Teringat kejadian beberapa tahun silam.
Saat aku mendengar seorang temanku yang tiba-tiba memanggil seseorang dengan sebutan 'Mas'. Memang pria yang dipanggil dengan sebutan 'Mas' itu, telah berubah status untuk temanku ini menjadi suaminya. Mereka telah menikah.
Namun tak tahu mengapa pikiran inilah yang muncul di dalam pikiranku...
"Wah, dah berubah sekarang panggilannya. Dulu padahal langsung manggil nama."
Memanggil seseorang dengan embel-embel sebutan 'Mas' di depan nama atau di belakang kalimat yang kita ucapkan, mempunyai sedikit cerita untukku. Lebih tepatnya, aku mempunyai pikiran sendiri tentang hal ini, yang mungkin tak lazim oleh banyak orang.
"Mas..."
Wadddoooowwww...beneran deh, terus terang aku paling malas jika aku harus atau sebaiknya memanggil seseorang dengan sebutan itu. Rasanya ingin sekali mulutku menjadi terkunci. Dan yang pasti kata itu membuat telinga ini jadi gatal.
"Kewajiban"-ku memanggil kedua kakakku dengan sebutan 'Mas' sudah berhasil aku pensiunkan dari aku SMP. Memang sewaktu aku kecil, aku diajari oleh mama, memanggil mereka dengan sebutan itu. Namun lama-kelamaan aku semakin malas memanggil mereka dengan sebutan itu.
"Udah jarak umur gue dengan mereka jauh, tambah nyebut pake gituan, tambah berasa gap-nya."
Jadilah aku memanggil mereka langsung dengan nama mereka.
Kebiasaan memanggil dengan sebutan 'Mas' bagi keluarga Jawa, sebenarnya juga berlaku pada lingkungan keluarga besar. Antar sepupu, berdasarkan silsilah urutan keluarga, yang dilihat dari orang tuanya. Bukan antar sepupu siapa yang lebih tua, tapi orang tuanya siapa yang lebih tua.
Hal itu pulalah yang membuatku dan kedua kakakku dipanggil dengan sebutan Mbak, dan Mas oleh hampir semua sepupuku dari pihak mama. Maklum, mama anak paling tua di keluarganya.
Merasa bersyukur, tak semua sepupuku memanggilku dengan sebutan Mbak ("Woi, kagak usah pake Mbak2an lah manggil gue sekarang!").
Lain halnya keluarga dari pihak papa. Papa bukan anak paling tua memang, yang berarti jika menuruti aturan adat Jawa, seharusnya aku memanggil sepupu-sepupu, yang merupakan anak-anak dari kakak-kakaknya papa, dengan sebutan Mas atau Mbak.
Kembali merasa bersyukur, semua sepupuku dari pihak keluarga papa tak terlalu mempermasalahkan hal itu. Kecuali jika orang tua mereka yang notabene adalah pakde dan bude-ku membahasakan padaku untuk memanggil mereka dengan tambahan embel-embel itu.
Mungkin kalian sedikit bingung, mengapa aku tidak suka harus memanggil mereka kenalanku, terutama yang laki-laki dengan sebutan 'Mas'.
Hmmm, seperti yang tadi aku sudah katakan, pikiran ini adalah pikiran yang tak lazim nyangsang di kepala orang lain.
Bagiku panggilan/sebutan 'Mas' tersebut, menimbulkan persepsi sebuah penawaran kemesraan terhadap orang yang aku panggil dengan sebutan itu ("Aneeehhh 'kan?").
Aku tahu persis, pikiran ini adalah pikiran aneh, padahal ada pikiran lain yang harusnya mendominasi di atas pikiran tersebut. Misalnya pikiran yang berkaitan dengan sopan santun dan respek terhadap mereka yang lebih tua.
Namun pikiran itu sedikit termentahkan dengan pikiranku yang lain bahwa sebutan tersebut dapat memperbesar gap antara yang memanggil dan yang dipanggil.
Aku juga merasa beruntung, bahwa dulu saatku di kantor, teman-teman satu divisiku, bahkan sampai dengan kepala divisinya sendiri memintaku memanggil mereka langsung dengan nama mereka.
"Beneran deh, itu bisa mengurangi gap antar kami."
Namun di atas semua pikiran aneh yang sempat nyangsang di otakku yang sering mengsle ini, aku sedikit kualat dengan pikiran sendiri.
Tahun 2004, kembali kuliah di kampus yang mempunyai budaya memanggil para dosennya dengan sebutan 'Mas' dan 'Mbak'.
Tak tahu mengapa, kali ini aku tak merasa jengah sama sekali untuk memanggil mereka sesuai dengan tradisi di lingkunganku kali ini, karena memang aku melihat posisi mereka yang adalah dosen dan aku mahasiswanya, terutama untuk para dosen yang umurnya memang lebih tua daripadaku. Namun untuk dosen-dosen muda yang umurnya setara atau bahkan lebih muda dari aku, heheheheh agak bingung aku dibuatnya. Bingung mau memanggil apa.
Ya, sejalan waktu, otakku yang mengsle ini, lama-kelamaan bisa juga dibuat agak lurus dan menjadi tidak aneh ("Diiiikkkiiittt!!!").
Satu yang aku harap, hehehehe..mudah-mudahan nanti siapapun yang jadi suamiku, tak memaksaku untuk memanggilnya dengan sebutan tertentu.
Kalaupun nanti tiba-tiba kalian mendengarku memanggil seseorang yang mempunyai hubungan romantisme tertentu denganku, dengan sebutan yang dulu menurutku aneh itu, itu karena memang keinginanku sendiri, bukan karena siapapun ("Biar mesra terus dounks ah!").
"Terus 'Cha, cerita kualat lu cuma yang di kampus doank? Ngga ada yang lain?"
"Hmmmmm, ada gak ya? Gak siy kayaknya. Kayaknya."
"Yakin?"
"Sepertinya. Kalo pun ada, yahhh cuma gue aja lah yang tau."
----
"I love you, Mas!"
"Eh, ngomong sama sapa lu 'Cha? Ama tembok?"
"Ho-oh! Eh atau orang yang mirip sama tembok?"
----
*judul entri blog terinspirasi dari judul film I Love You, Oom.
Rabu, Mei 20, 2009
I Love You, Mas...
Pikiran seorang Rufina Anastasia Rosarini pada saat 12.03
Kategori tulisan: Jurnal Hidup
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
gue ngerti kok mengenai alasan mengsle lo kalo manggil "mas" itu bisa menimbulkan persepsi sebuah penawaran kemesraan...
berasal dari budaya Jawa juga, "kang mas..." biasanya diucapkan oleh (partner: baca istri) seseorang sih...
itu sih kalo gue nonton ketoprak...ehehehehe....
Ma kasih ya Mas Timo..huaaahahahhahaha...hueeekkk...
Posting Komentar