Sabtu, Maret 07, 2009

Day 3 With Karin In Singapore...

"Haaaaayyyaaahh...shit udah setengah delapan."

Kebiasaanku di Jakarta ternyata terbawa, yaitu mendengar alarm ponsel tepat pada jam yang aku rencanakan untuk bangun tidur, beranjak sebentar mencari benda dengan bunyi menjengkelkan itu, dan menekan pilihan "dismiss" lalu kembali tidur.

"Waduh-waduh, kesiangan gue, padahal gue janji ama Bu Siti mau gantiin dia jam tujuh."

Tanpa pikir panjang, aku pun loncat dari tempat tidur, menuju dapur dan menyiapkan makan pagi untukku dan Bu Siti.

Setelah selesai masak, aku langsung menyantap sarapanku, karena aku tak terbiasa lagi meninggalkan rumah tanpa sarapan. Tepat setelah suapan terakhir, aku langsung mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi dengan segera.

"Duh, brengsek, belum packing lagi gue. Kok koper jadi penuh gini ya? Kagak belanja banyak juga gue. Baju kotor nih pasti & anduk yang sedikit basah."

Setelah koperku sendiri beres, aku ke tempat Mbak Shanti, pengurus rumah kost, untuk melakukan pembayaran. Setelah beres, aku ke rumah sakit dengan sedikit berlari. Sebelum ke kamar Karin, aku mampir ke kafetaria di lantai bawah, membelikan nasi untuk Bu Siti, karena tadi aku hanya menggado lauk yang aku masak sendiri.

Sesampainya aku di kamar Karin, ternyata Nyonya Besar sedang disuapi oleh Bu Siti, dan sudah mandi pagi.

"Halo Sayang, hehehhee maap ya gue ketiduran, terus tadi packingnya bolak-balik buka koper, ada aja yang masih ketinggalan di luar."

Karin hanya melirik-lirik ke arahku, sambil mengunyah makanan yang masih ada di dalam mulutnya.

Aku baru saja meletakkan ranselku di atas kursi, hingga salah satu perawat rumah sakit datang...

"Your meal order for Saturday?"

"We are going to check out this afternoon."

"Oh, okay."

Tak berapa lama Karin malah yang bertanya padaku...

"Jadi kita check out hari ini?"

"Yupe. Seneng gak?"

"Terus elo pindah ke mana?"

"Gue pindah ke mana? Ya ikut pulanglah ama elo. Atau gue tinggal aja? Elo pulang ama Bu Siti aja apa? Tapi gue nanti minta duit belanja ama Yudha, gimana?"

"Enak aja."

"Ah, pelit loe."

Lalu Bu Siti menimpali...

"Apa abis ini kita shopping aja ya Bu? Ibu sama Mbak Ocha pergi shopping di depan."

"Mau Rin, kita belanja-belanja aja. Masakh ke Singapore kita kagak belanja-belanja."

"Gak, ah, gue mau pulang aja."

"Ntar ya, kau masih ada kemo 1 lagi."

Kemudian, aku minta Bu Siti untuk kembali ke kost, untuk makan pagi dan packing. Dan seperti biasa, aku menemani Karin, dan aku ditemani laptopku. Aku lihat si Karin sudah tidur saat itu...

Aku jadi teringat, kemarin, Kamis, 5 Maret 2009, saat aku sedang membuka-buka laptopku tiba-tiba Karin bertanya padaku...

"Lagi main apa siy loe?"

"Buka Facebook. Mau buka punya kau? Aku telepon Yudha dulu ya, tanya alamat emailmu and passwordnya."
.
Namun sayangnya, saat itu teleponku ke Yudha, tak diangkat.

"Ya, Rin, Yudha mungkin lagi ngga bisa angkat telepon. Nanti ya. Kita nyanyi-nyanyi aja apa?"

Tak tahu mengapa, dari sekian banyak lagu yang ada di laptopku, aku memilih untuk memutar That's What Friends Are For...

Aku tak sanggup bernyanyi, akhirnya...

"Tau ngga Rin, ini lagu apa? Siapa yang nyanyi?"

Tak seperti hari pertama, saatku menanyakan siapa yang menyanyikan lagu Are You Strong Enough To Be My Man, Karin langsung memberi jawaban. Mungkin Karin pun tak kuat untuk menjawab.

Sumpah aku harap lagu itu segera berakhir, tetapi rasanya lama sekali. Beberapa kali aku coba untuk ikut menyanyikan. Namun beberapa kali pula aku tersendat. Dan aku tak mau Karin tahu hal itu. Untungnya sebelum lagu itu berakhir aku sudah bisa mengontrol emosi lagi, bisa menyanyikan untuknya, dan tetap dengan senyum lebar untuk Karin.

Kembali ke hari ke tigaku bersama Karin...

Tak tahu berapa lama aku telah sibuk mengutak-atik laptopku, hingga saatku melihat ke arah Karin, ternyata Karin sudah kembali bangun.

"Cut, ngapain bengong. Cengok gituh?"

Dia tetap diam...

"Woi, nyaut napa Neng, ngapain bengong?"

"Ya kalo bangun pagi itu pasti cengok dulu."

"Ah, elu ngga usah bangun pagi aja cengok mulukh."

Hmmm...mungkin karena efek obat kemoterapi, ia jadi sedikit lebih banyak menerawang. Dan tak berapa lama kemudian, ia kembali tertidur.

Tanpa kusadari, Bu Siti sudah berada di depanku lagi, saat ku masih sibuk dengan berinternet ria.

"Loh, kok belum di kemo? Ini dah jam 12."

"Belum, masih belum jam 12, bentar lagi aku tanya lah."

Dan sekitar 15 menit kemudian aku berjalan ke nurse station, yang ada di bangsal kamar Karin.

"It's already 12 o'clock. When the last chemo will begin?"

"1.30 my dear"

"1.30? No, we have to check out from here atleast 2 pm. Our flight is at 5pm."

"It is written here at 1.30. Does the doctor know that you are going to leave?"

"Ya, i already consulted to the doctor yesterday and he told me that last chemo will be started at 12 or atleast 12.30."

"You should call the clinic."

"No, why don't you do that? Call the doctor."

Dan sepertinya perawat yang aku suruh menelepon ke klinik dokter yang merawat Karin, dimarahi oleh sang dokter.

"Okay-okay, I'll run it now. I'm coming."

"Good, thanks."

Aku pun mulai sedikit cemas dan panik. Akhirnya aku memutuskan untuk ke klinik dokter tersebut, bukan untuk menanyakan masalah kemo, tetapi menanyakan injeksi yang harus dibawa ke Jakarta, untuk diberikan pada Karin. Dan lebih panik lagi, saat ke klinik, ternyata harga injeksi-injeksi tersebut lebih dari S$ 1000, dan aku tahu, di rekeningku hanya ada sekitar S$ 500, berarti aku harus menunggu sisa deposit dari rumah sakit. Tambah panik, karena Yudha tak bisa ditelepon. Tambah semakin panik dan bingung, saat aku kembali ke kamar, dan menanyakan pada perawat, apakah urusan pembayaran sudah bisa dilakukan sekarang. Since mereka sedang melakukan kemo terakhir, dan aku asumsikan mereka sudah bisa tahu fasilitas dan perlengkapan rumah sakit apa saja yang akan digunakan

Aku lihat jam di dinding di depan nurse station, sudah menunjukkan pukul 12.30, dan kemoterapi baru akan dimulai.

Cairan intra vena kemoterapi itu, sudah berjalan sempurna pukul 12.40.

"Damn, satu jam dari sekarang means 13.40, belum lagi bayar-bayaran, ambil suntikan, belom nunggu duit deposit keluar buat bayar klinik. Belum nyari taksi, balik ke kost ambil koper."

Di tengah kepanikanku, dan mondar-mandirku di koridor di depan kamar Karin, aku lihat Dokter Pritam datang. Ia langsung mendatangiku, aku lupa ia berbicara apa, hanya bagian ini yang aku ingat...

"Last night, a nurse called me, and said that Karin got fever. Don't forget to check her temperature, and if it happens often, take out that thing in her shoulder."

(Thing di sini, hehehhehe..aku tak tahu apa namanya dalam bahasa kedokteran, namun benda ini adalah penghubung antara vena dan selang cairan intra vena. Benda ini dimasukkan ke dalam bahu kiri Karin, dan di bagian luar, dilengkapi dengan alat kecil seperti cabang-cabang untuk saluran selang infus, beserta tutupnya. Agar mudahnya, benda yang berada di luar itu, seperti keran pengatur aliran cairan intra vena. Tujuan dipasangnya benda ini adalah untuk memudahkan proses kemoterapi, sehingga setiap proses kemoterapi, tangan Karin akan terbebas dari tusukan-tusukan jarum infus, yang tentu lebih menyakitkan, karena berulang-ulang.)

Lalu setelah itu dokter juga menanyakan hal ini...

"Did my girl at the clinic already give you lab form for next week?"

"Not yet."

"And the injection?"

"I already came to your clinic, but I guess I have to withdraw money from ATM first."

"No, no need to pay now, if you have difficulties."

"Can be done next week?"

"Ya. Off course."

"Okay, appreciate it."

"Don't worry."

Lalu ia menelepon ke kliniknya untuk meminta perawatnya menyiapkan surat pengantar ke laboratorium, untuk minggu depan.

Pikirku saat itu "Pheewwhh, berkurang satu kepanikan."

Saat itu aku lihat ke arah jam dinding sudah menunjukkan pukul 13.40. Lalu dokter Pritam, mendatangi Karin, "menutup" semua proses kemoterapi yang ia jalani minggu ini, kembali memeriksa Karin.

Aku semakin panik, karena Karin baru selesai dibersihkan, selesai digantikan pakaian, pukul 14.15. Dan saat itu pula aku mendatangi nurse station, dan kembali mereka belum selesai mengurus tagihan Karin. Salah satu perawat di sana mengatakan...

"You go to cashier lah. Wait there."

Aku pun langsung ke kamar Karin...

"Bu Siti, ketemu di lobi ya, siapin Karin."

Aku mengangkat ranselku, keluar kamar dan sedikit berlari ke bawah untuk mengantri di kasir. Tiba giliranku untuk dipanggil.

"607."

"Room number 5539, Karin Taramiranti Nasution."

"Tunggu sebentar."

Pikirku saat itu "Wah si India ini bisa Melayu, lumayan."

"We still process it. You come back here in 15 or 20 minutes."

"We have to catch the plane, should be at Changi at 3.30."

"Okay, I'll do my best. Please be seated, and wait, we'll call you."

"I'll go to the clinic first."

Aku pun berlari ke lantai 12, ke tempat klinik Dokter Pritam. Ternyata injeksi dan surat pengantar laboratorium sudah mereka siapkan. Dan aku mengatakan pada perawat di sana...

"Doctor Pritam agreed that the payment will be done next week."

"No, no, no problem. By the way, are u a nurse?"

"Me? No. Karin has her own nurse. She can do the injection."

"Ok, and you are?"

"I'm her friend, sister also."

Cut, GR dikit ngga papa khan? Huahahahah...

Kembali aku ke kasir setelah urusan di klinik beres.

Sampai sana aku melihat Bu Siti dan Karin dengan "kendaraan" canggihnya itu yaitu kursi roda, sudah berada di lobi rumah sakit, yang letaknya tak jauh dari kasir.

"Mbak Ocha, kemana siy, jadinya khan yang tanda tangan di kamar khan aku."

"Aku urus pembayaran lah Bu, aku khan dah bilang tadi. Tadi susternya juga yang nyuruh ke bawah dulu."

Aku lihat dari luar ruang kasir, si India yang tadi membantu menyiapkan tagihan kamar Karin belum terlihat. Lalu aku mencoba bertanya dengan resepsionis di depannya.

"How long does it take from here to Changi?"

"What time is your flight?"

"5 pm. Means i should be there at 3.30 atleast, and now already 2.45."

"You should be hurry. You can get stuck in jammed around 3."

"I know."

Akhirnya si India itu sudah muncul, dan masih belum membawa selembar kertas pun, sampai aku sedikit menyela orang lain. Ia melihatku, dan kembali masuk ke ruangan di belakang tembok ruang kasir itu.

"The full bill, hasn't been finished."

"What does it mean?"

"You can only know the total, but not yet the details."

Dan ia memberikan kwitansi yang hanya selembar, tanpa perincian obat-obatan dan fasilitas apa saja yang digunakan untuk Karin. Begitu aku lihat kwitansi itu, ternyata deposit yang diberikan Yudha, lebih dari total biaya rumah sakit.

"And the refund?"

"We will send out a check undername the patient, to her address."

"So we will receive check?"

"Ya, don't worry, there's no expired date for the check."

"Okay."

Namun aku mencium ada ketidakberesan tentang refund ini. Dan aku mencoba kembali menelepon Yudha. Sedikit kesal dengan Sing Tel saat itu, yang terus-menerus gagal melakukan panggilan.

Akhirnya aku memutuskan segera mencari taksi, ke kost mengambil koper, dan langsung ke Bandara.

Di tengah perjalanan menuju Bandara, Yudha menelepon.

"Gimana aman?"

"Aman, dah jalan ke Changi. Tapi 'Dha, biasanya refundnya pake check?"

"Hah, ngga, mereka harus ngasih duit."

"Brengsek juga tuch kasir. Dia bilang refundnya pake check bakal kirim ke alamat loe. Tadi gue telepon elu kagak nyambung-nyambung. Sing Tel lagi bego tadi."

"Ya udah gue telp Mount Elizabeth lah."

"Sorry ya Dha, bisa diurus khan, gue tadi hampir telat, ini aja macet."

"Ngga papa."

Sedikit cemas aku akan hal ini, karena jumlah refund cukup besar. Dan hal ini mungkin tertangkap oleh Karin.

"Elo tadi beli apa sih? Kok heboh."

"Gak, kemaren khan pas elo masuk, gue narokh deposit minimum ke rumah sakit, tapi biaya berobat loe jauh di bawah itu. Nah mereka bilang refund pake check. Gue tau ada yang ngga beres tuch. Tapi tadi gue telepon Yudha, lagi ngga bisa nyambung, akhirnya aku putusin cabut dari rumah sakit, ntar kalo ngga kita ngga bisa pulang, ketinggalan pesawat.

Akhirnya kami sampai di Bandar Udara Internasional Changi pukul 15.35. Lucunya sebelum turun, Karin bertanya padaku...

"Ada duit buat bayar taksi?"

"Ada, Sayang."

Urusan lapor masuk pesawat sedikit lebih lama, karena aku membawa Karin yang sedang sakit. Dan semua urusan lapor masuk pesawat selesai pukul 15.51, tepat 9 menit sebelum masuk ke pesawat, yaitu pukul 16.00. Belum lagi pintu masuk ke pesawat kami adalah D38, terletak di ujung terminal 1. Tambah sempurna, saat aku lihat di pintu masuk tadi, ada petunjuk arah pintu masuk pesawat D30-D49 ke arah kanan, estimasi dari petunjuk arah tadi ke pintu paling jauh adalah 8 menit. Ditambah, karena Karin di kursi roda, maka kami akan didahulukan masuk ke dalam pesawat. Perfecto!!!

Akhirnya aku bisa tenang saat kami bertiga sudah duduk manis di dalam pesawat.

"Kita pulang ya Rin? By the way pulang kemana sih?"

"Ke Jakarta."

"Tau aja loh."

Sepanjang perjalanan Karin lebih sering tidur. Begitu sampai di Jakarta, aku sudah lega, senang, terharu, ingin meledakkan tangisku juga, karena terus terang aku juga sedih melihat Karin dengan kondisi seperti itu sekarang. Namun sangat-sangat tidak mungkin aku menampilkan kesedihanku apalagi menangis di depannya. Ada bagusnya juga, aku sudah terlatih untuk urusan-urusan seperti itu. Play tough girl hehehehehe...

Begitu di depan pintu keluar, aku sudah melihat Yudha dan Cyrill.

"Dha, gue langsung pulang ya. Naik taksi aja. Lebih deket dari sini ke rumah gue."

"Ke rumah gue dulu lah."

"Ntar gue pulang gimana?"

"Di anter Odang."

"Ya udah."

Akhirnya aku ikut mengantarkan Karin sampai ke Rawamangun.

Sesampainya di rumah, Karin langsung di dudukkan di kursi ruang tamu oleh Bu Siti. Mbak Nur, pembantunya Karin yang juga aku kenal, sudah menyiapkan teh hangat untuk aku. Setelah selesai menyeruput teh hangat itu, aku melihat Bu Siti masih sibuk menyiapkan makan malam untuk Karin, dan saat itu aku lihat Karin masih memakai sepatunya. Aku beranjak ke arahnya, dan duduk di lantai, sambil membukakan sneakers yang ia pakai.

Setelah aku selesai melepaskan sepatunya, Karin membuatku terharu...

"Thank you ya, Cha."

"Welcome. Capekh ngga?"

"Ya, capekh lah gila."

"Elo khan manusia perkasa. Capekh juga loe."

"Capekh lah."

"Oooooo."

Yudha dan Mamanya menawariku makan malam, dan Bu Siti pun sudah siap untuk menyuapi Karin.

Aku, duduk di dekat Yudha dan Cyrill, saat makan. Setelah aku selesai makan, aku menghampiri Karin, dan mencium pipinya.

"Ih, kok bau apek. Yang apek elo apa gue ya?"

"Elo lah."

"Bukan elo Rin?"

"Bukan."

Lalu aku berjalan ke arah dapur untuk mengambil minum. Dan kembali ke tempat Karin. Kembali mengobrol dengannya. Kali ini aku genggam tangannya, sambil aku cium. Dan aku tambah terharu saat Karin membalas mencium tanganku. Sumpah, kalo aku bisa teriak menangis saat itu juga, akan aku lakukan, benar-benar kali ini hampir tak tertahankan. Namun tetap aku jaga emosi ini. Damn, it's hard..very hard...

Aku terus menggenggam tangannya, dan meneruskan obrolanku...

"Rin, 3 hari ini gue seneng banget. Kayak waktu gue nginep di Cibubur itu. Inget khan loe? Kita karaokean, main kartu di Rumah Mas Wawan sampe pagi. Dan setelah itu elo bilang Cibubur is a fantasy land for me, and Your PINTU is always open for me. Terus liat tuch anak loe, Cyrill. Inget ngga waktu gue make tempat tidurnya terus dia ngambeg? Elu usaha banget biar dia ga rewel lagi, dengan bacain dia buku cerita."

"Cerita apa."

"Gue lupa. Elo mau donks bisa main sama dia lagi, langkah elu untuk ke sana tinggal deket lagi kok. And you know what gue lakuin ini semua karena gue cinta ama elo, love you, gue sayang elo. 3 hari gue ngga capekh sama sekali. So next time gue dateng ke sini lagi, senyumnya elo jangan ilang ya, i only need that. Terus next month Rully nikah, kau dateng khan?"

"Jadi dia nikah."

"Jadi lah."

"Sama siapa."

"Jangan sok ngga tau.", yang kemudian aku susul dengan menyebutkan nama calon istri Rully.

"Tanggal berapa?"

"Akhir bulan."

"Iya, waktu itu pembokat gue di rumah juga bilang, ada temen gue mau nikah."

"He? Pembokat loe tau dari mana? Emang Rully pernah ke rumah loe ya?"

"Orang rumah gue cepet akrab sama orang."

"Ooooo, kayak elo khan."

Lalu Karin meraih gelas yang aku pegang.

"Eh, jangan GR, gue gak ngambilin minum buat elo. Gelas lo yang di meja tuch. Ambil, pegang ndiri, jangan males gerakin badan loe."

Kemudian aku mencium pipi kiri Karin, tangannya masih aku genggam, dan aku tatap matanya...

"Hmmm bau lu."

"Ya iya lah, belom mandi dari kemaren."

"Sok tau...sok pikun khan loe, jelas-jelas tadi pagi elo dimandiin di rumah sakit."

Karin terus menatapku, dan aku tetap menatapnya, dan menggenggam tangannya. Dan terkadang aku memeletkan lidah ke arahnya.

"Eh iya, Mas Wawan belum bisa nengok kamu ya. Dia sedang menggila dengan urusan kantornya. Sabar ya. Nanti pasti dia nyempetin nengok kau. Terus abis ini khan gue pulang, elo pasti bakal kangen ama gue. Jangan boong."

"Pulangnya abis gue selesai ngunyah."

"Iya, gue tungguin elo selese makan."

Aku lihat makanannya juga sudah habis. Kebetulan aku membawa Air Suci Lourdes, aku tuangkan sedikit di tutup botol Air Suci itu, aku tuangkan ke tanganku, dan aku oleskan ke wajahnya.

"Ini biar elo ngga semakin gila ya, Rin. Biar normal dikit. Terus sisanya diminum nih."

Ia pun langsung menghabiskan hampir satu botol kecil air itu.

"Oh gak ding, nanti kalo gue pulang mudah-mudahan elo yang semakin gila. Gue yang semakin normal. Gue khan paling normal ya Rin, di antara temen-temen loe and elo?"

Tau tidak teman-teman, apa yang Karin lakukan? Knock on wood...seketika aku ngakak, dan Karin melihatku dengan tampang pasrah tanpa ekspresi dan menghela napas 10 ton, lalu ia berbicara padaku...

"He? Tunggu, gimana?"

"Gue yang normal, elo yang gila."

"Gue dari dulu normal."

"Menurut elo iye normal. Rin, mungkin sekarang elo agak kesel kali, elo biasanya kemana-mana sendiri, apa-apa mandiri banget, dan sekarang apa-apa harus tergantung sama orang lain. Tergantung sama orang bukan hal buruk juga loh. Sekali-kali kamu emang harus istirahat, dan sekali-kali lah kita bikin repot orang lain, jangan kita muluh yang direpotin, hehehhehe. Kamu lagi diminta istirahat sebentar, leyeh-leyeh ama Tuhan, jadi Ratu Sejagad, apa-apa diurusin, karena untuk jadi kuat lagi setelah sakitmu kemarin emang kayak gini. Prosesnya gini sayang, kayak bayi aja, saat persiapannya udah ready untuk jalan, berdiri, dan lari, ia akan bisa. Sekarang tinggal semangat loe ajah kalo gituh. Okay."

"Okay. Gue mau ke toilet."

Oh, elo mau ke toilet, bentar gue panggilin Bu Siti. Sekalian gue pamit lah.

"Bener ya, nanti gue ke sini lagi, senyum loe, ketawa loe, semangat loe dah harus lebih gede dari sekarang. Jangan keok."

"Okay."

"Sini cium pipi dulu."

Sebelum aku berpindah mencium pipi kanannya, setelah yang kiri aku cium, dia menghentikan gerakku dengan tangannya, dan mencium pipiku. Senangnya...

Dan aku ulangi mencium pipinya, lalu...

"Cium gue lagi dounks."

Karin mencium pipiku kembali.

"Terus senyumnya untuk gue mana?"

Dan ia pun tersenyum lebar untukku...

And that's all my journey, 3 days with Karin...

Doanya jangan lupa ya teman-teman, nanti aku sampaikan salam-salam dari kalian, saat aku bertemu dengannya lagi.

Terima kasih juga atas komentar-komentar yang kalian tulis di note-ku, jadi terharu..hehhehe

Love you all...

-Karin & Ocha-

0 komentar: