Hari ini, atau tepatnya pagi ini, tidak seperti kemarin pagi.
Kemarin pagi hari saya diawali dengan sebuah kebencian. Mata ini pun belum terbuka, baru otak yang kembali mulai bekerja setelah diistirahatkan, saya sudah teringat oleh beberapa orang yang membuatku murka sejadi-jadinya 3 hari belakangan ini. Meskipun pada akhirnya amarah itu akhirnya bisa saya tekan, walau menyiksa, dan hanya bisa saya bawa sebagai doa persembahan saya saat di gereja kemarin.
"God, please, I just want to wake up tomorrow morning without this hatred. Only You know everything. They want to put the blame just on me, go ahead. Pada akhirnya akan ketauan kok siapa yang bener sapa yang salah, sapa yang boong, time will tell."
Anyway..saya tidak ingin membicarakan hari kemarin, melainkan hari ini.
Pukul 05.40 Si Bébé tercinta sudah berbunyi sekencang-kencangnya. Bisa dipastikan hal pertama yang saya lakukan adalah mencari sumber suara itu dengan mata yang belum terbuka penuh, dan menekan pilihan dismiss. Namun bukan berarti saya segera bergegas mandi dan siap-siap berangkat. Seperti biasa, saya malahan membalikkan badan, kembali memeluk guling dan memejamkan mata, tanpa ada pikiran apapun.
Ternyata otak yang tanpa pikiran apapun itu hanya bertahan sebentar, dan muncullah pikiran seperti ini...
"Heh? Hebat, bangun-bangun gue ga kepikiran kejadian brengsek Kamis and Jumat lalu. Doa gue terkabul."
It makes my day ternyata...menuruni anak tangga, berjalan menuju ruang makan, menyambut sapaan ucapan selamat pagi dari 2 ekor "anak" saya yang berbadan kecil, yaitu dua ekor dahschund nan lucu itu, dan mencari sarapan yang biasanya sudah disediakan oleh Mama, aku lakukan semua dengan senang.
Dan anehnya, akhirnya saya memunculkan pikiran yang sangat tidak masuk akal, sangat tidak lazim terjadi pada saya.
"Yes, ngantor!"
Hanya selang beberapa detik setelah pikiran itu muncul, pikiran-pikiran lain pun mulai bermunculan.
"What the heck 'Cha, elo mikir gitu? Ini senen pulakh gituh."
Perasaan seperti itu, yang sangat jarang terjadi pada saya, terus menemani saya sepanjang hari. Saya sama sekali tidak mengeluh, tidak marah, tidak teringat kejadian busuk ataupun orang-orang menyebalkan, yang sempat mengusik ketenangan saya beberapa hari lalu.
Hehehehe...namun tidak dengan Si Bos. Batas sabarnya sedang dilatih dan diuji hari ini. Biasaaaaa... apalagi kalau bukan masalah komputer, "Tuhan"-nya kantor-kantor zaman sekarang. Tak mungkin bisa kerja tanpa komputer atau laptop, saya pribadi sepertinya akan memilih pulang dari pada bingung mau kerja pakai apa.
"Kenapa sih, komputer satu bener, satu lagi ada aja masalahnya. Ntar jangan lupa ambil komputer satu lagi tuh di Ratu Plaza, you manage lah."
Ya, namanya "tukang sapu", tukang bersih-bersih, apa-apa dikerjain lah.
Akhirnya saya meminta tolong kurir untuk mengambil komputer yang dimaksud Si Bos, sekalian mengirimkan suatu surat.
"Kamu abis dari ngirim surat, ngambil komputer ke Ratu Plaza ya. Ini buat ngambilnya. Alamat yang tertera di bon ini beda looo, jadi kamu tanya sama Si Mbak itu, Ratu Plazanya lantai berapa."
Waktu pun terus berjalan, hingga akhirnya pukul 15.30 Si Bos memasuki ruangan saya...
"Komputer belom dateng?"
"Kan ujan, tadi telepon masih berteduh."
Ia pun kemudian keluar dari ruangan yang hanya berpenghuni saya itu. Dan saya pun kembali melanjutkan dunia saya sendiri.
Lima menit kemudian, saya dengar teriakan dari dalam ruangan saya yang pintunya sedang tertutup rapat...
"Gimana sih, kayak gitu aja ngga ketemu."
Kontan saya keluar ruangan...
"Kenapa?"
Beberapa orang di sana tidak ada yang menjawab. Kembali saya diminta untuk mengandalkan daya observasi saya. Dan akhirnya seluruh cerita berhasil saya dapatkan. Si Kurir sudah kembali, tapi tidak berhasil menemukan tempat komputer itu, dan tentunya kembali ke kantor tanpa membawa barang yang dimaksud Si Bos.
Si Bos yang berbadan raksasa itu pun kemudian mengambil kunci mobilnya, sambil berteriak...
"Gimana sih, semua kerja ngga ada yang bener."
Ia berjalan, melewati dan menabrak pundak saya ("Kayak lagi adegan berantem di sinetron, ampe pundak gue kepental.")
"Duh, mayan kenceng juga," dalam hati saya.
Saya pun langsung menanyakan Si Kurir saat itu juga, kenapa bisa seperti itu? Melihat raut wajahnya yang mulai tak karuan, saya pun langsung mengatakan padanya...
"Kita ngomong di ruangan saya, yuk."
Kami pun berjalan menuju ruangan saya.
"Kenapa bisa begitu? Tadi saya minta apa? Abis ngirim surat ngambil komputer 'kan?"
"Iya, Bu."
"Terus tadi waktu saya minta kamu tanya sama Si Mbak, dijelasin ngga di Ratu Plaza lantai berapa?"
"Gak. Saya cuma minta nomor telepon tokonya."
"Terus kamu telepon ngga tokonya?"
"Telepon. Dari jalan."
"Kenapa ngga telepon dari kantor, sebelum pergi. Atau tanya saya lagi kalau ngga jelas."
"Saya takut ganggu ibu. Terus tadi juga nyari-nyari di sana pake bon ini."
"Tadi kamu nyimak ngga, saat saya bilang alamat bon itu beda sama toko aslinya."
"Gak denger bu, saya ngga nyimak."
"Percuma donk saya jelasin ke kamu payah-payah ya. Lain kali dengerin ya."
"Ya, Bu."
Pelajaran Pertama: "Gue ngga suka dipanggil bu. Berasa makin tua gue."
Pelajaran Kedua: "Weitzzz...cara gue natar orang dah beda nih. Tanpa tereak dan bentakan. Tapi sssttt...dulu tereakan dan bentakan gue itu berhasil menatar Si Kurir Jaman Dulu, dari yang ngga tau alasannya, saat gue tanya kenapa Buku Nomor Surat Keluar yang lama dibuang sama dia, tanpa bilang-bilang gue, padahal itu buku penting abis, sampai bisa ngambil check puluhan juta dan dipercaya temen-temen ngambil duit di ATM kalo lagi pada ngga bisa turun, jadi inisiatif luar biasa, dimintain tolong ngga pernah salah, filing rapi. Dan membuat gue yang pada akhirnya "mati" kalo dia ngga masuk kantor. Semua itu hanya dalam kurun waktu kurang 2 bulan. Hmmm, satu lagi, gue mendapat pujian dari teman-teman di kantor, terutama yang menggantikan posisi gue setelah gue keluar, karena Si Kurir Jaman Dulu itu hebat. Kira-kira efektifan cara yang mana ya, hihihihi?"
Kira-kira tiga puluh menit kemudian, dari seselesainya saya bicara dengan Si Kurir, Si Bos sudah hadir kembali duduk di salah satu bangku di ruangan saya.
"Only 15 minutes!"
"Masih jengkel, marah? Tarik napas dulu. Percuma marah, ngabisin energi."
"Ya udah, gue mesti install juga tuch."
Ia pun berjalan keluar ruangan. Dan saya pun kembali memelototi layar laptop, yang saat itu sedang membuka aplikasi Excel.
"Buset, beneran dech, memang bener, cuma dia yang buat nih kerjaan sama Tuhan doank yang tahu, maksudnya apaan. Kagak ketauan pulakh dari mana-mananya."
Baru saja selesai berpikir,...
"Ah, tadi dicoba di sana okay, sekarang lagi install tau-tau restart."
"Jadi tadi yang kamu ambil gak bisa? What a day!"
"I know."
Si Bos sudah muncul lagi di depan saya. Kali ini tak sesingkat sebelum-sebelumnya. Kami akhirnya berbincang cukup lama, banyak hal yang ia ceritakan pada saya. Sampai akhirnya kami membicarakan tentang rencana training, dan perbincangan seperti di bawah ini pun terjadi...
"Gak cuma mereka ya, yang perlu training. Elo juga."
"Hah? Gak lah gue memantau aja dari jauh."
"Gak, elo juga perlu training, perlu ditatar, self-control."
"I was really upset. Ini pertama kali gue marah kayak gitu di kantor."
"Mudah-mudahan ngga lagi besok-besok. Akan lebih baik kalo elo panggil dulu orangnya ke ruangan loe, kalo elo perlu marah, bentak-bentak, gebrag meja, do that, even ke gue pun elo boleh kayak gitu. Asal jangan di depan orang lain, apalagi elo and gue sama-sama punya ruangan tertutup, dan sebisa mungkin masalahnya selese di ruangan itu."
"Good input juga sepertinya."
"Iya lah."
Pelajaran Ketiga: "Asertif*. Gue awalnya orang yang ga bisa banget untuk asertif. Ngomong langsung aja males, apalagi disuruh ngomong langsung verbal dan harus dengan asertif, tambah males. Tapi lama-lama gue rasa itu perlu, gue ngga bisa terus-terusan mentingin maunya gue sendiri, dan mbuat kerjaan gue kehambat. Itung-itung ngasah soft skill gue lah, and sssttt...jadi perhitungan sendiri buat naikin kredibilitas diri juga loh. Ngga mungkin khan kita ngantor atau hidup ngga kerjasama sama orang lain, tanpa komunikasi dengan orang lain. Apalagi kalo pas disuruh ngerjain satu kerja kelompok or project bareng-bareng tuh, atau disuruh negosiasi tertentu. Bisa-bisa naik pitam terus-terusan, and debat kusir berkepanjangan kalo ngga ada yang mau ngalah nyari titik tengah or solusi masalah. Lebih parah lagi, kerjaan ngga selese, dan performa kita di mata orang banyak jadi turun. Rugi euy."
Pelajaran Keempat: "Mau kata ke bos, mau kata ke temen, ke bokap-nyokab, atau sama siapapun, kalo ada uneg-uneg, ide, pendapat, ngga setuju sama ina-ini-itu, omongin aja lah. Dengan cara yang enak, halus, mencoba untuk tidak menyakiti/membuat interlocutor** tersinggung. Sama-sama belajar untuk ngerti, sama-sama belajar untuk ngomong tanpa nada tinggi, sama-sama mau dengerin. Kalo ngga sekarang, masakh ntar-ntar kalo dah makin tua? Telat!"
Pelajaran Kelima: "Orang sabar pasti kesel hahahha, walaupun pasti di sayang Tuhan juga. Jadi haaayyooo siapa yang hari ini belum berdoa? Biar nanti buka mata di pagi hari bisa nyambut hari baru dengan senyum, bukan kebencian."
Jadi hari ini ada yang mau bersikap asertif ke orang lain?
Pikirin lagi aja ya, kalau dilakukan kira-kira keuntungannya apa, dan jika tidak dilakukan akan berakibat apa?
Jadi teringat satu teman kuliah saya dulu, yang tiba-tiba saat kami berdua di laboratorium komputer, ia tiba-tiba menangis, minta tolong saya dibuatkan terjemahan dari satu buku yang sedang ia baca. Teman saya ini menangis karena habis putus dengan kekasihnya saat itu. Apa yang selanjutnya terjadi? Seperti berikut ini...
Saya: "Trus, kalo elo sekarang ngomong ama dia, minta balik, untungnya buat elo apa? Mau loe apa?"
Si Teman: "Ya gue masih sayang banget sama dia 'Cha, gue ngga mau putus."
Saya: "Toh, elo ngga bisa terus-terusan sama dia 'kan?"
Si Teman: "Iya sih 'Cha!"
Saya: "Ya udah terima aja lah elo diputusin!!!"
Dan beberapa semester kemudian, setelah Si Teman sudah mendapatkan pacar baru...
Si Teman: "Dasar loe ya, ngga punya empati, ngomong seenak jidat!"
Saya: "Tapi, ngaruh ngga? Bisa ngga elo ngelupain dia?"
Si Teman: "Iya sih, hahahaha."
Perlu diingat ya, cerita saya dan teman saya ini, adalah salah satu contoh dari gagalnya saya bersikap asertif, namun untungnya teman saya bisa menerima omongan saya, dan tidak pendendam.
Bisa dibayangkan 'kan kalau saya bicara seperti itu, dengan orang yang tidak bisa memahami, tidak mau menerima, tidak mau mengalah? Apalagi kalau urusan kantor? Wadowww...bisa-bisa nilai Performance Appraisal-nya rendah tuch, dan akibatnya hix...bisa jadi tidak naik gaji, atau tidak promosi ("Dulu, nyari aman aja lah gue!")
----
Yak...sudah hari Selasa, happy working everyone!
----
Dari saya untuk Si Teman saya itu: "Sapa suruh, minta gue translate kerjaan loe, gue sendiri lagi ngerjain proposal eksperimen ama psikometri!"
Kira-kira Si Teman akan menjawab: "Dibantuin napah temennya, lagi ngerjain eksperimen ama Kon-Tes***!"
Dari saya lagi: "Sapa suruh waktu itu Statistik Non Parametrik dapet SP-nya, and dah Kon-Tes duluan, ahhahahhaha."
----
*asertif: menyampaikan pendapat, ide, gagasan, pikiran dan perasaan, tanpa menyinggung perasaan orang lain.
**interlocutor: lawan bicara.
***Kon-Tes: Mata Kuliah Konstruksi Tes Psikologi. Mata kuliah paling "seru", "ngangenin", dan membuatmu terlatih untuk tidak tidur, atau bahkan jadi mudah tidur di setiap kali ada kesempatan di mana pun itu saat tugasmu sudah terkumpul, dan menjadikanmu luntang-lantung setelah melewati mata kuliah itu, karena tak tahu harus mengerjakan apa lagi dengan insomnia berkepanjangan akibatnya. "Kalau belum? JANGAN PERNAH HARAP bisa tidur, apalagi tidur nyenyak!!!".