Minggu, Maret 29, 2009

Masokis, Perfeksionis, Apa Lagi?...

Bergelut dengan "not toge" atau not balok dalam partitur lagu baik saat aku latihan menyanyi ataupun bermain piano, sudah aku rasakan sejak aku kecil. Semua ini karena mama. Awalnya aku bergelut dengan not-not itu, saat aku mulai kursus organ, saat usiaku masih 5 tahun. Namun kursus itu tak berlangsung lama, mungkin hanya 1 tahun.

Satu, atau dua tahun kemudian, mama kembali mempunyai inisiatif lain untuk lebih mengembangkan bakat musikku. Ia memasukkan aku ke sekolah olah vokal, Bina Vokalia, yang saat itu masih langsung dibina oleh sang pemilik, Pranadjaja (Almarhum). Kursus ini aku ikuti kurang lebih hingga 4 atau 5 tahun kemudian. Bersamaan dengan kursus olah vokal yang aku ikuti, mama juga memasukkanku kursus piano di Yayasan Musik Indonesia, yang hanya bertahan hingga 1 tahun hingga 1.5 tahun kemudian. Kembali not-not balok itu menjadi teman dekatku.

Pasti kamu bertanya, apa hubungannya antara judul tulisanku kali ini, dengan musik? Apabila kamu pernah melihat betapa semrawut-nya partitur yang berisi "not-not toge" ini, mungkin kamu sudah dapat membayangkan apa maksudku.

Aku yakin, pasti semasa kita sekolah dulu, saat mata pelajaran kesenian, atau apalah namanya, sebagian besar dari kita diajarkan bagaimana caranya membaca not balok yang semua maksudnya hanya dilambangkan dengan simbol. Namun apa yang diajarkan di sekolah, sepertinya tidak akan sedalam jika kamu mengikuti sekolah musik secara khusus lagi, apalagi untuk musik jaman baroque atau klasik.

Coba kita lihat tentang sulitnya "memahami" maksud si "not-not toge" ini, dan cara memainkannya. Mulai dari di mana letaknya si not balok ini berada, apakah masih berada di dalam lingkup lima garis itu, atau perlu ada garis tambahan. Cara membaca not itu pun berbeda antara kunci G dan kunci F. Belum lagi jika nada dasarnya bukan nada dasar C, tapi nada dasar lainnya, tergantung dari jumlah simbol sharp atau flat yang ada di depan lambang kunci G atau kunci F itu. Dari ketukannya, yang bisa dilihat dari apakah not balok itu berwarna hitam penuh, atau hanya bulatan, bertangkai tanpa bendera atau dengan bendera, atau disambungkan dengan not berikutnya dengan satu garis atau dua garis, bahkan bisa saja tak bertangkai. Bagaimana "melafalkan" atau membunyikannya. Simbol-simbol seperti legato atau staccato, crescendo, decrescendo, piano, pianissimo, pianississimo, forte, fortissimo, fortississimo, dan masih banyak simbol lainnya, yang terus terang aku tak tahu jumlah persisnya "rambu-rambu" yang dipakai dan tentu harus ditaati saat kita melagukannya.

Intinya membaca partitur, tidak mudah, dan rrrrriiiiiiiibbbbbeeeetttt. Tak terbayang, dulu, saatku harus menghadapi ujian piano. Kesempurnaan memainkan semua not sesuai dengan "rambu-rambu" yang berlaku, akan semakin sulit karena ditambah dengan rasa cemas dan tegang menghadapi ujian. Aku ingat benar, salah satu pengujiku dulu mengatakan ini: "Mainnya yang bersih ya", untungnya saat itu aku masih kecil, kalau sekarang mungkin aku sudah membalas (dalam hati) perkataannya dengan: "Shut up, kayak gampang aja niy lagu!"

Kunci dari seberapa baik kita memainkan instrumen, baik alat musik atau vokal kita sendiri adalah banyak latihan. Tanpa latihan berkali-kali, sangat tidak mungkin kita bisa memainkan instrumen dengan baik, lancar, bahkan sempurna.

Jadi ingat, aku dulu sempat berganti guru piano, saat mulai memasuki grade 9 (dulu grade paling rendah kurikulum Yamaha adalah 12 dan grade paling tinggi adalah grade 5), Bu Tika namanya. Bu Tika ini lebih "sadis" daripada guruku sebelumnya. Ia tak pernah memberikan PR untukku satu lagu penuh, melainkan hanya beberapa bar. Paling banyak 2 baris. Aku harus bisa memainkannya dengan sempurna sebelum berganti dengan beberapa bar berikutnya. Jadi bisa dibayangkan 'kan, satu lagu penuh dapat aku selesaikan dalam berapa kali pertemuan? Mengingat partitur musik klasik jarang sekali yang pendek. Oh ya, bar di sini bukan tempat kongkow-kongkow sambil minum-minum ya, melainkan batas maksimal jumlah not-not balok yang disesuaikan dengan iramanya, apakah 4/4, 2/4 atau berapapun iramanya. Satu bar, dibatasi dengan dua garis bar.

Sekali lagi, dapat memainkan semua isi partitur musik klasik dengan sempurna diperlukan perjuangan.

Sekali lagi, sempurna, sempurna, dan harus sempurna.

Sekali lagi, rrrrrrriiiiiiibbbbbbbeeeettttt...

Sekarang makin jelas tidak, hubungan antara judul tulisanku dengan apa yang aku jabarkan?

Susahnya belajar musik klasik tentu juga diperlukan ketekunan yang sangat tinggi. Menurutku, mereka yang terus bertahan tanpa henti belajar musik (terutama) klasik, adalah orang-orang dengan tingkat penasaran, ambisi, masokis yang tinggi. Dan bisa jadi, mereka yang belajar musik klasik dari kecil, semakin ia beranjak dewasa, ia akan semakin menjadi perfeksionis. Lain cerita, untuk mereka yang masih kecil, di mana tingkat paksaan dari orang tua masih bisa dijadikan extraneous variable (Halaaaghhh, 'Cha!).

Bagaimana tidak masokis, tidak perfeksionis? Sudah tahu susah, sudah tahu ribet, masih saja dijalani!

Namun, itu semua hanya pikiranku, bukan hasil penelitian ilmiah.

"Kira-kira ada yang benar-benar ingin membuktikannya dalam sebuah penelitian ilmiah tidak ya?"

Tanyaku dalam hati, sambil berharap ada yang mengangkat tangan, dan siap menjadikannya sebagai sebuah topik penelitian ilmiah.

"Memang itu semua konstruk psikologis, 'Cha?"

"Kok situ nanya?"

0 komentar: