Jumat, Maret 21, 2008

Barisan Pembaca Novel...

Hmmm...kamis kemarin? Libur sebenarnya. Namun aku janjian bersama teman-temanku yang kebetulan dari tim yang sama dalam pembuatan skripsi "Intergroups Communication". Jam 11.15, aku sudah tiba di Pondok Indah Mall I, tempat kami akan bertemu dan membahas apa segala sesuatunya. Jadilah kami duduk di salah satu restoran cepat saji di lantai tiga, yang ada sejak pertama kali PIM I di buka.

Setelah makan, dan membahas semua yang akan kami tulis, berdiskusi, berbagi dari apa yang kami temukan di lapangan, serta membahas panduan wawancara yang akan kami ajukan ke subjek, aku menengok ke jam tanganku. Saat itu sudah menunjukkan waktu 14.15. Jam yang tanggung. Tanggung untuk pulang ke rumah baru berangkat lagi ke gereja. Tanggung untuk langsung pergi ke gereja. Akhirnya aku berputar-putar dulu di PIM I, jam 15.00 aku meninggalkan PIM I untuk menuju daerah Barito, lokasi gerejaku. Sampai sana masih jam 15.30. Melihat kondisi gereja yang masih sangat kosong, aku memutuskan untuk melihat-lihat ke Danar Hadi, tempat penjualan batik untuk mencari kain yang rencananya akan aku jahit untuk pernikahan temanku.

Tak lama di sana, pukul 16.00 aku sudah duduk kembali di gereja. Masih harus menunggu satu jam lagi, sampai misa perayaan Kamis Putih dimulai, yaitu pukul 17.00. Aku pikir dari pada bengong, akhirnya aku mengeluarkan Novel Laskar Pelangi yang ada di tasku, dan kemudian aku mulai membaca. Tak pedulikan sekitar, yang jelas orang-orang yang mulai berdatangan sedang sibuk mencari tempat duduk di dalam gereja, karena dingin, berkat penyejuk udara, seolah mereka sedang berebut.

Samping kiriku ada sederet keluarga yang terdiri dari 3 generasi. Mereka sibuk bercengkerama, setelah mereka selesai doa pembuka, yang biasa di haturkan umat secara personal sebelum misa di mulai.

Dunia seakan milikku sendiri. Tak terlalu menggubris sekeliling, bahkan niatku untuk menanyakan 2 temanku yang biasanya duduk bareng di gereja, kembali aku urungkan. Sibuk dengan novelku itu.

Dari ekor mataku terlihat orang-orang yang duduk sangat dekat denganku, seperti melirik-lirik aneh ke arahku, mungkin pikir mereka "Kok di gereja baca novel", tapi aku pun kemudian berpikir "Kok di gereja ngobrol".

Kembali tak peduli...tak peduli...tak peduli...sampai mata ini sedikit lelah membaca rentetan kata di sana...dan aku mengalihkan pandanganku ke kiri dan ke kanan. Ternyata...di sebelah kananku ada satu orang yang juga sedang membaca novel...dan sebelah kiriku persis, juga sedang membaca novel.

Aku, semacam trend setter di sini?

Minggu, Maret 16, 2008

Makan Siang Gratis...

Kejadian yang sangat mengagetkan aku alami siang hari ini. Makan siang bersama dengan sang mentor hidupku di Mall Puri Indah, di restoran yang menyajikan makanan khas Singapura, karena tempat ini satu-satunya yang menyediakan meja untuk para perokok. Di baris itu terdapat tiga buah meja yang masing-masing bisa di tempati oleh empat orang. Sedangkan salah satu sisi, tempat duduknya berupa sofa yang memanjang, dari ujung ke ujung lebar ruangan tersebut.

Saat kami masuk, kami lihat ada sebuah keluarga di sudut lain. Keluarga itu membawa satu anak kecil. Aku sempat heran mengapa si pelayan mengatur tempat duduk mereka di area para perokok, karena mereka membawa anak kecil. Oleh sebab itu, aku memilih untuk duduk di ujung lain deretan meja itu, untuk menghindari anak kecil tadi dari kepulan asap rokok temanku yang satu ini. Tak lama kemudian keluarga itu beranjak, dan meninggalkan restoran, karena tampaknya santap siang mereka sudah selesai. Tinggallah aku dan temanku yang berada di deretan itu.

Tak lama kemudian datang seorang laki-laki dengan seorang perempuan, yang menurut asumsiku, mereka adalah sepasang kekasih, belum sepasang suami-istri. Mereka duduk tepat di sebelah kami. Karena posisi duduk yang cukup dekat, dan suara mereka cukup kencang, sehingga semua pembicaraan mereka berdua otomatis terdengar oleh kami.

Mereka sempat menjadi bahan observasi dan pembicaraan kami berdua. Apalagi saat si perempuan menemukan satu nomor telepon yang tersimpan di seluler si laki-laki, dan saat si perempuan itu menanyakan, si laki-laki memberikan suatu jawaban yang ternyata belum membuat si perempuan puas dengan jawaban itu. Si perempuan terus menanyakan perihal nomor telepon itu. Aku dan temanku langsung saling berpandangan. Aku tahu bahwa isi otak kami saat itu sama, yaitu "Dasar cewek posesif".

Saat mereka memesan makanan pun terjadi sedikit adu argumentasi antara si laki-laki dengan si perempuan, tentang menu makanan yang akan mereka pesan. Dari percakapan mereka dengan si pelayan, kami mengetahui bahwa si laki-laki sedang sakit batuk. Sekali lagi, kami tak mencuri dengar percakapan mereka, melainkan jarak dan suara mereka yang membuat kami bisa mendengar semua perkataan mereka.

Kami pun lalu disibukkan oleh makanan dan minuman yang sudah tersedia di depan kami. Aku langsung menyantap makan siangku saat itu. Tak lama kemudian, temanku ini ingin merokok. Karena tahu bahwa 'tetangga' kami saat itu sedang batuk, maka temanku ini menyapa si laki-laki di sebelah dan bertanya "Mas, sorry saya notice mas lagi batuk, masalah gak kalau saya merokok?"

"Oh, gak papa, gak masalah, silakan merokok"

"Ma kasih ya Mas. Saya ngga enak mas lagi batuk tiba-tiba saya merokok di sini."

Kami dan mereka langsung melanjutkan aktivitas masing-masing. Tak lama kemudian, mereka meminta tagihan untuk mereka bayar. Satu hal yang mencengangkan aku dengar "Mbak, bill sebelah sekalian ya". Itu yang ia katakan pada si pelayan yang menghampiri meja mereka. Temanku yang satu ini sedang sibuk dengan selulernya. Aku langsung memberi kode, tapi ternyata ia tak menggubris kode yang aku berikan. Sampai akhirnya laki-laki sebelah itu menyapa "Mas, nanti billnya sekalian sama saya saja ya."

Langsunglah di situ terjadi 'perdebatan' antara temanku dengan laki-laki itu.

"No, no it's ok. Gak perlu lah. Gak usah repot-repot. Seriously!"

"Ah, gak papa kok, si mas ini udah baik perhatian sama saya. Tahu kalau saya lagi batuk."

Aku cuma terbengong-bengong melihat mereka berdua berbincang-bincang. Sampai akhirnya si laki-laki itu memberi perintah sama si perempuan yang duduk di depannya "Kartu gue ada di elo khan satu, gue mau ke bawah dulu, ntar elu bayarin sekalian meja sebelah."

Temanku masih tetap menolak niat baik dari 'tetangga' kami ini. Sampai perdebatan itu diakhiri oleh perkataan si perempuan sebelah "Gak papa kok, dia lagi happy."

Kami langsung melanjutkan aktivitas lagi. Aku duduk bengong karena sudah kenyang, sembari sesekali melihat ke arah meja sebelah. Temanku ini sibuk menerima telepon urusan pekerjaannya.

Observasiku masih berlanjut, apalagi saat tagihan makan itu datang ke meja sebelah, dan benar semua tagihan makan siang kami saat itu dibayarkan oleh 'tetangga' baru kami itu. Kartu itu sudah digesek, lembar kertas persetujuan pun sudah di tandatangani oleh si perempuan itu. Aku hanya bisa tercengang, dan temanku hanya bisa berkata pada si perempuan itu "Beneran nih?"

"Iya, ya, udah kok, udah dibayarin."

"Duh, ma kasih ya. Segitunya kita di appreciate."

Saat laki-laki itu kembali ke meja sebelah, aku melihat ia berbisik kepada si perempuan. Namun gerak bibirnya masih bisa aku ketahui "Udah elu bayarin sebelah?"

"Udah kok."

Aku dan sang mentor bingung harus bilang apa, saat kami akan beranjak. "Biasanya aku yang in control, tapi sekarang ngga banget", temanku berkata demikian padaku. Aku cuma bisa berbisik "Mengagetkan. This is the first time in my life. Ditraktir ama orang asing yang ngga gue kenal"

"Sama. Ini juga pertama kalinya untuk aku."

"Kita di appreciate segitunya ya."

"Ho oh."

Saat beranjak keluar, hanya ucapan terima kasih, dan penyampaian rasa kaget kami terhadap perlakuan mereka. Kami tak mencari tahu nama mereka, begitu pun juga dengan mereka. Aku dan sang mentor berjalan keluar, sambil masih merasa kaget.

Saat di tangga aku bilang "Aku masih kaget loh. Jangan-jangan yang punya toko lagi."

"Sama. Ngga lah dia bukan yang punya toko."

"Gak, bukan yang punya restoran tadi, tapi toko lain."

"Tapi dari awal aku liat 'cha ini orang bawa handphone Nokia yang harganya 19 jutaan dan satu lagi Vertu, yang harganya kira-kira seratus juta kali ya."

"Ok."

Hmmm, intinya hari ini aku dikagetkan oleh kejadian yang satu ini. Makan gratis dibayarin oleh.....(siapa ya?)

"Duh, maaf ya, ngga kenal."

Sekali lagi terima kasih ya 'tetangga'ku.

Sabtu, Maret 15, 2008

Aku dan Ajaran Itu...

Terlahir di tengah keluarga Katholik, maka aku pun menyandang sebuah nama baptis, yang konon dulu juga dipakai oleh seseorang, yang telah masuk daftar orang suci menurut Gereja Katholik. Nama itu Anastasia. Nama yang sangat indah. Nama yang sangat aku sukai. Bahkan nama ini merupakan salah satu nama yang melegenda di Rusia. Ingat sebuah film dengan judul Anastasia?

Lebih dari itu, dengan menyandang nama itu, berarti pula orang tuaku, mempercayakan aku kepada perlindungan Santa Anastasia, atau mungkin apa yang nanti aku lakukan di dunia ini, diharapkan sedikit mirip dengan perbuatan Santa yang satu itu. Menurut sejarah, Santa Anastasia ini adalah seorang martir, yaitu seseorang yang rela mati untuk Gereja. Ia dulu dibakar hidup-hidup, karena perbuatannya membela mereka yang dipenjarakan. Oleh Gereja, Santa Anastasia bahkan sampai diberi penghargaan besar. Namanya dimasukkan ke dalam Doa Syukur Agung I. Doa Syukur Agung ini adalah doa puncak saat perayaan Ekaristi berlangsung, saat roti dan anggur 'diubah' menjadi Tubuh dan Darah Kristus sendiri. Doa Syukur Agung mempunyai sepuluh versi, dan versi yang pertama ini adalah versi yang biasanya dipakai pada perayaan Ekaristi saat hari raya-hari raya besar, seperti Natal maupun Paskah. Sayangnya hari perayaan Santa Anastasia ini jatuh bertepatan dengan hari raya Natal, yaitu 25 Desember, yang menyebabkan perayaannya seperti sedikit 'dilupakan'.

Ya, itu sedikit cerita dibalik nama yang aku sandang. Namun hal lain yang lebih esensial adalah aku sebagai seorang Katholik. Memang sebagian besar bayi yang lahir, mempunyai agama yang sama dengan agama yang dianut oleh keluarganya, terutama orang tuanya. Lagi-lagi, untuk yang satu itu, manusia kecil yang baru hadir ini, hanya bisa menerima takdir. Tak bisa memilih, melainkan dipilihkan. Begitu pun juga dengan aku. Aku menerima Sakramen Baptis, saat usiaku masih 4 bulan, dengan Ibu permandianku yaitu almarhum Oma, dari ibuku. Tak tahu mengapa aku sangat yakin, dari lahir aku pasti sudah dibawa ke gereja setiap minggu.

Menerima pendidikan Katholik, tidak hanya di rumah, namun juga di sekolah. Dari aku SD, hingga aku kuliah, aku dimasukkan ke lembaga-lembaga pendidikan Katholik, yang cukup ternama, dan terus terang sedikit 'mengerikan'. Mengapa aku katakan 'mengerikan'? Jawabannya adalah gaya penerapan disiplin mereka itu yang tak ada toleransi. Hal ini terutama baru aku rasakan saat aku duduk di jenjang pendidikan tinggi pertama, SMP Pangudi Luhur. PR yang bertumpuk. Jadual ulangan umum yang berjumlah 3 dalam satu hari, yang membuatku hanya mentargetkan membaca setengah bahan ulangan dari setiap mata pelajaran yang diujikan. Tak ada ampun, jika terlambat, yang membuat aku harus memilih antara pulang, atau masuk jam ke-2 tetapi harus membersihkan perpustakaan atau WC sekolah. Aku termasuk jarang menikmati hukuman yang satu itu. Paling hanya beberapa kali saat aku kelas III. Namun hal itu sangat sering aku alami saat aku di SMA Tarakanita I, apalagi saat aku duduk di kelas III. Terlambat hampir setiap hari. Untung ada petugas absensi yang baik, jika guru piket belum ada, jadi aku masih diperbolehkan lari terbirit-birit menuju ke kelas.

Pendidikan dengan gaya seperti itu, baru aku rasakan manfaatnya ketika aku sudah tidak berada di sekolah-sekolah itu. Bagaimana aku bisa bertahan menyelesaikan pekerjaan yang susah, banyak, bertumpuk dan dikejar waktu. Bagaimana aku harus menghadapi atasan, rekan kerja yang sering juga meminta sesuatu seakan seperti dulu aku dibentak oleh kakak kelas di SMA, walaupun bentakkannya tak sama dengan kakak kelasku dulu. Bagaimana aku harus bersikap terhadap keluargaku, saat mereka tak ada hentinya menuntutku untuk dapat menuruti semua keinginan mereka.

Selain itu, pendidikan Katholik yang sangat kental, membawaku selalu percaya pada kekuatan doa. Dahsyatnya kekuatan yang satu ini memang tak ada bandingnya. Yang Di Atas sana aku anggap terlalu baik untuk raga debu ini. Semua yang terbaik, Ia suguhkan untuk aku. Semua impianku hadir di depan mata, bisa aku raih, bisa aku nikmati, bisa aku rasakan. Sebut saja seperti keinginanku untuk dapat bekerja di salah satu perusahaan di gedung coklat nan megah, di persimpangan jalan Sudirman dan Casablanca, yang tadinya hanya khayalanku saat aku melintasinya, ternyata bisa aku rasakan. Keinginanku untuk bepergian menikmati tempat-tempat indah, keinginanku sekolah lagi tanpa meminta uang kuliah dari orang tua, saat ini pun sudah aku rasakan. Bahkan doa dan harapanku untuk kesembuhan papa, saat papa terbaring lemas di ICCU, karena serangan jantung tahun lalu, juga Ia kabulkan.

Bergulirnya jari jemari ini di atas butiran-butiran kecil yang terangkai menjadi sebuah tasbih, yang dinamakan Rosario pun sering aku lakukan. Bahkan dulu saat aku masih berangkat dan pulang kantor dengan kakakku, hal itu tak luput dari rutinitasku saat duduk di mobil, dalam perjalanan di jalanan macet ibukota.

Berjalannya waktu, semuanya berubah. Awal 2002, saat kekacauan di rumah yang mulai tak terkendali. Perang dingin antar penghuni rumah pun terus berkecamuk di sana. Inilah puncak dari ketidakharmonisan keluarga ini, inilah hasil dari tidak adanya kedekatan di antara kami, itulah yang aku pikirkan saat itu, dan sampai saat ini. Aku pun mulai bertanya, apakah aku ini ternyata merupakan produk sebuah broken home?

Keraguanku atas doa-doa yang aku panjatkan pun semakin meningkat, karena keadaan rumah yang tak kunjung membaik. Doa kusyuk itu pun berlahan aku tinggalkan. Mulai sesekali absen ke gereja dengan segala alasan dan juga pembenaran diri.

Apalagi setelah aku kembali kuliah tahun 2004. Tak tahu mengapa, bidang yang aku pelajari saat ini, semakin membawaku mempunyai seribu satu analisa tersendiri terhadap pemahamanku tentang ajaran agama itu sendiri. Agama semakin dirasionalisasikan. Sebagai contoh, pemikiran seperti "Tak pantas rasanya aku datang pada-Nya, jika aku belum bisa memaafkan kesalahan orang lain terhadapku", atau pemikiran "Percuma baca Injil tiap hari, tapi abis baca kerjaannya menghakimi orang lain" yang ada dibenakku, ketika melihat kejadian yang persis seperti pemikiranku tersebut. Bahkan hal yang terparah, yang pernah ada di benakku adalah pemikiran bahwa sakramen pernikahan dewasa ini, rasanya sudah tidak relevan, mengingat semakin kejamnya dunia, mengingat saat ini memilih pasangan hidup sampai mati bagai membeli kucing dalam karung. Pada akhirnya sering kali aku berpikir "Tuhan tahu kok kenapa gue ngga ke gereja" atau "Ah, khan berdoa bisa di mana aja, ngga mesti di gereja. Percuma ke gereja tapi otaknya ke mana-mana" atau "Ngapain ke gereja tapi hatinya masih jengkel sama orang lain".

Hal-hal seperti itu masih mewarnai pemaknaan religi bagiku sampai saat ini. Walaupun sudah hampir setahun ini aku jarang absen ke gereja, namun semuanya itu seperti hanya rutinitas mingguan, hanya sebagai kewajiban. Tak jarang jika aku bertemu dengan teman-teman lamaku saat aku ke gereja, suasana hening yang harusnya tercipta, malah menjadi serupa suasana kongkow-kongkow di kedai kopi dan ajang reuni.

Keinginanku untuk kembali memainkan jari di atas tasbih itu, sempat muncul minggu lalu, namun kembali sirna, kembali merasa tak pantas meminta sesuatu dari-Nya. Kembali dengan segala rasionalisasi yang bertengger di otak ini. Tak tahu sampai kapan pemikiran itu ada di kepala ini. Tak tahu kapan aku akan kembali duduk bersila di depan Patung Bunda Maria dan Salib Yesus yang ada di kamarku, sambil berkomat-kamit doa Salam Maria, yang dulu aku lakukan setiap hari.

Satu pertanyaan yang ada di otakku, lebih sejati mana, menjadi seorang Katholik, yang setiap hari baca Injil, rajin ke gereja, rajin berdoa, namun tak tercermin di dalam perbuatan, perkataan sehari-hari, atau seorang Katholik yang malas berdoa dengan kusyuk, malas ke gereja, karena alasan yang secara manusiawi masuk akal? Jawabanku adalah hanya Tuhan yang dapat menilai semua perbuatan manusia.

Dan satu hal yang pasti, untuk saat ini, sampai tulisan ini aku buat, diri ini tak akan melangkah keluar dari Gereja Katholik, walau semuanya itu aku jalani dengan pemaknaan religi yang aku miliki sekarang.

Jumat, Maret 07, 2008

Nama Obat-Obat Untuk Anjing...

Ini nama obat-obatan yang saya sediakan di rumah. Ada baiknya untuk selalu menyediakannya di rumah, terutama untuk pertolongan pertama.

Tricin: obat mata. Segera berikan obat ini kepada anjing, jika mereka memperlihatkan gejala memicingkan mata. Itu tanda utama, anjing mengalami gangguan pada mata. Segera periksa keadaan mata pada anjing. Apakah ada luka atau tidak. Bintik kuning pada mata anjing sulit dilihat tanpa alat yang ada di dokter hewan. Bawa anjing ke dokter paling lambat dalam waktu 24 jam, apalagi terlihat tidak ada perubahan sama sekali setelah pemberian obat. Obat ini dapat dibeli di dokter hewan. Obat ini sebanyak-banyaknya dapat diteteskan pada mata anjing satu tetes tiap mata, satu jam satu kali (baca petunjuk pemakaian pada kotak). Namun ada baiknya jika sesuai dengan anjuran dokter hewan. Jika tidak ada tricin, dan jika di rumah ada pohon sirih, rebus beberapa helai daun sirih dengan air bersih. Tunggu air dingin, kemudian teteskan air sirih tersebut pada mata anjing. Beri dua-tiga kali sehari. Namun pemberian tidak boleh lebih dari 3 hari berturut-turut. Berdasarkan pengalaman pribadi, air daun sirih ini sangat manjur. Anjing saya yang tiba-tiba kelopak matanya tidak dapat terbuka, begitu saya teteskan, dalam waktu kurang dari setengah jam langsung dapat terbuka kembali. Pemberian air sirih ini dapat dikombinasi dengan tricin tadi, namun jangan diberikan secara bersamaan. Pemberiannya harus secara bergantian dan diberi jarak waktu.

Tears Naturale: Obat mata, air mata artifisial. Bisa digunakan dalam kondisi apapun. Terutama anjing yang sudah tua, karena produksi air matanya sudah menurun. Selain itu dapat digunakan pada mata anjing mengeluarkan belek. Pemberian satu tetes dalam satu hari akan sangat membantu. Tears naturale ini adalah obat yang biasa digunakan juga pada manusia. Bisa didapatkan di apotek terdekat.

Apex Ear Drops (Ear Mites): Untuk menghilangkan kutu anjing, terutama yang bersarang di telinga. Teteskan 1-2 tetes pada setiap telinga, satu kali sehari. Apalagi jika anjing sering menggaruk-garuk telinga. Bisa didapatkan di dokter hewan. Jangan lupa perhatikan tanggal kadaluwarsa.

Panolog (Ear and Eye Ointment):Bisa digunakan untuk telinga dan mata. Namun dokter hewan saya biasanya lebih menganjurkan penggunaan ini untuk telinga. Jika untuk mata, lebih dianjurkan penggunaan dengan Tricin. Panolog bisa mengatasi rasa gatal pada telinga, dan penyembuhan infeksi telinga bagian dalam yang sudah cukup parah. Namun pada kasus serius, perlu pemeriksaan pada dokter hewan, terutama untuk cara pemberiannya dan dosisnya. Saya biasanya hanya menggunakan obat ini pada anjing, untuk mengurangi rasa gatal di bagian telinga luar.

Front-Line: Obat kutu anjing. Bisa dibeli satuan maupun satu kotak. Harganya cukup mahal, tergantung berat tubuh anjing. Ada yang untuk 0-10 kg, 10-20 kg, dan di atas 20 kg. Obat ini cukup ampuh membasmi kutu anjing, bahkan sampai yang bersarang di dalam telinga. Teteskan satu tube obat ini sampai habis di bagian tengkuk anjing. Perhatikan jangan teteskan di bagian tubuh yang masih bisa dijangkau oleh mulut anjing. Tak perlu teteskan di beberapa tempat, karena obat itu akan bekerja dengan sendirinya untuk membasmi kutu yang ada di seluruh bagian tubuh anjing. Jangan lupa pemberian obat harus disesuaikan dengan berat tubuh anjing. Jangan memandikan anjing setelah pemberian obat ini, kira-kira dalam waktu satu minggu. Obat ini bisa dibeli di toko hewan.

Drontal: Obat cacing. Pemberiannya harus sesuai dengan petunjuk dosis dokter hewan, karena dosisnya harus disesuaikan dengan berat tubuh anjing, dan jenis cacing yang bersarang di tubuh, juga karena ada cacing yang sulit dihilangkan, dan juga ada yang mudah. Anjing juga seperti halnya manusia, sebaiknya meminum obat cacing, 6 bulan satu kali.

Semua informasi tersebut, merupakan informasi berdasarkan pengalaman pribadi saya. Namun saya anjurkan untuk segera membawa anjing ke dokter hewan, untuk penanganan yang terbaik.

Yang saya sangat anjurkan miliki di rumah adalah Tricin, karena penanganan infeksi, luka ataupun kelainan pada mata, semakin cepat, semakin baik. Segera bawa ke dokter hewan, jika belum ada perubahan dalam waktu 24 jam, karena terlambatnya penanganan, akan dapat mengakibatkan mata anjing harus dioperasi, yang berarti anjing harus kehilangan salah satu matanya, atau bahkan dua-duanya. Jika anjing harus dioperasi kedua matanya, biasanya dokter menganjurkan anjing untuk ditidurkan selamanya. Namun hal itu bisa saja tidak dilakukan. Berdasarkan artikel yang saya temukan di internet, banyak pemilik anjing yang tak menidurkan anjingnya yang telah buta kedua mata, atau memang harus dioperasi keduanya. Anjing-anjing itu masih dapat hidup dengan bahagia, dan tampak seperti anjing normal. Namun hal itu juga tergantung si pemilik, yang mau atau tidak membimbing anjing untuk hidup normal tanpa penglihatan. Untuk kondisi ini jangan memindahkan perabotan di rumah, karena anjing mempunyai photographic memory yang sangat kuat. Jika mereka tak buta dari kecil, mereka telah menyimpan semua 'peta' lokasi tempat tinggalnya di dalam otak mereka. Selain itu, mata bukanlah indera utama untuk anjing. Kekuatan indera pada anjing terletak pada penciumannya, diikuti dengan indera pendengaran, barulah indera penglihatan. Jadi jangan langsung menidurkan anjing selamanya jika ia harus kehilangan kedua matanya, atau mengalami kebutaan pada kedua matanya. Artikel-artikel ini dapat dicari di internet. Salah satunya dengan kata kunci glukoma.

Semoga bermanfaat, dan jangan malas membawa hewan peliharaan untuk periksa ke dokter hewan, walau harga dokter mereka juga jauh lebih mahal dibandingkan dengan dokter manusia sendiri.

"Salam dari Kino, Rambo, O'Neil, Moeng, Molly, Goldie, dan Krikit."

Kamis, Maret 06, 2008

Berlayar...

Hmm..baru ingat...ternyata ada satu lagi liburanku yang tak direncanakan olehku, jauh-jauh hari sebelum keberangkatan.

Beginilah kisahnya...

Awal 1997. Saat gambar kapal pesiar itu terpampang di layar kaca televisi, aku pun menghentikan langkahku menuju ruang makan, untuk melihatnya dan mengkhayal "Coba gue bisa naik itu kapal ya", setelah iklan menghilang dari layar, aku pun kembali melangkah.

Beberapa bulan berlalu dari khayalanku itu. Tiba-tiba, telepon rumahku berdering. Dari tanteku, adik ibuku. Dari ujung telepon ia berkata sebagai berikut "Cha, kamu kuliah masih lama khan? Mau ke Singapur ngga?"

"Aku mulai kuliah Agustus Tan."

"Oh ya udah, siapin paspornya. Kita naik Awani Dream ke sana."

Seketika aku ketawa, dibarengi ucap terima kasih ke tanteku itu. Tertawaku karena mengingat khayalanku beberapa bulan sebelumnya.

Juli 1997. Paspor yang telah siap dalam waktu singkat membawaku berangkat ke negeri orang. Pesiar ke negeri orang.

Minggu sore, aku, tante, oom dan sepupuku berangkat ke Pelabuhan Tanjung Priok. Sesampainya di Dermaga dan setelah urusan keimigrasian beres, kami pun langsung dipersilakan memasuki kapal itu. Langsung seketika kami tercengang kagum. Dahsyat besarnya. Dahsyat fasilitasnya. Semuanya serba mewah luar biasa. Kami pun langsung dibawa awak kapal untuk menuju kabin kami. Tempat tidur tingkat dan sebuah kasur tambahan telah tersedia di sana. Bentuk kabin pun tak jauh beda dengan yang kita lihat di film-film. Langsung aku dan sepupuku yang belum genap tujuh tahun saat itu mengintip ke luar jendela. Kami pun langsung disuguhi luasnya lautan biru.

Tak lama kemudian kapal itu pun mulai bergerak. Meninggalkan pelabuhan. Sebagaimana diumumkan oleh sang kapten kapal, kami pun diminta untuk berkumpul di sebuah ruang untuk mengetahui prosedur keselamatan jika kami mengalami keadaan darurat. Setelah itu suguhan makan malam pun telah tersedia. Hiburan dari para pengisi acara juga tak ketinggalan. Tarian kabaret, sulap, nyanyian, dan masih banyak lagi. Sajian itu memang disuguhkan oleh para awak kapal, yang kebanyakan adalah orang asing. Tak hanya itu teater dengan jadwal film yang termasuk baru juga tersedia. Suguhan makanan tak berhenti sampai makan malam, tapi sampai makan tengah malam yang dalam bahasa Inggris supper. Saat makan malam, aku melihat ada sekelompok anak muda yang bergerombol. Mereka sepertinya terlihat sudah sangat akrab, mungkin sepertinya merupakan rombongan keluarga.

Besarnya kapal, membuatku tak berani jauh dari saudaraku. Belum hafal, takut nyasar. Saat mereka memutuskan untuk kembali ke kabin, aku pun turut serta. Esok harinya, setelah makan pagi, aku sedikit merasa mual, begitu juga dengan tanteku. Tak tahan dengan kondisi ini, aku menuju kabin dan berusaha tidur, namun percuma, aku tetap tak bisa tidur. Kembali berjalan keluar kabin, mencari saudaraku. Tak lama aku melihat mereka di koridor, dan ternyata aku telah melewati suatu acara seru di dek atas kapal, di pinggir kolam renang. Tanteku pun memberi satu informasi lagi "Ternyata kita tadi pas mual itu, lagi ngelewatin putaran air. Memang di daerah situ keras putarannya. Aku tadi dikasih apel sama satu awal kapal. Katanya itu obat penangkal rasa mual."

Kembali menuju kabin. Kami bersiap-siap membawa bawaan kami, karena sesaat lagi kami tiba di Singapura, setelah 24 jam berlayar. Kami satu-satunya penumpang yang keluar dari kapal ini, dan memilih untuk bermalam di salah satu hotel di pusat kota, sebelum kapal kembali berlabuh ke Jakarta ke esokkan harinya. Penumpang lainnya memilih untuk bermalam di kapal, walau mereka tetap bisa berjalan-jalan di Singapura. Hiburan, makanan dan kegiatan tetap tak henti, walau kapal sudah merapat di pelabuhan di Singapura. Saat ini aku lupa nama pelabuhannya. Tak kalah bagus dengan Changi. Bersih, bagus, megah, banyak tempat untuk belanja juga.

Orchard Road, jalan yang sangat terkenal di Singapura. Kami pun menginap di salah satu hotel bintang lima di jalan tersebut. Nama hotelnya sama dengan nama hotel di dekat bundaran HI, di seberang bekas Hotel Presiden dulu, di Jakarta. Kamar dengan kelas president suit di lantai dua puluh mampu menampung kami berempat, selama semalam.

Acara di sana, tak lain mencari makanan enak, dan juga belanja-belanji. Sempat aku meminta izin memisahkan diri dari tante dan saudaraku. Kebetulan tanteku yang satu ini, sedikit sama denganku. Hobi jalan-jalan sendirian, modal nekat dan berbekal peta. Berjalan sendirian menyusuri jalan-jalan besar di kota itu, keluar masuk pusat perbelanjaan yang menjadi favorit orang-orang Indonesia, merupakan suatu kesenangan tersendiri.

Pusat perbelanjaan yang menjual barang tanpa terkena pajak, menjadi akhir tujuan belanja di hari terakhir kami disana. Kami sudah harus kembali ke pelabuhan, agar tak ketinggalan kapal.

Setelah kembali mendaftar masuk ke kapal, dan meletakkan barang bawaan yang sudah semakin berat ke kabin, aku pun keluar berjalan-jalan sendirian di pelabuhan. Menyenangkan, kembali berjalan sendirian.

Tak lama sekembalinya aku ke kapal, kapalpun kembali bersauh. Meninggalkan Singapura. Makanan-makanan enak, hiburan-hiburan yang gemerlap kembali tersuguh di depan mata. Saat kaki ini melangkah menuju ke kabin, tiba-tiba seseorang memanggilku dan berkata "Hmm, boleh kenalan ngga?"

Melakukan observasi sejenak, terlihat di sana ada beberapa orang perempuan yang kira-kira sebayaku, juga ada yang masih kecil. Laki-laki ini sepertinya sedikit lebih tua dariku, selain itu beberapa laki-laki yang sepantaranku. Akhirnya aku mengulurkan tanganku sembari mengucapkan "Ocha".

"Yudi", "Rama", "Ravi", "Inka", "Inge", "Irene" dan masih banyak nama lagi yang disebutkan di koridor itu.

Yudi kemudian kurang lebih memulai percakapan denganku seperti ini "Mau balik ke kamar?"

"Iya"

"Ngapain? Mending ngobrol-ngobrol ama kita aja yuk"

Akhirnya kami menuju ke salah satu ruang makan. Ruang makan yang berbeda. Sajian makan tengah malam disediakan di ruang yang berbeda dengan makan malam yang tadi jam tujuh malam.

Ruang makan itu tak lama kemudian hendak ditutup. Kami semua menuju ke dek atas kapal, namun bukan di sisi kolam renang. Dek kayu itu, tersedia banyak kursi. Kami pun duduk-duduk melingkar di sana. Cerita-cerita seru, padahal kami baru saja bertemu. Tak lupa kami pun foto-foto. Seolah teman lama yang baru bertemu kembali. Tak terasa sudah jam 2 pagi. Berhubung saat itu telepon seluler belum umum seperti sekarang, aku pun menghilang tanpa jejak dari keluargaku.

Akhirnya aku meminta pamit untuk kembali ke kabin. Yang kemudian disambut dengan "Eh, bentar aja lo, langsung balik ke sini. Nyetor muka aja khan lo."

Saat tiba di kabin, aku buka pintu dengan sangat perlahan. Melihat semua keluargaku sudah tidur, aku pun langsung kembali ke dek. Mereka masih di sana. Tak lama kemudian kira-kira jam empat pagi, kami menuju dek yang paling atas, di dekat kolam renang. Kami pun rencana melihat matahari terbit. Gelombang air laut yang kencang, ikut menyebabkan air di kolam renang itu juga melompat keluar, dan menciprati kami.

Tak perlu waktu lama untuk menantinya. Matahari itu pun mulai keluar, menampakkan cahayanya, dan seketika aku terkagum-kagum dibuatnya. Indah, sangat indah. Merekah dari langit yang masih didominasi dengan warna gelap.

Tak kuat mata ini, aku kembali ke kabin dan tidur. Tidur hanya tiga jam, aku terbangun, saat keluargaku terbangun dan siap makan pagi. Aku pun mandi, dan bersiap. Setelah makan pagi, aku pun bertemu dengan teman-teman baruku itu lagi. Bertandang ke salah satu kabin mereka, foto-foto di hampir setiap tempat. Sampai akhirnya kami menemui satu ruangan yang selalu tertutup rapat selama pelayaran itu, yaitu kasino. Sayang tak sempat aku lihat ruangan itu.

Sebelum kapal bersandar di Tanjung Priok, kami sempat berkunjung ke pulau Seribu. Otomatis kami mencapai pulau itu dengan sekoci. Begitu tiba di pulau itu kami pun baru melihat besarnya kapal itu dari ujung ke ujung "Pantes gue capekh jalan-jalan di tuch kapal".

Tak lama di pulau itu, mungkin hanya dua jam. Kami pun harus melanjutkan perjalanan, menuju Tanjung Priok. Dekatnya jarak pulau Seribu dan pelabuhan, menyebabkan pelayaran itu segera harus diakhiri. Namun tidak dengan pertemananku yang dimulai semalam. Sampai saat ini, tali pertemanan itu masih terjalin baik.

Rabu, Maret 05, 2008

Kalian Terlahir Dengan Kepakkan Sayap, Mengapa Lebih Memilih Merangkak?

Itulah kutipan yang diambil dari ucapan seorang Jalaluddin Rumi (maaf jika aku salah menulis nama beliau). Saat Steny Agustaf, seorang penyiar radio ternama di Jakarta mengucapkan kalimat itu, aku pun langsung berpikir "Wow, keren", dan tak lama kemudian otak ini pun berpikir tentang makna di balik rangkaian kata tersebut.

Di tengah-tengah kesibukkanku mengendarai mobil di jalan bebas hambatan yang macet total, barulah sekitar lima menit aku mempunyai persepsi tersendiri tentang kalimat itu.

Kemalasan. Ya, kata ini yang langsung muncul. 'Sayap-sayap' ada, namun percuma. Mingkup, tak terbuka, tak berfungsi. Raga itu menunggu untuk dibawa 'terbang' yang lain. Menanti uluran tangan menghampiri. Berharap belas kasih, bagai pengemis di pinggir jalan. Lengkap organ tubuh seolah tak mampu digerakkan, lumpuh seketika.

'Sayap-sayap' telah patah. Otak menjadi tumpul. Mata tak lagi bercahya. Ucap menjadi tak berarti. Laku semakin tak pantas. Mata hati terhalang berjuta dinding. Tak mau tahu akan hari esok.

Bayi itu hanya bisa menangis. Namun bukan berarti ia tak bisa bicara. Bayi itu hanya bisa merangkak bukan berarti ia tak ingin berlari.

Merangkak, berdiri, berjalan, berlari dan biarkan dirimu terbang. Jangan biarkan 'sayap'mu patah, dan membuatmu kembali merangkak.

Senin, Maret 03, 2008

Menambah Koleksi Baju Renang...

Dulu...baju jenis ini, baju yang paling bikin aku sebel, bikin sirik, dan jelas terhapus dari daftar belanjaanku. Sebel karena bagiku tak ada gunanya. Sirik dibuatnya karena motif dan modelnya yang lucu, yang menggodaku untuk membeli, tapi sekali lagi, tak ada gunanya untuk aku.

Kenapa? Jawabannya adalah, dulu aku tak bisa berenang. Sebenarnya bisa, tapi karena satu kejadian traumatik, aku jadi tak berani lagi nyemplung di air.

Sampai akhir tahun 2003, belum pernah aku beli sendiri baju renang. Dari kecil hingga tahun 2003 ini, baju renang yang aku miliki, adalah hasil pemberian dari orang lain, mungkin maksud mereka adalah ingin memotivasiku untuk bisa berenang lagi. Satu lagi, baju renang-baju renang itu pun lupa aku simpan di mana.

Karena keadaan memaksa, September tahun tersebut aku mau liburan ke Manado, dan agenda utamanya adalah bermain air, jadilah aku membeli baju renang. Model yang sangat sederhana, dengan warna kombinasi biru tua, merah dan putih membentuk motif banyak lingkaran.

Di Manado, baju itu pun nyaris tak berguna, karena aku nyaris mengurungkan diri nyemplung ke laut untuk snorkling. Untung ketakutan itu berhasil aku atasi berkat seseorang.

Tiga tahun baju renang itu tersimpan dengan baik di lemari pakaianku. Sampai pertengahan 2006. Aku mulai belajar renang, berkat seseorang yang sangat aku percaya. Tidak sulit ternyata, tidak memerlukan waktu yang lama. Hanya 2 kali nyemplung di kolam renang, selama 2 kali hari Minggu, aku pun sudah bisa mengambang, meluncur dan bermain-main di air, tidak tenggelam. Jadilah, dari pertengahan hingga akhir 2006, hampir tiap minggu aku berenang. Hobi baru sepertinya.

Seringnya aku melakukan aktivitas yang satu ini, rasanya mempunyai satu baju renang saja tidak cukup. Oleh sebab itu, aku kemudian mencari satu baju renang lagi, untuk dipakai bergantian "Bosen khan baju renangnya itu-itu mulukh". Sekarang sudah masuk ke dalam daftar belanjaanku.

Kalau baju renangku yang pertama, mewakili perjalanan liburanku ke Manado, baju renang yang kedua yang bewarna biru muda dan putih, mewakili perjalananku ke Bali, Februari 2007. Walaupun alasan aku membelinya bukan karena aku ingin ke Bali saat itu.

November 2007, berencana ke Bali lagi. Tak tahu kenapa, ingin sekali menambah koleksi baju renangku lagi. Tadinya kali ini aku ingin mencari baju renang yang lebih ke model beach wear seperti yang dikeluarkan oleh merk-merk baju surfing yang banyak di Bali, dan bukan model konvensional yang biasa dipakai oleh atlet-atlet renang pada umumnya. Namun mencari baju renang seperti itu di Jakarta, sangat sulit. Sulit bukan berarti tidak ada. Giliran aku temukan satu butik khusus baju-baju renang yang ada di pusat perbelanjaan besar di bilangan Pondok Indah, begitu liat harganya aku memutuskan untuk tidak jadi membeli. Baju renang dengan harga lebih dari Rp.300.000 aku rasa terbilang mahal, karena baju jenis ini, akan sangat jarang dipakai, saat aku berada di Jakarta. Dengan catatan kalau baju ini dipakai sesuai dengan fungsinya.

Apa boleh buat, akhirnya aku membeli satu baju renang, merk dari salah satu produsen baju-baju renang dan peralatan yang berhubungan dengan renang, yang berinisial S. Ya, lagi-lagi model konvensional dan sangat sporty, bewarna biru tua, dengan dua garis biru muda pada sisi samping kiri dan kanan.

Februari 2008, ke Bali lagi. Niatku, kali ini di Bali ingin mencari baju renang yang modelnya beda dari yang sudah aku miliki. Namun, model yang aku suka, dan pas di badan, harganya nyaris setengah juta. Memang sih, kalau dikurs cuma 40 Euro, apalagi ini buatan Italia. Tau khan merk dengan inisial N, kata ini diulang, dan diakhiri dengan kata "intimo". Huh, tak jadi lagi menambah koleksi baju renangku.

Dasar manusia seperti aku ini, kalau sudah ada maunya akan dikejar sampai aku dapat. Berjalan-jalan di pusat perbelanjaan di daerah Puri Indah, tanpa tujuan, dan iseng melihat ke daerah baju-baju renang di jual, tetapi kembali kekecewaan yang aku temui. Modelnya tak ada yang bagus, motifnya juga tak ada yang aku suka. Kembali berjalan, kali ini melewati tempat di mana baju dalam wanita di jual, dan akhirnya mataku menemukan satu baju renang, dengan motif dan model yang aku suka, beda dengan yang sudah aku miliki di rumah. Pastinya dengan harga yang tidak semahal si merk Italia itu. Kali ini motif kotak-kotak, merah muda, putih dan oranye. Model halter neck dan three pieces. Senangnya, dan rasanya tak sabar untuk bisa liburan lagi, bermain air. Kapan ya? Tak sabar untuk mendengar ada yang menelepon dan bilang "Cha elu mau nyusul ke Bali ngga?"

Tenggat Waktu...Oh...Tenggat Waktu...

Kepanikan dimulai, saat aku mengobrol dengan salah satu adik kelasku di Yahoo Messager. Aku menanyakan padanya "Kuliah mulai kapan sih?"

"Senen besok cha!"

"What? Besok Senen! Damn"

Jadwal kuliah yang tinggal hanya skripsi membuatku jarang ke kampus, dan malas membuka situs kampus. Dengan alasan, biasanya situs kampus juga tak diperbarui dengan cepat, jadi percuma kalau buka situs.

Pertanyaan berikutnya, "Jadi ngga siy gue jadi asdos MetKual."

Tak lama kemudian aku sms dosenku, untuk menanyakan jadi atau tidaknya beliau memintaku untuk menjadi asistennya di mata kuliah Metode Kualitatif. Jawabannya adalah "Sampai ketemu Selasa besok, jam 8 pagi."

Dan responku adalah "Duuhhh, skripsi gue, pasti bakal ditanyain deh."

Kepanikan bertambah dahsyat deng, deng, deng.

Ternyata kebiasaanku yang satu itu belum terkikis. Apalagi kalau bukan kebiasaan untuk menjadi one of deadliners sejati. Telepon kiri-kanan narasumber untuk menanyakan kembali, kapan jadwal untuk bertemu. Karena sampai sekarang, melihat kesibukan mereka di kantor, rasanya tak tega untuk mengganggu dengan urusanku. Sekarang, aku sedikit memaksa mereka, untuk sedikit meluangkan waktu untuk aku. Maaf ya teman-teman!?

Tapi ya begitulah diriku, saat tenggat waktu sudah di depan mata, rasanya adrenalin ini baru bekerja, dan memuncak. Otomatis kerja otakpun akan lebih cepat dan lebih lancar.

Doakan aku teman-teman. Semoga perjuanganku untuk mengerjakan skripsi dapat berakhir dengan baik sebelum Juli. Sehingga sidangku bisa dilaksanakan bulan Agustus, lalu Oktober tahun ini aku wisuda, untuk selanjutnya kembali membanting tulang, mencari sesuap nasi, beberapa berlian, menghidupi 7 ekor anjing-anjingku, dan tabungan untuk S2, hehehhe. AMIN....

Hayooo, ada yang mulai nanya lagi..."Kapan nikah Cha?"

Jawabanku tak akan berubah "Time will tell!"

Sabtu, Maret 01, 2008

Sepenggal Kisah Dari Ujung Sulawesi Pada Akhir 2003...

Ini adalah awal mula dari semua perjalanan liburanku, yang tak pernah direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya.

September 2003, pekerjaanku saat itu masih sebagai seorang sekretaris divisi, di salah satu bank yang sekarang sudah dibeli oleh salah satu perusahaan Singapura. Sebagai sekretaris divisi, aku tidak hanya mengurus kepentingan satu orang saja, melainkan seluruh keperluan anggota divisi, termasuk urusan perjalanan dinas mereka, baik perjalanan dekat, maupun perjalanan yang jauh sekalipun.

Dua orang temanku akan melakukan perjalan dinas ke Makassar dan Manado. Saat itu, aku sedikit mengakhayal "Coba aku bisa ikut ke Manadonya ya!".

Tak berapa lama kemudian, aku menelepon agen perjalanan yang menjadi langganan kantorku untuk memesan tiket untuk mereka dari Jakarta-Ujung Pandang-Manado-Jakarta.

Seringnya aku menelepon ke agen perjalanan itu, membuat aku sudah akrab berbincang-bincang dengan karyawan di sana. Sampai-sampai di tengah perbincangan aku dengan karyawan sana, yang sekarang aku lupa siapa namanya, berkata seperti ini "Eh Mbak Ocha ngga ikut ke Manado?"

"Ah ngga lah mbak, aku khan ngga dibayarin kantor, lagipula tiket ke sana mahal."

Aku tahu persis harga tiket Jakarta-Manado-Jakarta, apalagi dengan maskapai andalan Indonesia itu. Kalau tidak salah tiket pulang pergi kelas ekonomi saat itu Rp.3.400.000, dan pilihan maskapai lain, belum sebanyak sekarang.

Lalu si mbak di ujung telepon sana memberiku jawaban yang mengagetkan "Ih, Mbak Ocha belum tahu ya, lagi ada promo nih mbak. Sekarang khan bukan high season. Harga promonya 1,2 juta mbak."

Begitu mbak itu menyebutkan harga tiketnya, aku langsung berpikir "Wah, gue ambil juga apa ya. Bolak balik cuma 2,4 ini."

Lalu aku kembali bertanya pada si mbak itu "Jadi pulang pergi 2,4 juta ya mbak?"

"Ngga mbak, 1,2 juta itu udah return ticket."

"Aku ambil, book sekarang juga ya mbak!"

Dan dalam hati aku teriak "Hoooorreee, pergi juga ke Manado. Peduli amat, boleh ngga boleh cuti, gue pergi."

18 September 2003, aku terbang juga ke Manado. Ini perjalanan pertamaku pergi sendiri naik pesawat, tanpa ditemani siapa-siapa. Penerbangan yang seharusnya jam 14.00, di tunda hingga 4 jam, karena cuaca buruk di Manado. Namun sisi baiknya dari tertundanya penerbangan itu, akhirnya pesawatku tak jadi transit di Ujung Pandang, dan langsung Jakarta-Manado.

Penerbangan aku tempuh sekitar 3 jam, sehingga tiba di Manado sekitar pukul 22.00 waktu setempat. Sampai sana aku dijemput oleh 2 temanku yang dari Jakarta itu, dan satu teman kantor yang memang dari cabang Manado.

Sampai sana, kami langsung makan. Makan enak. Restoran seafood yang letaknya di pinggir pantai yang masih terletak di pusat kota Manado. Menunya utamanya adalah kepiting kenari. Aku tak tahu diolah bumbu apa, yang jelas enak, enak dan enak. Di sana satu kilo kepiting kenari ini dijual Rp.200.000an, dan kalau di Jakarta, ada restoran di daerah Kelapa Gading yang menyediakan menu ini, mematok harga Rp.1.000.000 perkilo. Harga tersebut, harga tahun 2003.

Sehabis kenyang, aku langsung ke hotel tempat teman-temanku itu menginap. Kamipun langsung terlelap. Aku lelah karena sehabis melakukan perjalanan jauh, dan cukup lama menunggu penerbangan di bandara Jakarta. Sedangkan teman-temanku, lelah karena paginya mereka harus presentasi dan memberikan pelatihan.

Hari berikutnya, 19 September 2003, salah satu temanku masih harus memberikan pelatihan. Namun aku, dan 2 temanku lainnya, akhirnya ke Tomohon. Daerah ini semacam daerah puncak di Manado. Daerah yang masih cukup berudara dingin, karena ini merupakan daerah dataran tinggi. Kami pun makan siang di salah satu restoran terkenal di sana. Namun kebanyakan makanan yang tidak halal yang disajikan di restoran ini. Aku rasa pada umumnya sudah mengenal istilah sate B2 dan B1 yang diolah menjadi masakan bernama RW itu bukan? Namun aku hanya menyantap sup kacang merah.

Sepulang dari Tomohon, kami kembali ke hotel, dan bersiap untuk santap malam. Santap malam kami lakukan di salah satu restoran di pinggir pantai lagi, namun bukan restoran yang sama dengan malam sebelumnya.

Satu kejadian aneh yang aku temui di sini. Biasanya jika kita ingin memanggil pelayan untuk menghampiri meja kita, kita memanggilnya dengan sebutan mbak atau mas. Namun tidak sama dengan di Manado. Cara kita memanggil pelayan untuk menghampiri meja kita dengan "Sssst, ssst!". Sepertinya memang tak sopan, namun kata temanku yang asli dan tinggal di Manado dari kecil, memang begitulah cara memanggilnya, kalau tidak begitu, mereka tidak akan menoleh. Benar saja, saat kami bertiga yang bukan penduduk Manado, memanggil mereka dengan sapaan mbak, mereka tak menoleh sama sekali. Lalu kami mempraktekkan apa yang dianjurkan temanku, memanggil dengan "Sstt, sstt!". Seketika mereka langsung menoleh.

Malam itu, kami berdiskusi ingin melakukan apa Sabtu dan hari Minggu itu. Ada dua pilihan, ke Bukit Kasih, atau ke Bunaken. Beruntunglah ada teman yang asli dan lama tinggal di Manado, jadi ada pemandu wisata di sana. Ia menjelaskan bahwa bukit kasih itu, adalah bukit yang mempunyai 5 tempat ibadah, dari 5 agama yang ada di Indonesia, dan semuanya berdiri sebelahan. Masjid, Gereja Protestan, Gereja Katholik, Pura, Wihara, yang masing-masing mewakili satu agama. Tempat ini dibuat sebagai simbol, memang seharusnya semua agama dapat hidup rukun, damai dan saling toleransi. Sedangkan kalau Bunaken, sepertinya tidak ada yang perlu dijelaskan lagi bukan?

Akhirnya Sabtu itu, kami memilih ke Bunaken. Untuk mencapai pulau ini, kami harus menaiki perahu motor, ataupun boat. Perahu motor harganya lebih murah, namun lebih lambat, dan bisa dinaiki lebih dari 10 orang. Sedangkan boat, hanya cukup sekitar 6 orang, lebih cepat dan tentu lebih mahal. Namun sebelum ke dermaga tempat menyeberang, 'pemandu wisata' dadakan kami, mengajak kami berputar-putar sebentar. Pertama ia membawa kami ke rumah seorang kenalannya yang biasa membuat nasi bungkus. Otomatis kami bertanya "Buat siapa nasi-nasi itu?".

"Nanti kalian akan tahu gunanya"

Lalu kami mampir ke toko kue terkenal untuk memesan klaper tart, yang bisa dibawa ke Jakarta. Klaper tart yang akan dibawa ke Jakarta, mungkin karena kemasannya harus khusus, maka harus dipesan satu hari sebelum diambil. Di sana kembali satu hal aneh dilakukan teman kami yang satu itu, yaitu membeli berbotol-botol air mineral 1.5 liter. Kembali kami 'orang-orang asing' bertanya "Kok banyak banget belinya?".

Jawabannya si Manado itu "Pasti ntar berguna deh."

Kami terima diam dan menurut. Kunjungan berikutnya adalah restoran kepiting kenari itu. Lagi-lagi kami ingin membawa makanan enak itu ke Jakarta. Sama seperti klaper tart, harus dipesan satu hari sebelumya.

Setelah semua urusan perbekalan selesai, kami langsung ke dermaga. Kalau tak salah sekitar jam 12.00 WITA. Banyak juga rombongan wisatawan yang datang ke sana. Terutama wisatawan asing. Bahkan diantara mereka yang sepertinya sudah sering datang ke Bunaken. Mereka ada yang membawa perlengkapan menyelam sendiri, dan sepertinya mereka sudah pandai berbahasa Indonesia, bahkan lihai menawar biaya sewa kapal. Namun ada juga yang sepertinya baru pertama kali, dan dikenai biaya yang mahal.

Berhubung 'pemandu' kami orang asli, tawar menawar pun dilangsungkan dengan bahasa asli Manado. Kami tak tahu artinya apa. Biaya sewa boat, untuk kami berempat hanya Rp.200.000, satu kali jalan. Jelas harga itu lebih murah, karena harga itu termasuk ongkos si supir perahu, dan pemandu saat kami nanti di laut.

Penyeberangan kami lakukan kurang dari satu jam. Pertama-tama kami harus menepi ke pantai pulau Bunaken itu. Langsung mata ini disuguhkan pemandangan hamparan pasir putih nan bersih, yang luar biasa. Perahu tak bisa bersandar terlalu dekat tepi pantai. Kami dijemput dengan perahu yang lebih kecil untuk menepi. Barulah kami harus menyebur dan berjalan menuju pantai. Begitu kaki ini menginjak dasar laut yang sudah melandai, kami pun merasakan kelembutan pasir putih itu.

Ternyata tempat yang kami datangi itu adalah tempat penyewaan alat-alat snorkling. Tadinya aku enggan ikut menyewa, karena aku tak bisa berenang. Namun teman-temanku mencoba memberanikan aku untuk ikut snorkling. Akhirnya aku sepakat dengan mereka. Biaya sewa alat lengkap, setiap orangnya hanya Rp.50.000, dan tidak dibatasi waktu pemakaiannya, mau sampai kulit gosong di laut juga tak apa.

Sewa menyewa alat beres. Kami pun kembali ke tengah laut dengan boat. Selama perjalanan menuju titik snorkling, teman kami si Manado itu, membukakan nasi bungkus yang tadi dibelinya, sambil berkata kepada kami "Nih, makan siang dulu, di sini ngga ada yang jual makanan maupun minuman. Jadi harus bawa sendiri buat bekal."

Titik terumbu karang yang paling indah ditunjukkan oleh si pemandu. Setelah sampai dan jangkar dilepaskan, kami pun bersiap-siap memakai peralatan. Kembali aku urung, karena takut. Namun melihat beningnya laut aku pun tergiur. Ikan-ikan yang berenang di lautan bisa terlihat bahkan saat kami memandanginya hanya dari pinggir boat. Akhirnya aku mau, tetapi saat mulai masuk ke air, ketakutan ini pun kembali ada, sehingga membawaku ingin kembali ke atas boat. Padahal salah satu temanku sudah berkelana berenang di sekitar boat kami. Niat kembalinya aku ke atas boat dilarang keras oleh salah satu temanku, "Cha elu harus berani, kapan lagi?"

Perlahan aku coba mencelupkan kepala ini ke air, dan mencoba melihat kondisi di laut dalam. Seketika aku berpikir "Buset dalem banget, tapi keren, keren abis, ada ikan napoleon pulakh."

Tak lama kemudian, aku sudah berenang-renang di lautan itu. Si Manado temanku itu, tak ikut snorkling, ia tinggal di boat, dan berbaik hati menjaga barang-barang bawaan kami yang sangat banyak.

Begitu sampai di titik terumbu karang yang indah, aku pun kembali ditakjubkan "Ya Tuhan, bagus banget, cantik banget."

Di titik itu banyak wisatawan asing yang tadi kami lihat di dermaga. Ada satu anak perempuan yang kata pemandu kami saat kami di boat, ia warga negara Australia, yang snorkling tanpa alas kaki khusus. Lalu aku tanyakan mengapa demikian, pemandu kami katakan ia sudah biasa datang ke sini, dan sudah sangat fasih berbahasa Indonesia.

Terumbu karang berbagai warna yang terang, sebagian ada yang menari-nari seakan menyambut kedatangan kami. Si Nemo berenang bersama kami, juga ikan-ikan lainnya yang beraneka warna. Ketakutan langsung sirna, dan berubah menjadi kegembiran dan pengalaman berharga, tak terlupakan. Saat itu, sinar matahari bersinar sangat terang, begitu terik dan saat di laut, kami sudah berpikir "Bodokh amat lah item bagian belakang doang, hahhaha."

Setelah 2 jam bersnorkling ria, kami kembali ke boat. Rencananya untuk melihat titik lainnya.
Namun sayang langit sudah mendung, dan titik itu harus dilewati dengan menyeberangi putaran arus yang sedang sedikit kencang, selain itu sedang dipenuhi banyak bulu babi, yang beracun. Hingga kami diminta memutar menghindari kumpulan bulu babi dan putaran arus itu. Di titik ke-2 tak berlangsung lama, kami sudah kembali ke boat.

Melihat langit mendung, dan gelombang air laut yang nampaknya tidak setenang tadi, temanku menanyakan pada kami, apakah kami ingin kembali ke Manado, atau menginap di Bunaken saja?
Karena aku paling kecil di situ, jadi keputusan ada di tanganku. Aku memutuskan untuk menginap di Bunaken.

Bastianos Cottages tempat kami menginap. Tempat penginapan paling besar saat itu di sana. Tidak seperti biasa, harga sewa bukan berdasarkan jumlah kamar dan jumlah malam kami menginap. Namun harga sewa berdasarkan jumlah orangnya. Per kepala dikenai biaya Rp.125.000, berapa pun jumlah kamar yang dipakai. Biaya itu ternyata biaya makan tiap orang. Maklum jumlah hidangan sangat disesuaikan dengan tamu yang datang. Sore itu makanan untuk santap malam belum tersedia, tetapi kami sudah merasa lapar. Ingat ada sisa nasi bungkus dan air mineral yang tadi kami bawa, kami pun kemudian menyantapnya di depan kamar kami. Temanku si Manado itu tak ikut menginap di sini. Ia, pak supir boat, dan pemandu lautan kami pun kembali menyeberang ke Manado. Besok siang kami akan dijemput dengan boat lain, yang sudah diaturnya dengan orang Bastianos.

Kamar tidak dilengkapi kamar mandi dalam. Kamar mandi disedikan di luar kamar, jadi bisa digunakan oleh semua tamu. Tenang saja, kamar mandi di luar disedikan cukup banyak. Kalau tidak salah setiap tiga deret kamar ada dua kamar mandi.

Hal lucu aku temui di sana. Saat ingin mandi. Aku mencoba menyalakan lampu dan juga keran kamar mandi. Ternyata semuanya tidak berfungsi. Lampu dan air belum menyala. Aku pun menanyakan pada pihak pengurus tempat penginapan. Ia pun menginformasikan bahwa di sana listrik baru dinyalakan setelah jam 18.00 WITA. Pasokan listrik di sana masih terbatas ternyata.

Makan malam tersedia sekitar pukul 19.00 WITA. Hidangan yang disajikan adalah hidangan laut. Terus terang menunya aku lupa, yang jelas enak, atau mungkin karena saat itu kami lapar dan lelah karena bersenang-senang di laut seharian. Penyusunan ruang makan tidak seperti ruang makan hotel pada umumnya. Penyusunannya hampir menyerupai tata ruang makan di rumah. Sangat kekeluargaan. Ada sofa-sofa panjang, ada meja di tengah, dan di sana dilengkapi dengan televisi. Antar tamu yang tadinya tidak saling kenal, akhirnya bisa akrab dengan mudah.

Kamar kami langsung menghadap laut, jadi semilir angin saat kami duduk-duduk di teras depan kamar juga sangat terasa. Dingin dan segar, tanpa polusi. Hei, hidungku bersih dari cairan karena sinus. Kami bertiga akhirnya ngobrol-ngobrol di teras sampai kaki ini tak tahan digigiti oleh nyamuk.

Kami masuk kamar, di sana disediakan satu ranjang besar dan satu ranjang ekstra, yang sedikit agak lembab. Akhirnya kami memilih tidur bertiga di ranjang yang besar. Di kamar ternyata tidak terbebas dari nyamuk, tapi untungnya di kamar disediakan kelambu yang bisa melindungi kami dari gigitan nyamuk. Satu pengalaman baru lagi, tidur dengan kelambu.

Esok paginya, setelah sarapan, boat yang akan mengantar kami telah siap.

"Selamat tinggal Bunaken."

Kami dibawa dengan perahu kecil untuk menuju boat yang berada di tengah laut. Ukurannya lebih besar daripada yang kemarin. Kami bisa duduk-duduk di bagian depan sambil menikmati angin laut dan melihat lumba-lumba yang ikut berenang di sebelah kiri dan kanan boat yang kami tumpangi. Indah sekali. Sangat menakjubkan.

Dermaga tempat kami mendarat tidak sama dengan kemarin. Dermaga yang sekarang letaknya sedikit di luar kota Manado. Tepatnya di dermaga Hotel Sheraton. Di hotel itu kami sudah di jemput teman kami si Manado itu. Semua pesanan kami untuk oleh-oleh ke Jakarta, ternyata sudah lengkap ada di mobil.

Tidak ada tempat lain yang bisa dikunjungi lagi. Mengingat saat itu sudah tengah hari, dan penerbangan kami menuju Jakarta pukul 14.00 WITA. Kami pun langsung menuju bandara. Sedihnya penerbangan juga harus ditunda. Hal itu karena Manado kembali diguyur hujan deras. Pesawat dari Ujung Pandang yang rencananya akan mengangkut kami, tidak bisa mendarat di Sam Ratulangi, dan harus kembali ke Sultan Hasanuddin Ujung Pandang. Padahal sudah sampai Manado lo, karena jarak pandang landasan terlalu pendek, mau tidak mau harus memutar balik. Kembali aku harus menunggu lebih dari 4 jam. Sampai para penumpang diberi makan malam ekstra oleh pihak maskapai.

Sekitar pukul 19.00 WITA, pesawat kami pun diberangkatkan. Tidak langsung Manado-Jakarta, melainkan Manado-Ujung Pandang-Jakarta. Transit di Ujung Pandang tidak lebih dari 30 menit.
Kami pun kembali ke kota yang penuh dengan polusi ini lagi sekitar pukul 22.00. Dengan membawa satu loyang klaper tart, kepiting kenari yang super enak, berjuta pengalaman baru, dan rasa senang yang tak terdefinisikan.

Ya, begitulah cerita liburanku waktu itu. Selanjutnya hingga tahun ini (2008) liburanku tak pernah direncanakan jauh hari sebelumnya. Paling lama satu seminggu sebelum keberangkatan.

Terima kasih buat Hao, yang sudah menjadi pemandu wisata kami selama kami di Manado. Terima kasih juga buat keluargaku yang sudah pasrah mendengar perkataanku "Ma, aku lusa ke Manado ya."

atau "Besok aku ke Bandung ya 4 hari.", "Besok aku jalan-jalan ke Bali ya.", "Nanti malem aku terbang ke Bali ya."

Untuk semua yang membaca, semoga informasi di atas berguna. Harga-harga yang tercantum di atas dan juga semua informasi itu, adalah apa yang aku alami tahun 2003, yang pastinya berbeda dengan sekarang-sekarang ini. Jika ada yang mau memberi informasi tambahan, sangat diharapkan.

Informasi menyedihkan yang sempat aku dengar, bahwa terumbu karang di sana semakin rusak. Mudah-mudahan tidak bertambah parah esok-esok hari. Semoga para wisatawan dan semuanya saja, dapat menjaga habitat mereka dengan baik. Tidak merusak, tidak mencoba memindahkan mereka ke akuarium-akuarium di rumah-rumah, tidak membuang sampah di lautan. Semuanya itu untuk kita juga pada akhirnya.

Selamat berlibur teman-teman. Manado bisa menjadi salah satu tujuan yang perlu dimasukkan daftar rencana liburan. Itupun kalau liburan kalian direncanakan sebelumnya, hehehee.