Rana dan apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, apa yang ditangkap oleh inderanya, dan apa yang ditulisnya.

Beberapa hari pun berlalu dari kisah yang pada akhirnya menimbulkan rasa penasaran pada dirinya. Namun seperti biasa, pertanyaan-pertanyaan itu akan tetap ada di kepalanya, berhenti sampai di sana, saja. "Time will tell lah. Sakkarepmu."

Rana tetap seorang Rana. Hari demi hari ia lalui, dan peristiwa itu pun berangsur berhasil ia singkirkan di "gudang penyimpanan" paling ujung yang ada di otaknya.

Sampai beberapa hari lalu, saat Rana ingat bahwa sudah sekian lama ia tak berkunjung ke media ruang mengobrol di mana ia terdaftar menjadi anggota di situs ternama itu.

Setelah ia selesai mengklik tombol sign in, ia pun menerima beberapa offline message, dan beberapa permintaan penambahan kenalan di ruang obrolan itu. "Tumben, ga sebanyak biasanya."

Lebih banyak yang tidak Rana kenal, kecuali satu. Satu permintaan dari perempuan yang kala itu meneleponnya.

"Kekeuh juga nih perempuan. Hebat."

Seperti biasa juga, Rana tak serta merta menerima semua keadaan yang menimpa dirinya. Maklumlah sebagai seorang analis sejati, Rana pun kemudian mencoba untuk memikirkan langkah apakah yang akan ia ambil, apa resikonya dan lain-lain hal. Tidak hanya untuk permintaan perempuan itu. Untuk semua permintaan yang tersuguh di depannya, di jendela-jendela yang bermunculan di layar laptopnya.

"Accept, decline? Accept, decline. Kalo accept bakal apa, kalo decline bakal apa. Halllaggghh, ga suka nih kayak gini."

Akhirnya Rana menyamakan perlakuan terhadap permintaan-permintaan tersebut.

"Ya udah lah, gue lagi bae hari ini. Gue terima aja semua, walau ga kenal."

Tak seperti biasanya ia menerima. Mengingat Rana selalu menolak seluruh permintaan menjadi teman di situs jejaring Facebook, saat ada yang meminta untuk dimasukkan ke dalam daftar temannya, dari orang yang tak ia kenal, apalagi tanpa meninggalkan pesan apapun di dalam permohonan itu. Bahkan sekarang ia sedikit lebih sadis, ia sudah menutup kemungkinan bisa tercarinya profil Facebook-nya, di dalam dunia maya. Hanya yang terdaftar sebagai teman, yang hanya bisa melihat profilnya.

Perempuan yang meneleponnya beberapa waktu lalu bernasib lain. Sekarang ia telah termasuk ke dalam daftar teman Rana, walaupun hanya di media ruang obrolan ternama ini.

"Biarlah, gue niat baik kok."

Dan kembali beberapa hari berikutnya, setelah hari ia memutuskan menambahkan nama perempuan itu ke dalam daftar temannya di media ruang obrolan tersebut, ia tak menandangi situs itu. Malas. Seperti biasa.

Sampai dengan ia berniat membukanya, hari itu. Hari di mana ia pun tak bersembunyi, menampilkan diri di antara kerumunan manusia-manusia yang ada di sana, di dunia maya yang penuh dengan "kebrengsekan", yang juga maya.

Rana tak melulu di depan benda elektronik jutaan rupiah itu, yang menjadi teman setianya. Kakinya tak pernah diam, karena panas udara yang kali ini membuatnya tak betah duduk berlama-lama di kamarnya. Tak seperti biasa, di mana benda itu mampu membius Rana bagai patung di depannya, selama berjam-jam.

Sekembalinya dari langkah kakinya, ia mencoba duduk mematung di depan benda hasil inovasi canggih tak tahu karya siapa. Kali ini kembali ia dikagetkan dengan dua buah jendela sekaligus. Masing-masing dari mereka yang beberapa hari lalu disetujui untuk sedikit lebih mengenalnya. Mengenal Rana, manusia ajaib, dengan sedikit sentuhan abnormalitas diri, yang tak tahu hasil bentukan dari mana, dari siapa, atau akibat apa. Rana hanya percaya bahwa manusia lahir bagai kertas putih, tabula rasa. Lingkungannyalah yang banyak menorehkan tinta di atasnya.

Di dalam dua jendela itu Rana menemukan sederetan tulisan, yang kembali menimbulkan analisa tertentu di dalam otaknya.

"Reply, gak? Reply, gak? Yang mana dulu ya?"

Ya, begitulah Rana, sering terlalu banyak pikiran, yang pada akhirnya membuat dirinya sering lelah, apalagi dulu ketika ia masih lebih memikirkan orang lain.

Rana memerhatikan ada sedikit perubahaan pada dua jendela tadi. Foto-foto yang telah terganti. Satu jendela yang tadinya tak berfoto, menjadi berfoto, dan satunya lagi dari yang menampilkan foto gambar abstrak menjadi foto seorang anak kecil.

"Dua-duanya kok janjian. Hahhahaha."

Akhirnya Rana memutuskan untuk membalas sapaan ramah dari mereka. Namun hanya satu jendela yang aktif saling berbalas. Dihiasi dengan berbagai obrolan, yang membuat Rana menjadi seperti pelaku wawancara.

"Duh maaf ya, penasaran gue."

Di tengah perbincangannya dengan perempuan di jendela itu, Rana tak henti memandangi foto yang ada di sana. Rana hanya tersenyum, sembari sedikit berpikir dalam hatinya.

"Lucu. Mirip. Apa gue sliwer ya? Atau gara-gara gue ga pake kacamata or soft lens, jangan-jangan ukurannya nambah."

Di akhir perbincangan antara dua perempuan itu, Rana dimintai sebuah permintaan maaf, dari perempuan itu atas telepon yang ia lakukan padanya bulan lalu. Dan menurut Rana tak ada yang perlu dimaafkan, semua itu sudah menjadi bagian resiko sebagai seorang penulis.

Perbincangan Rana dengan perempuan itu, akhirnya diselesaikan oleh Rana yang tak lagi membalas apa yang dikatakan perempuan tadi, setelah jawaban terakhirnya terkirim. Itu semua karena Rana sudah terbius oleh kecanggihan teknologi yang terbentang di depannya.

0 komentar: