Ia tahu bahwa dirinya tak berani menatap mata laki-laki itu sejak pertama kali ia jumpa, atau tepatnya semenjak mereka bertemu lagi. Di benaknya hanya ada kepasrahan, rasa canggung, bingung, ragu, nelangsa, dan tanda tanya-tanda tanya yang bertebaran, yang tak ingin ia bagi ke siapa pun, termasuk laki-laki itu.
Hanya 6 hari setelah pertemuan itu. Mereka berjanji untuk bertemu lagi. Keraguan itu lebih mewarnai wajah mungilnya. Dingin bagai es di kutub utara, ia hadirkan di tengah pertemuan kali itu. Berjarak 1 hingga 2 meter ia berjalan di depan laki-laki itu. Tetap tak berani ia tatap wajahnya, apalagi tantang pandangan matanya.
Pertemuan demi pertemuan mereka jalani. Hingga permintaan itu. Permintaan untuk boleh menikmati teduh binar mata mungilnya. Menyandarkan kepalanya sejenak dan beristirahat. Memintanya berjalan bersamanya di padang tandus bernama savana. Walaupun mereka berdua tahu, ini adalah savana kesekian kalinya yang mereka jalani dengan penuh kenekatan. Berharap mendapatkan kesenangan dari sakit yang tak kapok mereka hadapi. Padang tandus itu penuh duri tanaman perdu yang tak tahu diri tumbuh sesuka hati. Tak ramah terhadap pendatang yang ingin berjalan menentukan arah. Tak satu pun petunjuk arah ada di sana.
Namun, mereka berdua pun tahu, suatu hari nanti mereka akan berjalan sendiri. Lagi. Menuju arah yang berbeda. Kembali. Tak bertemu ribuan hari. Untuk kesekian kalinya.
Dan mungkin akan bertemu. Lagi.
Jumat, Desember 19, 2008
Empat Kaki Di Savana...
Pikiran seorang Rufina Anastasia Rosarini pada saat 15.24
Kategori tulisan: Romantisme
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar